Isra Miraj, Shalat, dan Multikulturalisme
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A.
Multikulturalisme adalah paham yang bukan semata-mata pengafirmasian atas realitas sosial budaya yang beragam/tidak tunggal, melainkan juga diikuti oleh penghargaan, bahkan perayaan atas keragaman/perbedaan itu. Keragaman dipandang sebagai mozaik yang memperindah kehidupan, yang bukan hanya sebagai keharusan hidup yang wajib diterima dengan ikhlas, melainkan juga memberi banyak keuntungan, jika dikelola dengan baik.
Perbedaan jenis kelamin, ras, etnis, geografi, budaya, agama, pandangan hidup, dan pandangan politik ditempatkan pada posisi yang setara, sekaligus memiliki kesamaan hak dalam mengekspresikannya. Kebalikannya adalah monokulturalisme.
Di Indonesia, multikulturalisme terdapat dalam sila ketiga Pancasila dengan ”Bhinneka Tunggal Ika”-nya. Meski begitu, ada banyak fenomena di Indonesia yang tak sejalan dengan multikultralisme itu. Di antaranya tampak dari kasus konflik Ambon yang menjalar ke Maluku Utara (1999), kerusuhan Poso (1998-2001), tragedi Sampit (2001), dan bentrok Sampang (2012) antara kelompok Sunni dan Syiah. Juga pertikaian antara Suku Jawa dan Lampung (2016).
Multikulturalisme dalam Isra Mikraj
Dalam Islam, multikulturalisme, antara lain, bisa dilihat dari Isra Miraj yang dialami Nabi Muhammad pada tahun 10 kenabiannya. Multikulturalisme eksternal Muslim, misalnya, tampak dalam banyak peristiwa saat Nabi Isra Miraj. Di antaranya penghormatan Nabi kepada nabi-nabi senior sebelumnya yang kegigihannya dalam berdakwah menjadi role model (sebagai bencmark/rujukan).
Mereka dikenal sebagai para nabi Ûlul Azmi (punya tekad dan kesabaran yang tinggi dalam berdakwah). Di antaranya dua nabi pembawa agama samâwî/langit pra-Islam, Yahudi dan Nasrani, yang ajarannya dibenarkan Nabi, meski dalam sebagian ajarannya dikoreksinya sebagai pembawa agama terakhir (mushaddiq dan muhaimin).
Nabi sempat berziarah ke Madyan, tempat Nabi Musa menerima Wahyu; ke Betlehem, tempat Nabi Isa lahir; shalat di Masjid al-Aqsa yang kala itu tempat ibadah kaum Yahudi dan Nasrani, bukan Masjid al-Aqsa saat ini yang dibangun jauh belakangan oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, salah satu khalifah Dinasti Umayyah, pada 705 M.
Tepatnya, Nabi Muhammad shalat dengan menghadap sebuah batu besar berwarna hitam yang disebut Sakhrah Muqaddasah saat Isra Miraj itu. Batu ini dahulu terdapat di tengah-tengah Haekal/Kanisah atau Harm Syarîf, tempat yang mulia yang dibangun Nabi Sulaiman yang hidup sekitar 975-935 SM.
Haikal/kuil ini telah menjadi tempat peribadatan Yahudi pertama yang sangat megah dan besar. Gedungnya terletak di tanah dibatasi oleh dinding yang tinggi serta kokoh, dan berbentuk empat persegi panjang dengan lebar 300 meter (m) dan panjang sekitar 400 m, tingginya 15 m. Kuil/Kanisah dibangun dari batu yang ditambang dan diangkut dari tempat yang jauh. Dibingkai juga dengan kayu aras berpahat dan dilapisi emas di sebagian bagiannya.
Sayang, Haekal ini dihancurkan pertama kali oleh Nebuchadnezzar (605-562 SM), salah satu Raja Babilonia II dan dibangun kembali saat Sirus yang Agung dari Persia yang berkuasa sejak 553 SM. Namun, dihancurkan kembali oleh Kaisar Romawi Titus Flavius Vespasianus pada 70 SM karena pemberontakan masyarakat Yahudi.
Berlandaskan Sakhrah Muqaddasah itulah Nabi dimi’rajkan, naik ke langit hingga Sidrah Muntaha. Saat Mi’raj, Nabi bertemu dan berkonsultasi dengan para Nabi sebelumnya. Selain dengan Nabi Adam, juga dengan Nabi Ibrahim, kakek moyangnya, ayah Ismail yang melahirkan suku Quraisy, suku Nabi Muhammad.
Perintah shalat menjadi lima waktu adalah hasil konsultasi Nabi dengan Nabi Musa, nabi sebelum Muhammad yang juga jenderal yang membebaskan kaum Yahudi dari kezaliman/ketidakadilan Fir’aun yang menjadikan mereka sebagai budak. Nabi Musa memimpin mereka eksodus dari Mesir ke tanah leluhur mereka demi menggapai keadilan sosial.
Yang dilakukan Nabi di atas memperlihatkan ayat menjelang akhir QS al-Baqarah/2 yang turun kepada Nabi, yaitu Ayat 285 yang menyebut bahwa kaum Muslimin tidak boleh membeda-bedakan antara satu nabi pembawa agama tertentu dengan nabi pembawa Islam, Nabi Muhammad. Juga ayat-ayat seperti kisah Nabi Ibrahim, nenek moyang kaum Yahudi dan Arab, ayat tentang Nabi Isa dan Maryam, dua orang yang disucikan dalam agama Kristiani seperti yang terdapat dalam Surat Maryam/19 dan beberapa ayat dalam QS Ali Imran/3.
Maka, sikap Nabi yang pemaaf yang menjadi latar lahirnya Isra Miraj saat berdakwah ke Thaif memperlihatkan titik temu dengan ajaran agama para Nabi sebelumnya. Sebagaimana sering dikutip banyak ahli, saat Nabi berdakwah ke Thaif, Nabi bukan hanya mendapatkan ejekan/hinaan, melainkan juga dilempari. Bagian kepala dan badan Nabi pun terluka.
Meski begitu, saat ditawari oleh Malaikat Jibril agar mereka dilemparinya dengan suatu gunung/bukit untuk meremukkan mereka/Thaif, Nabi melarangnya. Saat darah masih mengalir di wajahnya, Nabi malah berdoa: ”Ya Allah, berilah mereka hidayah karena mereka orang-orang yang tak tahu (Islam)” (HR al-Baihaqi). Dalam salah satu doa yang dipanjatkannya juga: ”Selama Engkau tak murka kepadaku, maka Aku tak peduli”.
Yang dimaksud para Nabi sebelumnya itu, terutama sikap Nabi Yusuf yang memaafkan saudara-saudaranya yang jahat (QS Yusuf/12: 92). Juga sikap/ajaran Nabi Isa dengan golden rule-nya yang menolak kekerasan dengan kekerasan, karena akan melahirkan kekerasan baru setelahnya. Sabda Nabi Isa yang terkenal: ”Jika engkau ditampar pipi kanan, berilah pipi kirimu”. Maka, salah satu sabda/hadis Nabi Muhammad pun yang terkenal adalah terkait ajaran ihsân, yaitu berbuat baik terhadap orang jahat/buruk.
Namun, dalam ajaran Nabi Muhammad ada kemiripannya juga dengan ajaran Nabi Musa tentang qishâsh (hukum balas), sebagaimana tampak dari perjanjian damai Hudaibiyah Nabi pada 6 H (628 M) dengan kaum non-Muslim/kafir pagan Mekkah. Dalam sikap Nabi sebagai kelanjutan dari sikapnya di Thaif, cara menyelesaikan masalah yang utama adalah cara-cara damai seperti musyawarah, penegakan hukum, dan penegakan keadilan, terutama meritokrasi.
Dengan begitu, multikulturalisme dengan kesetaraan hak bisa berdiri. Namun, perang dibolehkan sebagai jalan darurat, sebagai strategi bertahan hidup saat memperoleh serangan militer. Juga sebagai strategi terakhir demi transformasi sosial (dakwah) sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa di atas.
Multikulturalisme ekternal Muslim juga tampak tentu saja dalam shalat sebagai wahyu yang didapat Nabi saat Miraj, bertemu Allah secara langsung di Sidratul Muntaha, tanpa perantara Jibril. Selain dalam shalat seorang Muslim harus membesarkan hanya Allah saja sebagaimana tampak dalam bacaan takbir dan sujud, dalam shalat juga terdapat ritual salam sebagaimana yang diajarkan Nabi.
Salam berarti memberi kedamaian kepada manusia di sebelah kanan dan kirinya, non-Muslim sekalipun. Ini terefleksi dari hadis Nabi riwayat Bukhari bahwa siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, maka ia harus memuliakan/berbuat baik kepada tetangganya dan tamunya, yang Muslim atau bukan, jangan menyakitinya. Juga harus berkata baik atau diam dan dalam hadis lain harus menjaga hubungan baik dengan sesama (silaturahmi/kehangatan kemanusiaan), baik dengan sesama Muslim maupun non-Muslim, terutama yang satu kewarganegaraan.
Multikulturalisme/toleransi eksternal (kepada kaum non-Muslim) dalam shalat sebagai wahyu yang didapat saat Nabi Isra Miraj juga tampak dari ayat-ayat Al Quran yang dibaca kaum Muslimin setelah membaca al-Fatihah, terutama oleh para imam saat shalat jamaah di masjid hingga kini.
Misalnya QS al-Kafirun ayat 1-6 sebagai surat yang berisi toleransi beragama yang menjadi surat yang paling sering dibaca imam dan yang paling sering dibaca kaum Muslimin untuk shalat sebelum dan sesudah shalat jemaah. Sering dibaca juga oleh imam dalam shalat jemaah ayat sebelum ayat terakhir surat al-Baqarah, yang sudah diuraikan di atas.
Kadang dalam shalat sebagai wahyu yang didapat saat Nabi Isra Miraj juga dibaca ayat soal kebebasan beragama oleh sebagian imam, yaitu QS Al-Baqarah/2: 257: ”Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat”.
Bahkan, kadang dibaca oleh sebagian imam QS al-Mumtahanah/60 : 8 yang membolehkan berbuat baik dengan memberi sedekah kepada fakir miskin yang non-Muslim, bahkan memberi jabatan publik selain kepala negara kepada non-Muslim yang baik. Ayat itu berbunyi: ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang (non-Muslim) yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. Wallâh a’lam bis-Shawâb. (zm)
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Artikelnya dimuat pada kolom opini KOMPAS, 27 Januari 2025. Lihat https://www.kompas.id/artikel/isra-miraj-salat-dan-multikulturalisme?open_from=Artikel_Opini_Page