Islamofobia dan Standar Ganda

Islamofobia dan Standar Ganda

Dr Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Aksi pembakaran mushaf Alquran di depan Kedubes Turki oleh Rasmus Paludan, seorang politisi Swedia, pada Sabtu (21/1) di Kota Stockholm, ibu kota Swedia menunjukkan masih tingginya Islamofobia di Swedia. Padahal, Swedia dan Eropa pada umumnya sering menyerukan negara lain untuk toleransi dan menghormati hak kelompok minoritas (Republika, Senin (23/1/2022).

Tentu wajar, apabila umat Islam marah dan mengutuk keras aksi pembakaran Alquran tersebut, karena aksi intoleransi itu justeru dilakukan oleh seorang politisi yang seharusnya menjadi teladan penyeru toleransi, menghargai eksistensi agama lain, menghormati minoritas Muslim, dan menjunjung tinggi HAM.

Media Barat dan para pegiat HAM di Barat membisu, tidak merespon penistaan Kitab Suci tersebut. Negara-negara Barat cenderung menerapkan standar ganda. Kebebasan, demokrasi, dan HAM hanya diberlakukan pada dunia Islam, tetapi tidak berlaku pada mereka. Sikap diskriminasi dan tidak adil tersebut berpotensi memicu ketegangan hubungan Barat dan Islam, di saat Islam tumbuh dan berkembang pesat di Eropa dan Barat.

Kebencian terhadap Islam yang ditunjukkan Rasmus dengan pembakaran Alquran itu sungguh di luar kewarasan nalar, sehingga patut diduga pelakunya mengidap penyakit kejiwaan. Selain bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun, sikap antipati terhadap Islam tersebut merupakan menifestasi democrazy paling vulgar dan barbar. Sangat wajar, rakyat dan  Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, umat Islam sedunia mengecam keras aksi biadab itu.

Mengapa Barat begitu mengidap akut Islamofobia dan Alquranfobia? Bukankah nilai-nilai demokrasi yang mereka agung-agungkan itu mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan (kemajemukan), termasuk Kitab Suci dan ajaran agama apapun? Bukankah HAM yang mereka dengungkan itu dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan universal?

Mengapa Islamofobia?

Islamofobia itu secara psikologis merupakan sikap “ketertutupan dan ketidakdewasaan” dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan Islam dan umatnya. Ketertutupan dapat membuat seseorang tidak mau belajar dan mengerti, bahkan antipati terhadap Islam. Orang tertutup bisanya berjiwa kerdil dan cenderung tidak literat terhadap perbedaan.

Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa manusia cenderung memusuhi apa yang tidak diketahuinya (al-Insan ‘aduww ma jahila bihi). Sebagian warga Barat masih tertutup dan tidak dewasa dalam menerima kehadiran Islam dan umatnya sebagai entitas yang sejak lama merupakan bagian dari warga dunia.

Ketertutupan dan ketidakdewasaan itu menguat dan menjelma menjadi Islamofobia, antara lain, dipicu oleh mispersepsi, miskonsepsi, dan misinformasi tentang Islam yang disebarkan media Barat yang anti-Islam. Islam dipersepsi sebagai agama teroris, kitab sucinya mendukung kekerasan, dan antidemokrasi. Islam dipandang sebagai ancaman masa depan mereka, padahal mereka tidak atau belum memahami substansi ajaran Islam. Tanpa nalar kritis dan konstruktif, sebagian masyarakat Barat juga “termakan” teori Clash Civilation (benturan peradaban) yang pernah dikemukakan Huntington bahwa Islam akan menjadi rival dan musuh bebuyutan Barat setelah Perang Dingin dan runtuhnya Uni Sovyet. Faktanya, perekayasa perang Teluk jilid dua, tragedy Arab Spring, dan perang saudara di Kawasan Timur Tengah dan Afrika adalah Barat juga, dengan motif bisnis senjata, kepentingan ekonomi, energi, dan hegemoni politik.

Dalam Islamophobia: Making Muslims the Enemy (2008) Gottschalk dan Greenberg menarasikan Islamofobia sebagai “kecemasan sosial” terhadap Islam dan budaya Muslim yang sebagian besar tidak terbukti secara empirik. Di benak masyarakat Barat, Islam dibayangkan sebagai ancaman utama sistem politik, budaya, dan agama, termasuk prinsip-prinsip politik kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, aturan hukum, dan kepemilikan pribadi. Padahal, Islam bukan ancaman, apalagi mengancam kepentingan mereka.

Bukan kali ini saja, Barat mendiskreditkan Islam dengan melakukan ekspresi naif dan aksi bodoh pembakaran Alquran. Sudah berulang kali, oknum-oknum anti-Islam menebar kebencian terhadap Islam dengan membuat kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, intimidasi, diskriminasi terhadap komunitas Muslim, larangan menggunakan simbol-simbol Islam, seperti hijab, dan sebagainya. Sebagian mereka seolah menyimpan “mimpi buruk” terhadap Islam yang secara politik pernah berkuasa dan memajukan peradaban Barat di Andalusia (Spanyol), Sicilia, Perancis, dan sebagainya.

Fenomena Islamofobia tidak hanya “menghantui” Barat, tetapi nyata terjadi di Indonesia dan dieskpresikan melalui berbagai ekspresi anti-Islam. Misalnya saja,  Islam dianggap sebagai agama arogan, agama pendatang dari Arab, antitradisi dan kearifan lokal. Sikap Islamofobia seperti ini tentu sarat provokasi, kebencian, dan adu domba. Jika dibiarkan dan tidak dieliminasi, Islamofobia di Indonesia juga berpotensi memicu kegaduhan, disharmoni, dan disintegrasi NKRI.

Standar Ganda

Fenomena Islamofobia terus merebak dan mencari “panggung sandiwara”, antara lain, karena Barat memperlakukan dunia Islam dengan standar ganda, tidak fair, dan tidak adil. Standar ganda (double standard) sudah sangat lama diberlakukan Barat terhadap dunia Islam, setidaknya sejak Israel bercokol di bumi Palestina dan berkonflik dengan warga Palestina. Bahkan standar ganda selalu “dimainkan” Barat dengan hak istimewa di forum Persyarikatan Bangsa-bangsa, berupa Hak Veto yang kerap digunakan untuk membela sekutu mereka, dan tidak menjatuhkan sanksi, misalnya, kepada Israel yang kerap melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina.

Standar ganda sejatinya merupakan sikap mental kolonial yang tidak relevan lagi diterapkan di era digital ini. Karena masyarakat dunia semakin tercerahkan, mendambakan keseteraan dan keadilan, sekaligus melek literasi sosio-kultural. Sudah saatnya Barat melakukan rethinking politik standar ganda, terutama terhadap dunia Islam, karena relasi kesetaraan dan demokrasi berbasis nilai-nilai universal HAM, tanpa diskriminasi merupakan sebuah keniscayaan global.

Pemberlakuan standar ganda itu mencederai nalar HAM yang meniscayakan tatanan dunia yang adil, tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, pemimpin dunia Islam perlu bersatu padu menyuarakan penolakan standar ganda Barat. Relasi Barat dan dunia Islam perlu dikembangkan dengan prinsip saling menghormati dan membutuhkan satu sama lain, dengan tidak saling mencampuri dan mencederai ajaran agama masing-masing, termasuk tidak melakukan pelecehan dan penistaan terhadap Kitab Suci dan simbol-simbol agama.

Pemerintah Indonesia yang merepresentasikan mayoritas umat Islam Indonesia dinilai penting mengambil sikap tegas dan lugas dengan menyampaikan protes keras terhadap aksi pembakaran Alquran tersebut dengan memanggil dan memberi pelajaran HAM Duta Besar Swedia di Jakarta. Selain itu, MUI, Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lainnya penting menyampaikan nota protes keras kepada Dubes Swedia atas pembakaran Alquran tersebut.

Di atas semua itu, fenomena Islamofobia harus terus diwaspadai dan diatasi dengan meneguhkan persatuan, solidaritas sosial umat Islam, peningkatan literasi Islam wasathi, yang luas dan luwes. Islamofobia tidak akan mendapat momentumnya, jika para ulama, pemimpin, tokoh bangsa, dan umat Islam bersatu padu dan bersinergi dalam meneguhkan relasi agama dan negara (NKRI) dalam bingkai nilai-nilai Islam, Pancasila, dan nasionalisme berindonesia. Karena Islam tidak pernah menjadi musuh bagi siapapun. Islam hanya memusuhi ketidakadilan, termasuk standar ganda, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebobrokan moral.

Dengan demikian, sebagai refleksi kritis, fenomena Islamofobia harus dijadikan sebagai momentum untuk mengembangkan model dakwah dan pendidikan Islam yang menggembirakan, mencerdaskan, dan mencerahkan masa depan umat dan bangsa. Fenomena Islamofobia akan tereliminasi  jika nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin didakwahkan dan diaktualisasikan dalam kesalehan dan kebajikan sosial, sehingga umat Islam menjadi umat teladan terbaik (khaira ummah) bagi bangsa dan dunia.

Sumber: Republika Online, Selasa, 31 Januari 2023.