Islam yang Saya Pahami
Kalaupun ada teman mengajak berdialog tentang Islam, dengan senang hati saya akan berbagi pengetahuan dan kecintaan kepada Islam,tapi— maaf––saya tidak mau menghakimi kadar iman,kesalehan,dan pembagian jatah surga-neraka. Islam itu bermula sebagai ajaran wahyu yang datang dari langit, bukan muncul dari ranah bumi yang bersifat historissosiologis dan psikologis.
Karena kehendak dan kasih Allah, dipilihlah para rasul- Nya untuk menjadi juru bicara Tuhan. Mereka adalah manusia sebagaimana kita, tapi memiliki kekhususan karena langsung dibimbing oleh Allah melalui malaikat Jibril. Para rasul jubir Allah itu berakhlak mulia, cerdas, bijaksana, penyantun,pemaaf,tapi tegas.
Ibarat dokter yang mencintai kesehatan pasiennya, tapi jika diperlukan mesti tegas melakukan operasi dan amputasi. Semua objek yang saya imani itu gaib,nalar saya tak sanggup menjangkaunya. Yang secara historis ilmiah bisa saya kaji––itu pun hanya sebagian kecil––adalah mengetahui sejarah Rasulullah Muhammad dan memahami Alquran. Selainnya betul-betul gaib. Bahwa Alquran datang dari Allah, itu pun bagi saya merupakan loncatan dan pilihan iman karena secara ilmiah tidak bisa dibuktikan.Tentu saja nalar saya mencoba membangun dan mengumpulkan argumen bahwa Alquran itu wahyu yang sangat mulia dan menunjukkan jalan kebaikan bagi hidup saya.
Namun jika ditantang untuk memberikan pembuktian ilmiahempiris, nalar dan metodologi empiris saya tidak mampu melakukannya bahwa Alquran itu dari malaikat Jibril, karena Jibril itu makhluk gaib. Yang saya temukan adalah sebuah buku, terdiri atas kertas,tinta,dan bentuk kalimat dalam bahasa Arab, dan orangtua serta guru saya menjelaskan serta meyakinkan saya bahwa itu merupakan himpunan wahyu ilahi.
Karena isi Alquran datang dari Yang Mahasuci dan Mahakasih, untuk membaca dan mendalaminya saya diajari agar menyucikan badan,hati, dan pikiran agar mudah meresap. Jadi, sejak awal saya berpandangan bahwa Alquran itu bahasa Tuhan yang terekspresikan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab.Namun otak saya selalu saja berbahasa Jawa atau Indonesia ketika memahami kandungan Alquran, bahkan ketika salat.Bibir saya sewaktu salat berbahasa Arab Alquran,tapi bahasa mental tetap bahasa Indonesia dan sekali-sekali bahasa Jawa.
Dengan begitu, bacaan mental salat saya bukan bahasa Arab karena bahasa Arab bukan bahasa ibu. Pengetahuan saya tentang kandungan Alquran sangatlah minim. Kalau Alquran diibaratkan lautan luas dan lepas, perjalanan saya hanya sampai di Pantai Ancol, mengenal dan menyentuh air lautnya.Jadi,saya berhak mengatakan mengenal dan tetap berusaha mendalami kandungan Alquran, tapi sungguh tidak berani merasa menguasai kedalaman dan keluasan laut serta isinya yang sangat kaya-raya.
Argumen ilmiah historis yang memperkuat keyakinan saya tentang kebenaran dan kemuliaan Islam adalah mengenal riwayat hidup pembawanya, yaitu sosok Muhammad. Kalau mempelajari agama ataupun ideologi besar dunia, saya selalu ingin memulai dengan mengenal siapa pembawa atau pendirinya. Untuk ini pun saya pasti dipengaruhi oleh bacaan yang tersedia.
Karena terlahir di wilayah padang pasir dan sudah masuk abad keenam, dua faktor ini sangat membantu bagi sejarawan untuk menelusuri secara detail tentang sosok Muhammad sebagai figur historis. Catatan historis tentang Muhammad jauh lebih utuh dan transparan ketimbang sosok rasul Tuhan sebelumnya yang sulit ditelusuri secara utuh oleh sejarawan.
Sejak kelahiran sampai wafatnya, Muhammad berada dalam terang sejarah sehingga bagi mereka yang ingin mempelajarinya sangat terbuka, terlepas nanti seseorang akan memuji, mengkritik, mencintai, ataukah membenci, itu pilihan sikap masing-masing. Sosok Muhammad benarbenar merupakan buku kehidupan yang terbuka.
Bagaikan pendulum yang bergerak dari nasibnya yang amat sangat menderita, terlahir yatim piatu, pernah disayembarakan untuk dibunuh,sampai berakhir dengan kemenangan gemilang, mewariskan sebuah peradaban agung yang getaran pengaruhnya masih berkembang dan meluas sampai sekarang. Bermula mengembangkan ajarannya di Mekkah,tapi karena memperoleh ancaman amat berat lalu pindah ke Madinah. Setelah melakukan konsolidasi, Rasul Muhammad pun lalu kembali merebut Kota Mekkah dengan gagah, santun, dan damai.
Bahkan membuka lebar-lebar pintu maaf bagi mereka yang dulu pernah mau membunuh dirinya dan pengikutnya. Begitu mulia dan pemaafnya Rasulullah Muhammad. Betapa rendah hatinya di saat meraih puncak kemenangan. Dia menaklukkan musuhmusuhnya dengan ajarannya yang rasional, hatinya yang lembut, sikapnya yang simpatik, tapi tetap tegas dalam mengajarkan agamanya. Itulah sosok peletak dasar Islam. Jauh dari sikap yang angkuh, kejam, dan senang pada kebrutalan.
Yang membuat saya sangat terkesan dan kagum pada ajarannya ialah Rasul Muhammad melarang dirinya dibuat patung atau gambar sehingga saya terbebas dari pengaruh visual bahwa dia adalah orang Arab.Kesadaran historis saya tentu yakin dia orang Arab, tapi asosiasi etnis fisikal terkubur oleh ajarannya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal dan sangat membenci kekerasan.
Saya sendiri punya kenalan dosen keturunan Arab yang sangat alim,baik,rendah hati, serta penyantun seperti diajarkan Rasul Muhammad,sekalipun terhadap mereka yang berbeda agama.Namun saya juga punya kenalan keturunan Arab yang mengaku muslim, tapi kadar karatnya —ibarat emas—mungkin rendah sehingga yang terkesan malah seperti Arabnya Abu Jahal yang beringas sekalipun bahasa Arabnya fasih ketika menyebut ayat-ayat Alquran.
Namun, begitulah manusia, dalam hati kecilnya semua ingin hidup dengan baik, senang, dan memperoleh posisi serta pengakuan dalam masyarakat. Hanya niat dan pernyataan untuk menjadi baik dan benar tidaklah cukup. Nyatanya sepanjang sejarah selalu tumbuh bersama antara kekuatan negatif dan positif, antara energi setan dan malaikat, antara perang dan damai.That’s life. Juga suatu fakta yang tidak bisa dibantah, saya terlahir dan hidup dalam suatu wilayah kekuasaan politik bernama Republik Indonesia.
Karena itu,sebagai warga negara, saya terikat pada hukum negara dan sebagai seorang muslim terikat dengan hukum dan tradisi Islam. Sebagai anak terikat dengan etika dan kewajiban kepada orangtua, sebagai seorang suami dan ayah saya juga memiliki keterikatan dan tugas yang mesti saya penuhi sebagai suami dan ayah. Saya merasa bersyukur mengenal dan memahami Islam yang memberikan arah, makna, dan pedoman bagaimana menjalani dan mengisi kehidupan.
Terima kasih kepada Rasul Muhammad yang telah mewariskan ajaran begitu mulia. Saya terlalu sombong untuk mengatakan sebagai pembela Islam karena Islam telah membela dirinya sendiri.Tanpa saya,kebenaran Islam tak akan surut dan berkurang. Dengan kehadiran saya,Islam juga tak akan menjadi lebih benar dan hebat.
Saya berpendapat, cara terbaik membela Islam— kalaupun kalimat itu benar— adalah dengan menjadi seorang mukmin yang keimanannya membuahkan amal dengan didasari dan diarahkan oleh iman Allah.Kedua,memperbanyak amal kebajikan sebagai buah dari iman yang dirasakan oleh sesama manusia, apa pun agamanya. Ketiga, senantiasa sujud berserah diri kepada Tuhan sehingga terhindar dari kesombongan dan tidak terpelanting dari orbit ilahi.
Keempat, hendaknya hidup ini dijalani dengan ikhlas, jauh dari keinginan untuk mendapat pujian,tepuk tangan, dan sanjungan karena ujungnya hanya akan membuat lelah fisik, mental,dan hati.
Ketika Islam menjadi komoditas politik dan berbagai kelompok bertikai dengan garang seakan berebut kunci surga—jangan-jangan bak matador yang diprovokasi oleh selembar kain merah lalu mengamuk––, saya merasa sedih dan kasihan, apakah begitu cara membela Islam dan menghargai kemanusiaan?. []
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 6 Juni 2008