Islam Ideologis dan Kultural
Prof Dr Media Zainul Bahri MA, Guru Besar Pemikiran Islam Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mf)
Secara umum, terutama di masa-masa Sintesis Mistik (istilah Ricklefs) abad ke-17 dan 18, Muslim di Nusantara dipanggil sebagai “Muslim tradisional” atau “Islam tradisi” atau “Islam tradisional”.
Barulah Ketika Wahabisme masuk ke Nusantara di awal abad ke- 19 hingga dekade pertama abad 20 (Minangkabau tahun 1803, Azyumardi Azra; Jawa sekitar tahun 1858 hingga 1911-an, Ricklefs), Islam tradisional mendapat perlawanan dari “Islam modernis” atau “Islam reformis” dengan corak Wahabisme (dan corak reformisme Muhammad Abduh dkk). Hingga tahun 1960-an, sejauh penelusuran saya thdp karya-karya sarjana Muslim dan sarjana Barat, tipologi Islam tradisional dan Islam modernis masih dominan.
Barulah pada tahun-tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an hingga masa Reformasi, tipologi itu berkembang sangat heterogen. Dari bermula tradisionalis versus modernis, kemudian bertransformasi menjadi Neo-modernis, Post-tradisionalis, Neo-revivalis, Islam rasional, Islam trasnformatif, Islam peradaban, Islamis-konsevatif, Progresif, Liberal, Salafi-wahabi, Salafi-jihadis, Salafiyah ideologis dan macam-macam.
Di NU sendiri: dari mulai NU Islamis-konsevatif, moderat, progresif hingga NU Liberal. Di Muhammadiyah juga: dari reformis-modernis-puritan hingga modernis-progresif-kosmopolitan. Semua tipologi itu berkumpul dalam dua kelompok besar: Islam ideologis dan Islam kultural, yang menghuni “Rumah Besar” Islam Indonesia.
Jadi, jika disebut Islam Indonesia, Islam yang mana? Jika disebut NU dan Muhammadiyah, NU yang mana? Muhammadiyah yang mana? Mungkin elit dan intelektual NU dan Muhammadiyah menganut Islam progresif, Islam rasional, atau Islam peradaban, namun riset-riset terbaru (Rubaidi, 2021; Hilai Basya, 2020) menunjukkan ada kelompok-kelompok dalam dua Ormas besar itu yang Islamis-konservatif atau Salafi revivalis-konservatif, meskipun tidak dominan dan bukan dari garis resmi Organisasi.
Buku berjudul Perjumpaan Islam Ideologis dan Islam Kultural mungkin menjadi salah satu buku yang secara komprehensif menjelaskan Rumah Besar “Islam ideologis” dan “Islam kultural” Islam Indonesia periode 1960-2020 beserta contoh-contohnya.
Pada bagian pertama buku, saya menulis 100 halaman lebih tentang Islam ideologis dan Islam kultural: apa, bagaimana dan mengapa. Yang menarik dari isi buku ini adalah kita bisa melihat perjumpaan: apakah akomodasi atau pertentangan di antara varian-varian Islam ideologis dan kultural. Misalnya: apakah fenomena Ustadz Selebritis periode 2000-2010 benar-benar ekspresi Islam kultural di perkotaan? Tetapi mengapa ada banyak konten-konten dakwahnya yang dekat kepada paham Salafi-Wahabi yang ideologis? Apakah fenomena Islamisasi ilmu dan sains pada para pemikir hebat Indonesia periode 1970-an hingga 2014 benar-benar sebuah upaya kultural dalam memahami hubungan agama dan sains? Tetapi mengapa terdapat semangat “identitas Islam politik” sebagaimana yang sering dikampanyekan oleh “Muslim ideologis”? Apakah semangat anti Yahudi pada Muslim Indonesia benar-benar menggambarkan bentuk Islam ideologis? Dan seterusnya dan seterusnya.