Islam Dan Kultur Maritim

Islam Dan Kultur Maritim

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Hampir semua agama berawal dan dibesarkan di negeri daratan (continental state) seperti Hindu, Budha, Khonghucu, Yahudi, Nasrani, dan tidak terkecuali Islam. Sudah barang tentu kitab-kitab suci agama-agama tersebut difahami berdasarkan alam bawah sadar masyarakat yang berkultur maritim (continental cultures).

Persoalannya ialah semua agama diturunkan untuk manusia secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, termasuk kultur. Setiap etnik memiliki hak-hak kultural (cultural right). Jika pada masyarakat kontinental memiliki cultural right untuk menafsirkan kitab suci, maka masyarakat yang berbudaya kelautan (maritime cultures) juga memiliki hak-haknya untuk menafsirkan kitab suci menurut kondisi obyektifnya masing-masing.

Secara sosio-antropologis, kita bisa memetakan perbedaan cara pandang (world views) dan kosmologi antara masyarakat continental dan masyarakat maritime. Masyarakat continental sering dicirikan dengan sebuah masyarakat yang memiliki lapis-lapis masyarakat (social stratifications) yang beragam. Anggota masyarakatnya memiliki kelas-kelas sosial (social structure) yang bertingkat-tingkat. Semakin tinggi kelas suatu kelompok, semakin banyak mereka memiliki hak-hak privacy dan privilege.

Elit-elit masyarakat continental dalam lintasan sejarah sering dicirikan sebagai ‘tuan tanah’, memiliki peluang politik lebih besar untuk menguasai masyarakat, dan sering dijadikan sebagai referensi di dalam masyarakat dalam berbagai negeri.

Masyarakat maritim juga memiliki world views dan kosmologi tersediri juga sering dicirikan dengan sifat dan karakternya yang lebih terbuka, egalitarian, dengan stratifikasi dan struktur masyarakat yang sederhana. Alamnya berupa pulau yang bentangan pantainya sangat panjang membuatnya lebih terbuka dan lebih gampang menerima perbedaan.

Filosopi masyarakat maritim pantai adalah milik bersama. Siapapun berhak menambakkan perahu di pantai manapun. Dengan demikian wajar kalau masyarakatnya lebih bersifat egaliter, akomodatif, adaptatif, tolerans, bertenggang rasa, dan ramah. Karakter seperti ini tidak mudah ditemukan di negeri continental seperti di Kawasan Timur Tengah.

Agaknya inilah rahasianya, mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama di dalam masyarakat continental, terutama agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi Kristen, Khonghucu, dan Islam.

Demikian pula semua Nabi dan Rasul-Nya diturunkan di negeri continental. Tidak pernah dikenal ada Nabi atau Rasul turun di negeri maritime. Mungkin rahasianya antara lain, justru tantangan dunia kemanusiaan itu pada umumnya datang dari masyarakat continental. Sikap ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan lebih banyak melekat pada masyarakat continental ketimbang masyarakat maritim.

Dalam masyarakat maritim seperti di kawasan Nusantara, Tuhan tidak perlu menurunkan wahyu, Nabi, dan atau Rasul di sana karena basic karakternya sudah lebih soft. Cukup Ia mengutus Wali Songo, maka masyarakat Nusantara sudah bisa menjadi muslim/muslimah yang baik. Begitu mudah Wali Songo mengislamkan wilayah Nusantara. Tidak perlu melalui peperangan dan ketegangan. Kemudahan penduduk memelauk agama Islam karena nilai-nilai Islam dianggap bukan ‘benda asing’ tetapi sudah inherent di dalam diri dan kepribadian bangsanya.

Sumber: rm.id., 10-11 Februari 2022. (sam/mf)