Ironi Calon Tunggal Pilkada 2024

Ironi Calon Tunggal Pilkada 2024

Komisi Pemilihan Umum mencatat 37 daerah dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024 hanya diikuti calon tunggal. Jumlah ini masih mungkin berubah jika ada sengketa pencalonan dan dikabulkan oleh Badan Pengawas Pemilu.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 Tahun 2024 tentang Ambang Batas Syarat Pencalonan yang memberikan kemudahan bagi partai politik mengusung calon kepala daerah nyatanya tak berbuah manis. Tidak bisa mencegah munculnya banyak calon tunggal. Parpol di sejumlah daerah lebih memilih berkongsi dengan satu kekuatan politik besar.

Fenomena calon tunggal dalam pilkada bukan perkara baru. Pada Pilkada 2015, misalnya, sudah mulai bermunculan calon tunggal dan jumlahnya terus menanjak secara signifikan.

Bahkan, dalam pergelaran pilkada serentak 2020 di era pandemi Covid-19, ada 25 daerah yang hanya diikuti calon tunggal.

Masalah calon tunggal cukup kompleks, mulai dari persoalan kaderisasi partai politik hingga urusan finansial.

Baca juga: Warga Bukan Kotak Kosong

Tentu sangat ironis karena pilkada merupakan ajang persaingan antarpartai politik untuk merebut jabatan publik yang strategis. Apalagi, memajukan calon kian mudah dilakukan dengan adanya putusan MK teranyar. Sayangnya, kesempatan emas ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh parpol.

Fatwa Robert Dahl (1971) mengintroduksi, negara demokrasi dicirikan oleh dua hal penting, yakni adanya ruang kompetisi bebas yang dijamin negara dan partisipasi politik aktif warga dalam pemilu. Oleh karena itu, calon tunggal di pilkada jelas bertabrakan dengan kaidah demokrasi yang sehat.

Regulasi Pilkada 2016 menyebutkan bahwa jika ada calon tunggal di sebuah wilayah, pemungutan suara tetap diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam tataran teknis, surat suara memuat dua kolom. Satu kolom memuat foto pasangan calon, sedangkan satu kolom lainnya kotak kosong tanpa gambar apa pun alias kosong. Kotak kosong adalah istilah bagi lawan dari calon tunggal.

Dalam sejarahnya, calon tunggal yang melawan kotak kosong hampir bisa dipastikan menang meski ada pengecualian di Pilkada Kota Makassar tahun 2018 di mana kotak kosong menang. Namun, setelah itu, tidak pernah terdengar lagi ada kotak kosong yang menjadi juara di pilkada.

Di tengah pemilih yang cenderung apatis dan transaksional, kemungkinan kotak kosong menang kembali sulit terjadi. Meskipun ada ketentuan yang sangat berat bahwa calon tunggal akan dinyatakan sebagai pemenang jika mereka meraup suara lebih dari 50 persen suara sah, tetap saja grafik kekalahan kotak kosong naik pesat.

Kuasa oligarki

Ada sejumlah fakta mutakhir yang layak disodorkan terkait munculnya puluhan calon tunggal melawan kotak kosong di pilkada.

Pertama, kuasa oligarki politik dan ekonomi. Harus diakui, persoalan kandidasi calon kepala daerah sepenuhnya berada di tangan elite kunci partai politik. Realitas ini menegaskan argumen Robert Michels yang menyebut bahwa organisasi modern seperti parpol tak pernah lepas dari cengkeraman kuat hukum besi oligarki.

Jeffrey Winters (2011) mempertebal rasionalisasi Robert Michels yang menandaskan oligarki bukan sekadar berkuasa penuh atas politik, melainkan juga punya akses terhadap sumber daya ekonomi yang bisa mengorkestrasi apakah seseorang bisa maju atau tidak pilkada.

Kisah sukses calon tunggal di pilkada sangat mungkin bisa diterapkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Oligarki jumlahnya segelintir, tetapi posisinya sangat superior dan dominan. Bahkan, oligarki menjadi aktor kunci dalam proses penentuan kandidat pilkada.

Kedua, lemahnya kaderisasi partai politik. Fungsi utama parpol adalah nominasi kandidat yang dalam definisi utuh adalah bahwa partai politik wajib hukumnya melakukan rekrutmen kandidat yang mampu mewakili partai dalam pemilihan umum (Larry Diamond dan Richard Gunther, 2001).

Fenomena calon tunggal mengindikasikan partai politik lemah dalam kaderisasi calon pemimpin dan lebih memilih mengusung jagoan parpol lainnya. Ini jalan pintas yang lazim dilakukan secara kolektif para oligarki di negara ini. Berorientasi pada kepentingan pragmatis jangka pendek semata.

Mestinya partai politik berani memajukan calon internal dalam pilkada. Kalah menang urusan belakangan. Problem kaderisasi menjadi persoalan cukup akut sejak lama dan partai politik tidak serius berbenah. Partai politik begitu berjarak dengan konstituen.

Di setiap hajatan politik elektoral, partai politik gagap memajukan kandidat sendiri. Bukan cuma tak populer dan bukan cuma kiprah yang minim, parpol di daerah tidak punya kader yang layak diandalkan.

Ketiga, ongkos politik mahal. Di sejumlah daerah, partai politik tidak berani mengusung kandidat karena mahalnya biaya politik bertanding. Apa pun judulnya, politik elektoral seperti pilkada membutuhkan logistik yang memadai.

Budaya jual beli suara yang masif, mahar politik pencalonan yang begitu tinggi, termasuk mahalnya mengonsolidasi mesin politik, menjadi alasan partai politik tak punya nyali mengusung calon. Efeknya, parpol terpaksa memilih jalan pintas berkongsi dengan calon lain yang dinilai kuat secara finansial dan politik.

Larangan calon tunggal

Pemerintah dan DPR perlu menangkap suasana batin anak zaman yang menghendaki adanya larangan calon tunggal dalam pilkada.

Negara ini mesti mengharamkan calon tunggal karena menyalahi hakikat demokrasi yang mengharuskan adanya persaingan politik fair dan terbuka. Jangan terulang ada kekuatan politik besar memborong semua partai politik demi melawan kotak kosong.

Khalayak berharap eksekutif dan legislatif mulai berpikir adaptif bagaimana memagari batas maksimal koalisi partai politik yang bisa menghindari calon tunggal. Jika ikhtiar regulasi tak dilakukan, di kemudian hari jumlah calon tunggal yang melawan kotak kosong akan terus bermunculan.

Jumlahnya bisa berlipat ganda, naik secara signifikan. Harus ada rekayasa politik (political engineering) untuk menghindari politik yang begitu brutal dengan cara memborong semua partai politik. Praktik memborong semua partai politik menjadi ancaman serius bagi demokrasi yang mensyaratkan adanya persaingan yang sehat.

Partai politik di sejumlah daerah lebih memilih berkongsi dengan satu kekuatan politik besar.

Calon tunggal memungkinkan figur yang tak dikehendaki rakyat, dengan rekam jejak yang buruk, bahkan kontroversial, seperti mantan narapidana, bisa terpilih menjadi kepala daerah karena ia mampu memborong semua partai politik. Ujung-ujungnya, yang berlaku hukum rimba politik. Apalagi, peminat calon dari jalur independen makin sepi.

Ke depan, politik lokal makin gelap gulita dihantui ganasnya gurita calon tunggal. Oleh karena itu, jika tidak ada aturan soal batas maksimal jumlah koalisi di pilkada demi menghindari calon tunggal, bisa dipastikan di masa mendatang akan terjadi fenomena serupa di mana kekuatan politik tertentu akan mengangkut semua partai politik dalam koalisi besar.

Kisah sukses calon tunggal di pilkada sangat mungkin bisa diterapkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Apalagi, saat ini banyak elite partai politik tersandera kasus hukum. Sangat mudah tentunya memborong semua partai politik.

Adi PrayitnoDosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik