Ini Kerentanan Santri dan Pesantren dalam Merespon Pandemi
Gedung Rektorat, BERITA UIN Online— Santri dan komunitas pesantren dinilai memiliki celah kerentanan yang perlu diperbaiki dalam merespon Pandemi Covid 19. Diantaranya pengetahuan dan sikap mereka dalam menempatkan keberadaan virus Covid tersebut.
Demikian salah satu benang merah hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bertajuk “Dampak dan Ketahanan Institusi Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di Pesantren saat Krisis Pandemi COVID-19: Studi 15 Pesantren wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat”. Riset didiseminasikan secara daring, Rabu (19/1/2022).
Riset sendiri dilakukan di 15 pesantren di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebagai tiga kawasan dengan kasus persebaran Covid 19 yang tinggi. Riset dilakukan sepanjang Juli-November 2021 dengan melibatkan 819 responden untuk data kuesioner dan 132 informan wawancara dan diskusi kelompok terfokus.
Kordinator Penelitian Pesantren dan Pandemi Laifa Annisa Hendarmin Ph.D menuturkan, pengetahuan santri tentang Covid 19 cukup memadai namun terdapat beberapa aspek yag minim. Misalnya 52,1% santri tidak yakin rokok membuat seseorang lebih rentan terinfeksi Covid 19.
Selanjutnya, 61,7% santri sasaran penelitian tidak yakin bahwa SARS Cov 2 varian delta lebih menular dari varian virus corona lainnya. Selain itu, ditemukan adanya sebagian kecil santri yang tidak ingin orang lain tahu kalau ia terkena Covid 19 dan menyembunyikannya.
"Ada juga santri yang masih setuju orang tua berkunjung selama pandemik. Padahal itu pintu masuk penularan," kata dosen Fakultas Kedokteran UIN Jakarta.
Problem lain santri di lingkungan pesantren dalam penerapan protokol kesehatan. Ini terutama konsistensi adalah menjaga jarak 48,5%, jabat tangan setelah shalat 62,5%, dan menjaga jarak ketika ibadah 62,5%.
Terkait vaksinasi, saat riset dilakukan, status santri sudah divaksin mencapai 70,5%. Sementara itu, 36% santri masih ragu-ragu dan tidak berminat mengikuti vaksinasi, sedang 55% menolak vaksin karena agama. Selain karena faktor orang tua yang tidak percaya terhadap vaksinasi diduga karena pesantren belum mendapatkan kuota vaksin Covid 19.
Laifa menambahkan, situasi pandemi Covid 19 menimbulkan beban kesehatan mental bagi kalangan santri. Sebagian besar santri mengalami depresi ringan (39,8%) sampai agak berat. Ini ditandai dengan kesulitan tidur, sulit berkonsentrasi, kurang atau terlalu banyak makan, kurang percaya diri, dan merasa gagal.
Lebih lanjut, riset juga menemukan bahwa 72% santri percaya bahwa agama menjadi jalan keluar untuk wabah covid 19. Selain itu, 63,8% sering berwudhu dinilai membentuk kekebalan terhadap Covid 19, 36% menilai pengobatan modern atas Covid 19 tidak lebih baik dari pengobatan Nabi, dan 22,9% percaya bahwa berkumpul dengan wali/ulama dapat melindungi kita dari Covid 19.
Anggota tim peneliti, Dr Ida Rasyidah menambahkan, kerentanan lain yang ditunjukkan santri dalam merespon pandemi Covid 19 adalah menempatkan keberadaan virus ini sebagai konspirasi. "Kerentanan lainnya, keyakinan Covid 19 terkait konspirasi masih cukup tinggi," katanya.
Riset menemukan kecenderungan responden santri dimana 63,0% percaya bahwa Covid 19 bagian dari konspirasi politik agar umat Islam jauh dari Allah SWT. Lalu, 63% percaya bahwa Yahudi membuat virus untuk meruntuhkan Muslim, 61% percaya bahwa perusahaan farmasi menciptakan virus utuk mengambil untung dari vaksin.
"51% responden percaya bahwa pembatasan ibadah selama pandemi merupakan upaya pelemahan umat Islam," ujar dosen Sosiologi FISIP UIN Jakarta ini.
Analisis tim riset, ungkap Ida, menemukan adanya korelasi antara kepercayaan bahwa Covid 19 sebagai konspirasi dengan perilaku pencegahan pencegahan Covid 19. Semakin tinggi kepercayaan terhadap konspirasi semakin minim perilaku penegahan covid 19.
“Itulah sebabnya pentingnya meminimalisi isu konspirasi di kalangan santri dan guru di kalangan pesantren," tambahnya. (zm)