Indonesianis: Pancasila Ekspresi Ideal Islam Wasathiyah
Ciputat, BERITA UIN Online— Pancasila merupakan ekspresi ideal Islam Wasathiyah yang berhasil diterapkan di Indonesia. Ia menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dalam merespon berbagai pluralitas dimensi sosialnya.
Demikian disampaikan Indonesianis Profesor Peter G. Ridell saat menyampaikan presentasinya dalam Konferensi Internasional STUDIA ISLAMIKA PPIM UIUN Jakarta, Jumat (10/12/2021). Merujuk pada penerapan Islam Wasatiyah di Indonesia, ungkapnya, Pancasila merepresentasikan model ideal Islam Wasathiyah dalam konteks bernegara.
Menurutnya, Pancasila menjadi pernyataan toleransi beragama dengan sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Melalui Pancasila, Indonesia tetap mengedepankan sistem persatuan di tengah-tengah perbedaan seperti tertuang dalam sila ketiganya.
Lebih menakjubkan lagi, Pancasila dirumuskan pada 1945. Hal ini membuktikan Indonesia memiliki sudut pandang yang sangat visioner dalam menempatkan sikap toleransi.
"Bahkan (hal ini, red.) melampaui negara-negara Barat dalam hal toleransi beragama. Dan itu adalah elemen kunci dalam konsep Islam Wasatiyah yang tengah kita bumikan sekarang,” ujarnya.
Mengenai Islam Wasathiyah sendiri, Direktur Pusat Islam dan Hubungan Muslim-Kristen ini menuturkan jika konsep ini sudah dituturkan dalam Al-Baqarah ayat 143. Ayat ini menerjemahkan Wasathiyah sebagai yang tengah atau penengah dari konsep Islam, tidak di sisi terlalu kanan atau terlalu kiri.
Peneliti Sejarah Teologi di School of Oriental and African Studies (SOAS) Universitas London ini menambahkan, pembeda penting antara Islam Wasathiyah dengan konsep Islam lainnya adalah kesediaan dan keterbukaannya untuk mendengar dan menerima pandangan maupun masukan dari ‘orang luar’. Hal ini berlaku baik dalam perbedaan kelompok mazhab dalam Islam sendiri maupun Non-Muslim.
“Wasathiyah islamiyah juga tidak membatasi sistem persaudaraan hanya untuk Muslim dari grup yang sama saja, tapi menerapkan sistem persaudaraan bagi seluruh manusia,” sambungnya.
Manajer World Vision Australia Regional Asia Timur dan Tenggara ini menambahkan, Islam Wasatiyah sendiri memiliki akar historis yang kuat dalam sejarah dan tradisi Islam. Sejak 610 SM, sikap Wasatiyah dijadikan sebagai gaya para pemimpin Ummayah dan Abasyiyah dalam menjalin hubungan dengan para petinggi dan penduduk dari berbagai wilayah.
“Melalui sistem Wasathiyah, para khalifah memberikan ruang bagi outsiders untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka, menjalin pertemanan dan saling mengenalkan tradisi mereka tanpa ada paksaan,” ujarnya.
Sementara itu, Profesor Riset Bidang Ilmu Sosial, Budaya dan Kajian Agama pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Najib Burhani, menjelaskan jika Wasathiyah tidak hanya berarti tengah-tengah. Menurutnya Wasathiyah juga bisa difahami sebagai konsep harmonisasi, dimana Muslim diposisikan sebagai pembawa keadilan bagi komunitas, lingkungan, bahkan dunia.
Merujuk pada karakteristik sosial Muslim Sunni di Indonesia, terdapat empat karakteristik penting Wasathiyah. Keempatnya yaitu Tawassut (moderat), I’tidal (keadilan), tawazun (keseimbangan) dan tasamu (toleransi).
Kendati demikian, sambungnya, hal yang perlu diperhatikan adalah tantangan terhadap penerapan Islam Wasatiyah di Indonesia. Tantangan ini mengemuka dalam pemahaman keagamaan bahwa Islam adalah agama yang kaku, sulit menerima perbedaan, dan dianggap sebagai perpanjangan atau kamuflase dari beragam program radikalisme.
“Ini menjadi tantangan yang perlu segera dicari penyelesaiannya, agar konsep Islam Wasatiyah dapat benar-benar dipahami dengan baik dan membawa citra baru bagi Islam di masa depan,” ujarnya.
Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung Profesor Nina Nurmalia menambahkan, sikap Wasathiyah Islam juga memiliki akar historis dalam perkembangan Islam di Indonesia. Walisongo, jelasnya, menggunakan strategi akulturasi budaya atau lokalisasi Islam sebagai cara mendakwahkan Islam."Ini sejalan dengan konsep wasatiyah yang mengedepankan perdamaian,” ujarnya.
Dalam paparannya, Profesor Nina mengajak seluruh Muslim untuk membangkitkan tradisi wasatiyah dengan merujuk kembali pada nilai-nilai keislaman dalam Alquran dan menginterpretasikannya secara kontekstual demi menghadirkan Islam sebagai agama yang kompatibel di berbagai zaman dan tempat.
“Menjadi muslim bukan berarti terlihat atau bertingkah seperti orang Arab, karena Islam bukan hanya untuk orang orang Arab, tapi dunia secara universal. Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, terlepas dari negara, gender, ras atau aspek pembeda lainnya,” pungkasnya. (zm)