Iman itu Cahaya
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”
Iman itu cahaya, demikian kesimpulan yang didapat dari Abu al-Laits dalam Masail Abi Laits. Cahaya itu menerangi hati, akal, dan ruh seorang mukmin. Oleh karena itu, hati seorang mukmin terang benderang. Dia dengan mudah dapat membedakan antara yang baik dan buruk, yang bermanfaat dan yang tidak berguna, untuk urusan dunia terlebih urusan akhirat. Begitu juga akal seorang mukmin. Dengan akal yang diterangi dengan cahaya iman, akalnya tidak mengakali orang lain. Seperti menipu, memperdaya, membuat konspirasi, dan agitasi sehingga muncul friksi dan konflik. Sebaliknya, akal seorang mukmin kerap memberi solusi bagi berbagai persoalan yang berkelindan dalam kehidupan. Sementara ruh seorang mukmin, kelak dipanggil pulang dengan panggilan istimewa, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. al-Fajr/89: 27-30). Ruh yang diliputi cahaya kelak akan dipersilakan masuk surga. Oleh karena itu hati, akal, dan ruh yang bercahaya tidak mungkin memiliki kecenderungan untuk menyembah selain Allah SWT. Dengan hati yang bercahaya, seorang mukmin secara tegas dan jelas mempertuhankan Allah SWT. Dengan akal yang bercahaya, seorang mukmin secara rasional mengakui Allah SWT sebagai Tuhan. Termasuk dengan ruh yang diliputi cahaya, seorang mukmin senantiasa berkonsentrasi untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Tidak ada yang menjadi pusat segala sesuatu selain Allah SWT, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang jauh maupun yang dekat, yang terlihat maupun yang tak terlihat. Ruhnya dapat menyingkap rahasia di balik tabir. Cahaya iman seorang mukmin tak hanya berpendar saat di dunia, tapi terus hingga ke akhirat. Nabi SAW bersabda, “Pada hari kiamat api neraka berkata kepada orang beriman, “Cepatlah lewat, sungguh cahaya imanmu telah memadamkan apiku” (HR. Turmudzi). Cahaya iman ini berpangkal dari melaksanakan ibadah pada saat di dunia. Misalnya, wudhu. Kendati tampak seserhan, namun orang yang menjaganya akan dikerumuni cahaya. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya umatku pada hari kiamat datang dalam keadaan bercahaya (baik) muka, tangan, dan kaki mereka dari bekas wudhu. Oleh karena itu siapa saja yang ingin memanjangkan cahayanya, maka lakukanlah (wudhu)” (HR. Muslim). Inilah doa Nabi SAW, “Ya Allah, jadikanlah di hatiku cahaya dan di lisanku (juga) cahaya. Jadikanlah di pendengaranku cahaya dan di penglihatanku (juga) cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku (juga) cahaya. Jadikanlan dari atasku cahaya dan dari bawahku (juga) cahaya. Ya Allah, berilah aku cahaya” (HR. Bukhari dan Muslim).(sam/mf)