Ibadah Haji Miliki Dampak Positif bagi Individu dan Masyarakat
Lapangan UIN, BERITA UIN Online – Ibadah haji memilki dampak-dampak positif dan kemanfaatan yang banyak baik bagi individu yang melaksanakan ibadah haji maupun masyarakat pada umumnya. Bagi yang melaksanakan ibadah haji, akan terpancar kebaikan dan kesalihan dari pribadinya.
Hal itu dikatakan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Yusron Razak saat khutbah shalat Idul Adha 1439 H di lapangan kampus UIN Jakarta, Rabu (22/8/2018). Shalat Idul Adha yang digelar Masjid Fathullah UIN Jakarta itu dihadiri ribuan umat Islam.
Menurut Yusron, ibadah haji merupakan santapan ruhani yang sangat bagus. Para hujjaj akan memenuhi setiap tulang rusuknya dengan takut dan taqwa kepada Allah. Nuraninya akan terisi dengan cinta kepada Allah dan Rasul. Setelah beribadah haji, diharapkan seseorang dapat menahan dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan yang akan menjauhkan dari kesadaran ketuhanan. Jika itu terlaksana, maka lahirlah kesadaran baru akan eksistensi dan pribadinya.
Ibadah haji juga melatih seorang Muslim mengamalkan prinsip-prinsip kemanusiaan, persaudaraan, dan persamaan secara universal. Dalam ibadah haji, semua orang diminta menanggalkan pakaian, perhiasan yang seringkali menandai perbedaan daerah, kelas sosial dan sebagainya. Sebagai gantinya, semua memakai pakaian sederhana yang lebih mirip dengan kain kafan. Ketika berthawaf dan berwukuf di arafah, tidak terlihat kefakiran dan kekayaan seseorang.
Selain itu, haji juga mengajarkan nilai-nilai perdamaian dengan menanamkan ruh kedamaian ke dalam dirinya. Sebagian besar amalan haji dilaksanakan pada dua bulan yang termasuk bulan haram, dimana Allah menjadikannya sebagai masa gencatan senjata, perang dihentikan, begitu juga pertumpahan darah. Ketika melaksanakan ihram, seseorang masuk ke dalam suasana kedamaian yang hakiki dengan siapapun dan lingkungan sekitarnya. Bahkan, Khalifah Umar bin Khatab pernah berkata, ‘Seandainya saya menjumpai pembunuh ayahku di sana, aku tidak akan menyentuhnya dengan tanganku.’
“Inilah seruan perdamaian Islam yang genuine, yang terikat dan lahir dengan aspek-aspek ritual peribadatan, sehingga jauh dari hanya slogan semata,” katanya.
Hadirkan Islam “wasathi”
Yusron lebih lanjut mengatakan, hikmah-hikmah serta spirit ibadah haji dan ibadah qurban seperti di singgung di atas tentu sangat relevan diimplementasikan bagi seluruh umat muslim di Indonesia. Sebab, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, kita sedang mengalami sebuah era disruption, yang ditandai dengan banyaknya kekacauan dan ketidakteraturan.
Pertama, peradaban materialisme membuat sebagian umat Muslim begitu asyik mengejar kebahagiaan dunia. Ia jatuh dalam lembah mencintai dunia (hubbud-dunya) dan melalaikan bahkan takut dengan datangnya mati (karahiyatul maut). Rendahnya kesadaran akan kematian, akan datangnya datangnya hari akhir, serta riuhnya kehidupan materialism, membuat etika, moral dan spiritual agama tidak memiliki nilai penting. Dari situlah, akar-akar keserakahan, korupsi merajalela. Maka, momentum Idul Adha semestinya memunculkan kesadaran pentingnya ketuhanan dan nilai-nilai agama hadir dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Kedua, fenomena rendahnya keadaban publik. Di beberapa negara berpenduduk Muslim di Timur Tengah, kekerasan, konflik, dan terorisme dengan mencatut nama agama tumbuh subur menghancurkan peradaban negeri-negeri itu. Negeri yang semula aman tenteram, kini hancur. Ini memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan phobia dan ketakutan terhadap Islam, bahwa Islam menginspirasi kekerasan dan terorisme.
“Di sinilah peran umat Islam Indonesia untuk merevitalisasi semangat dan nilai-nilai Islam yang wasathi, yaitu Islam moderat yang telah lama menjadi wajah dan karakter Islam Indonesia. Paham keislaman Indonesia yang berwatak moderat ini perlu ditularkan kepada negara-negara Muslim lain. Nilai-nilai perdamaian yang terkandung dalam ibadah haji adalah momentumnya,” jelasnya.
Ketiga, kata Yusron, dunia saat ini juga ditandai dengan ketimpangan global yang semakin besar antara orang yang kaya dengan orang fakir miskin. Ibadah haji dan ibadah qurban mengajarkan bahwa esensi ibadah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (Hablum minallah), harus dibarengi dengan hablum minannas. Ibadah qurban mengajarkan kepedulian agar orang-orang Islam yang mampu hendaknya menaruh kepedulian terhadap kelompok masyarakat yang fakir dan miskin. Allah memberikan kritik keras bagi orang yang beribadah, namun lupa memperhatikan keadaan orang-orang yang miskin dalam QS al-Maun sebagai orang yang mendustakan agama.
Keempat, bangsa Indonesia saat ini tengah memasuki tahun politik. Perbedaan pandangan politik seringkali mengancam ukhuwah dan persaudaraan baik dalam konteks ukhuwah Islamiyah maupun ukhuwah wathaniyah. Perpecahan akibat perbedaan pandangan politik itu dipertajam dengan tersebarnya hoax, fitnah dan ujaran-ujaran kebecian dalam berbagai media komunikasi sosial yang kita gunakan seperti whats up, facebook dan lainnya.
“Maka dari itu, menjadi semakin penting bagi kita untuk meneladani pesan-pesan ibadah haji terkait dengan anjuran untuk menjauhkan diri dari perbuatan rafats (seronok), jidal (berbantah-bantahan), serta fusuq (atau perbuatan buruk dan dusta). Dengan bekal ini, insya Allah kita akan terhindar dari perpecahan akibat kontestasi dan pandangan politik yang berbeda-beda,” urai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Illmu Politik UIN Jakarta itu. (ns)