Hubungan Indonesia dan Timteng
Dalam berbagai diskusi tentang 'kajian Indonesia' di berbagai tempat di dunia, sering dibicarakan mengenai langkanya kajian Indonesia di Timur Tengah (Timteng). Hal ini mungkin mengherankan sebagian orang, karena Indonesia merupakan negara memiliki paling banyak penduduk beragama Islam, sehingga sering disebut sebagai 'negara Muslim terbesar' di muka bumi.
Adanya pusat-pusat kajian Indonesia--yang memberikan perhatian khusus pada Islam Indonesia--di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris sudah banyak diketahui. Pusat-pusat kajian yang berada di lingkungan universitas ini bukan hanya melakukan banyak kajian tentang Indonesia dan Islam Indonesia, tetapi juga merekrut mahasiswa Indonesia untuk menempuh program S2 dan S3; atau mengundang ahli-ahli Indonesia menjadi peneliti tamu dan dosen tamu untuk jangka waktu tertentu.
Sementara itu, di Indonesia di berbagai perguruan tinggi seperti IAIN, UIN, dan bahkan UI, terdapat jurusan dan bahkan pusat kajian yang mengkaji banyak aspek keagamaan, pemikiran, kebudayaan, sastra Arab atau Timur Tengah umumnya. Terdapat jumlah yang cukup signifikan skripsi, tesis, dan disertasi tentang subjek-subjek yang berkenaan dengan Dunia Arab dan Timteng. Karena itu, terdapat kalangan masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan memadai tentang Timteng; dan mereka terus meng-update pengetahuan mereka tersebut.
Tetapi, hal seperti itu sulit ditemukan di Timteng. Hal ini tidak lain karena perhatian dan minat masyarakat Timteng umumnya--termasuk universitas-universitas--pada Indonesia boleh dikatakan sangat minim. Karena itu, sulit menemukan pusat kajian di lingkungan universitas khususnya yang menyelenggarakan program akademik dan kajian tentang Islam Indonesia. Seperti diungkapkan Mona Abaza, ahli Islam Indonesia dan Asia Tenggara asal Mesir (2007), masyarakat Timur Tengah hanya memiliki pengetahuan yang samar tentang Indonesia dan Islam Indonesia.
Dengan pengetahuan samar itu, masyarakat Timteng cenderung memiliki pandangan yang disebut Abaza sebagai 'Arab sentris' dan bersikap parokial terhadap orang-orang Muslim non-Arab. Akibatnya, mereka cenderung tampil 'hegemonik' terhadap Islam Indonesia, seperti juga Islam di wilayah non-Arab lainnya. Dalam persepsi mereka, Islam Indonesia bukanlah Islam yang 'murni', tetapi Islam yang sudah tercampur dengan budaya lokal. Dan agaknya karena persepsi seperti itu, muncul pandangan tidak ada sesuatu yang patut dipelajari dari Islam Indonesia.
Padahal, seperti dikemukakan Abaza, juga hasil penelitian Nikki Keddie, guru besar UCLA, Islam di kawasan Arab, khususnya di Mesir dan wilayah Afrika Utara lainnya, juga menampilkan banyak ciri dan praktik Islam yang bisa ditemukan di banyak kalangan Muslimin Indonesia atau Asia Tenggara umumnya. Sebagai contoh, apa yang dilakukan kaum Muslimin di wilayah Arab seperti Mesir dan Afrika Utara dalam perayaan maulid Nabi Muhammad Rasulullah, hampir tidak ada bedanya dengan yang dijalankan kaum Muslimin Indonesia atau Asia Tenggara umumnya. Karena itu, simplistis untuk menganggap Islam Indonesia tidak murni jika dibandingkan dengan Islam Mesir atau Timteng umumnya.
Namun sebaliknya, bagi kalangan Muslim Indonesia, Islam Timteng penuh pesona; dan karena itu kaum Muslimin Timteng harus menjadi 'panutan' dalam berbagai hal, tidak hanya dalam pemikiran dan praktik keagamaan, tetapi juga dalam berperilaku, bahkan dalam cara berpakaian. Sebab, dalam anggapan kalangan kaum Muslimin Indonesia ini, adopsi seperti itulah yang dapat mengantarkan mereka menjadi Muslim lebih baik, atau bahkan kaffah (sempurna).
Gejala seperti ini disebut Abaza sebagai troubled relationship, hubungan yang sebenarnya bermasalah, karena didasarkan mispersepsi dan pandangan yang keliru. Hubungan yang tercipta tidaklah didasarkan pada realitas sebenarnya, yang penting untuk membantu terciptanya pemahaman timbal balik yang lebih benar. Dan, dari pemahaman timbal balik yang benar itulah dapat diciptakan hubungan yang lebih baik pula.
Hubungan Indonesia dan Timteng memerlukan pemahaman timbal balik yang lebih baik; bukan hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, dan politik. Jika pemahaman lebih baik di antara kedua kawasan ini dapat terbangun, pada gilirannya hubungan politik dan ekonomi khususnya juga dapat dikembangkan lebih jauh.
Indonesia dan Timteng memang banyak diikat faktor keagamaan dalam hal ini Islam; tetapi faktor ini saja tidak cukup untuk mengembangkan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yang pada gilirannya membantu masyarakat pada kedua wilayah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Inilah sesungguhnya harapan yang sudah lama terpendam di dalam masyarakat di kedua wilayah.
Adanya pusat-pusat kajian Indonesia--yang memberikan perhatian khusus pada Islam Indonesia--di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris sudah banyak diketahui. Pusat-pusat kajian yang berada di lingkungan universitas ini bukan hanya melakukan banyak kajian tentang Indonesia dan Islam Indonesia, tetapi juga merekrut mahasiswa Indonesia untuk menempuh program S2 dan S3; atau mengundang ahli-ahli Indonesia menjadi peneliti tamu dan dosen tamu untuk jangka waktu tertentu.
Sementara itu, di Indonesia di berbagai perguruan tinggi seperti IAIN, UIN, dan bahkan UI, terdapat jurusan dan bahkan pusat kajian yang mengkaji banyak aspek keagamaan, pemikiran, kebudayaan, sastra Arab atau Timur Tengah umumnya. Terdapat jumlah yang cukup signifikan skripsi, tesis, dan disertasi tentang subjek-subjek yang berkenaan dengan Dunia Arab dan Timteng. Karena itu, terdapat kalangan masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan memadai tentang Timteng; dan mereka terus meng-update pengetahuan mereka tersebut.
Tetapi, hal seperti itu sulit ditemukan di Timteng. Hal ini tidak lain karena perhatian dan minat masyarakat Timteng umumnya--termasuk universitas-universitas--pada Indonesia boleh dikatakan sangat minim. Karena itu, sulit menemukan pusat kajian di lingkungan universitas khususnya yang menyelenggarakan program akademik dan kajian tentang Islam Indonesia. Seperti diungkapkan Mona Abaza, ahli Islam Indonesia dan Asia Tenggara asal Mesir (2007), masyarakat Timur Tengah hanya memiliki pengetahuan yang samar tentang Indonesia dan Islam Indonesia.
Dengan pengetahuan samar itu, masyarakat Timteng cenderung memiliki pandangan yang disebut Abaza sebagai 'Arab sentris' dan bersikap parokial terhadap orang-orang Muslim non-Arab. Akibatnya, mereka cenderung tampil 'hegemonik' terhadap Islam Indonesia, seperti juga Islam di wilayah non-Arab lainnya. Dalam persepsi mereka, Islam Indonesia bukanlah Islam yang 'murni', tetapi Islam yang sudah tercampur dengan budaya lokal. Dan agaknya karena persepsi seperti itu, muncul pandangan tidak ada sesuatu yang patut dipelajari dari Islam Indonesia.
Padahal, seperti dikemukakan Abaza, juga hasil penelitian Nikki Keddie, guru besar UCLA, Islam di kawasan Arab, khususnya di Mesir dan wilayah Afrika Utara lainnya, juga menampilkan banyak ciri dan praktik Islam yang bisa ditemukan di banyak kalangan Muslimin Indonesia atau Asia Tenggara umumnya. Sebagai contoh, apa yang dilakukan kaum Muslimin di wilayah Arab seperti Mesir dan Afrika Utara dalam perayaan maulid Nabi Muhammad Rasulullah, hampir tidak ada bedanya dengan yang dijalankan kaum Muslimin Indonesia atau Asia Tenggara umumnya. Karena itu, simplistis untuk menganggap Islam Indonesia tidak murni jika dibandingkan dengan Islam Mesir atau Timteng umumnya.
Namun sebaliknya, bagi kalangan Muslim Indonesia, Islam Timteng penuh pesona; dan karena itu kaum Muslimin Timteng harus menjadi 'panutan' dalam berbagai hal, tidak hanya dalam pemikiran dan praktik keagamaan, tetapi juga dalam berperilaku, bahkan dalam cara berpakaian. Sebab, dalam anggapan kalangan kaum Muslimin Indonesia ini, adopsi seperti itulah yang dapat mengantarkan mereka menjadi Muslim lebih baik, atau bahkan kaffah (sempurna).
Gejala seperti ini disebut Abaza sebagai troubled relationship, hubungan yang sebenarnya bermasalah, karena didasarkan mispersepsi dan pandangan yang keliru. Hubungan yang tercipta tidaklah didasarkan pada realitas sebenarnya, yang penting untuk membantu terciptanya pemahaman timbal balik yang lebih benar. Dan, dari pemahaman timbal balik yang benar itulah dapat diciptakan hubungan yang lebih baik pula.
Hubungan Indonesia dan Timteng memerlukan pemahaman timbal balik yang lebih baik; bukan hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga kebudayaan, ekonomi, dan politik. Jika pemahaman lebih baik di antara kedua kawasan ini dapat terbangun, pada gilirannya hubungan politik dan ekonomi khususnya juga dapat dikembangkan lebih jauh.
Indonesia dan Timteng memang banyak diikat faktor keagamaan dalam hal ini Islam; tetapi faktor ini saja tidak cukup untuk mengembangkan hubungan dan kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yang pada gilirannya membantu masyarakat pada kedua wilayah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Inilah sesungguhnya harapan yang sudah lama terpendam di dalam masyarakat di kedua wilayah.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Republika, Kamis 11 November 2008