Hilangnya Rasa Malu
INDONESIA itu bukan Jakarta. Tetapi apa yang terjadi di Jakarta, oleh media massa, terutama televisi, diekspos sedemikian rupa sehingga memengaruhi perilaku masyarakat seantero Nusantara.
Seakan, apa yang terjadi di Jakarta adalah gambaran kondisi Indonesia. Meski yang demikian itu tidak benar, tapi yang pasti karakter budaya lokal semakin lama semakin tipis tergerus budaya kota, khususnya Jakarta. Yang menyedihkan, tidak semua yang datang dari Jakarta, yang ditayangkan media televisi khususnya, selalu bagus.
Mereka yang lahir dan tumbuh di daerah tentunya masih ingat, betapa rasa malu itu dahulu sangat kuat. Tetapi akhir-akhir ini berita dan pengaruh dari Ibu Kota justru menggerogoti sifat dan nilai luhur yang tumbuh di daerah, misalnya saja rasa malu yang merupakan nilai mulia sebuah bangsa dan juga ajaran agama.
Di lingkungan desa saya di dekat Candi Borobudur, Magelang, perceraian dalam suatu keluarga itu dianggap aib besar. Anggota keluarga menanggung beban batin dan malu mengapa anggota keluarganya sampai cerai. Pasti tidak mampu menempatkan diri dan tidak memiliki loyalitas serta sikap saling menghormati antara mereka.
Begitulah penilaian masyarakat. Para tetangga pun hanya pilih diam meskipun hatinya tidak setuju dan heran karena mencampuri urusan tetangga juga tindakan aib. Terlebih tindakan mencuri, sungguh aib besar dan selamanya akan dicatat diam-diam oleh masyarakat dan akan terkucilkan dalam pergaulan sosial.
Karenanya di desa selalu aman, hampir tidak pernah terjadi pencurian di dalam rumah, meski pintu tidak dikunci. Seingat saya, orang tua tidak pernah menyuruh saya belajar membaca Alquran. Tapi ada rasa malu kalau melihat teman sebaya sudah bisa membaca, sementara saya belum bisa, sehingga tidak usah disuruh orang tua pun saya akan selalu datang ke masjid, belajar mengaji.
Begitu pun ketika mandi telanjang di sungai. Jika sudah menginjak usia sembilan tahun belum sunat atau khitan, akan menjadi tertawaan teman-teman sehingga segera akan minta disunat. Kalau membolos sekolah juga ada rasa malu pada teman dan tetangga. Demikianlah, rasa malu itu dulu tertanam kuat sebagai sebuah tradisi di desa.
Namun setelah lebih dari dua puluh tahun tinggal di Jakarta, saya merasakan suasana sosial yang sangat berbeda. Media televisi sangat gencar setiap saat memburu berita dan menyajikannya ke seluruh Nusantara, sehingga mendominasi wacana publik. Apa yang terjadi di sebuah daerah ketika diangkat oleh televisi akan segera menyebar ke seantero Nusantara dan seakan menggambarkan itulah Indonesia.
Beberapa penyanyi dan pelawak lokal pun kalau sudah hijrah ke Jakarta dan berhasil tampil di televisi, maka dipersepsikan sudah menjadi artis dan pelawak nasional. Penceramah agama pun kalau sudah pernah tampil di televisi Ibu Kota, apa pun mutunya, sudah merasa sebagai penceramah nasional.
Itu semua sah-sah saja sebagai bagian dari dinamika dan perjuangan seseorang untuk mengubah nasib dan berbakti kepada masyarakat dan bangsa. Yang menyedihkan adalah ketika berbagai kasus korupsi, pelanggaran moral, dan sekian kejahatan yang dilakukan kalangan atas juga menjadi sajian berita dan yang bersangkutan terlihat biasa-biasa saja. Ini membuat masyarakat desa yang setia menonton televisi menjadi bingung.
Nilai-nilai yang selama ini dijaga justru dihancurkan oleh perilaku masyarakat Ibu Kota yang oleh masyarakat desa dibayangkan sebagai masyarakat terdidik dan beradab. Di situ muncul konflik batin yang pada urutannya menggerogoti dan merobohkan wibawa tradisi lokal yang mereka jaga dan hormati selama ini.
Bayangkan saja, artis punya anak yang tidak jelas orang tuanya ternyata menjadi tokoh selebriti. Ketika menjadi selebriti merupakan idaman dan pujaan anak-anak muda, dalam waktu yang sama tiada minggu tanpa berita pertengkaran dan perceraian rumah tangga selebiriti. Bagi orang desa hal ini sangat sulit dipahami.
Koruptor yang jelas-jelas melakukan dosa sosial dan agama, terlihat biasa-biasa saja ketika diwawancarai wartawan. Bahkan masih terlihat gagah. Anggota DPR yang oleh masyarakat dianggap tokoh panutan dan pembela nasib mereka, sangat sering diberitakan mangkir menghadiri tugas rapat.
Belum lagi yang diberitakan suka memeras dan meminta-minta uang sebagai imbalan jasa yang sama sekali tidak dibenarkan. Belum lama ini malah hendak main pukul dalam rapat. Yang juga mengusik nalar sehat adalah pesta tasyakuran ketika memperoleh jabatan baru, sehingga menimbulkan kesan kuat bahwa jabatan itu sumber kekayaan baru, bukannya sebuah amanat yang berat.
Hal-hal demikian ini secara sangat signifikan merusak bangunan kesadaran dan kesetiaan moral masyarakat bawah. Meski tingkat pendidikan dan ekonomi mereka rendah, namun telah berusaha menjaga tradisi moral bangsa. Justru yang pendidikan tinggi dan kekayaannya melimpah malah merusaknya.
Masih banyak paradoks sosial yang oleh televisi disajikan secara telanjang, sehingga masyarakat bingung bahwa rasa malu semakin hilang di kalangan masyarakat. Yang merusaknya justru dari lingkaran elite di kota-kota besar, khususnya Jakarta, yang mestinya menjadi panutan dan penjaga moral bangsa.
Namanya saja “ibu kotaâ€, mestinya menjadi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberi contoh. Jadi, untuk apa mesti sekolah tinggi-tinggi dan mengejar jabatan tinggi kalau ternyata tidak mampu menjadi teladan masyarakat? Begitulah logika sederhananya. Atau sebaliknya, untuk apa mesti setia menjaga moral, kalau yang mestinya menjadi panutan, yang sudah kaya dan berpendidikan tinggi, tidak peduli pada moral? (*)
Â