Hikmah Kurban dan Pendidikan Multikesalehan
Setiap hari raya Idul Adha (10 Dzulhijah) dan hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijah), umat Islam yang memiliki kemudahan dan kelapangan rezeki sangat dianjurkan menyembelih hewan kurban sebagai ibadah yang sarat edukasi nilai dalam rangka mewujudkan multikesalehan. Sedemikian pentingnya ibadah ini, sehingga Nabi SAW pernah menyampaikan ancaman serius: “Siapa saja yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjid kami” (HR at-Thabarani).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa berkurban itu bukan sekadar anjuran biasa (sunnah), melainkan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), karena dapat memberikan dampak moral, sosial, ekonomi, dan finansial yang positif, baik bagi pekurban maupun bagi panitia dan para mustahik. Terlebih lagi berkurban dan/atau mengalihkan dana kurban untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 yang tampaknya belum segera berakhir, karena jumlah warga bangsa yang positif terpapar virus corana semakin meningkat, meskipun di sejumlah negara Asean sudah mulai melandai.
Larangan Nabi SAW untuk tidak mendekati mesjid kepada orang yang mampu berkurban tetapi enggan berkurban mengandung pendidikan yang sarat dengan pelajaran substansial bahwa ibadah ritual, seperti salat, tidak bermakna dan tidak fungsional jika tidak disempurnakan dengan ibadah sosial seperti berkurban. Karena itu, Allah SWT menyetarakan atau menyandingkan perintah shalat dan berkurban dalam satu ayat: “Shalatlah karena [mengharap ridha] Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS al-Kautsar [108]: 2). Jadi, seorang Muslim yang sudah membiasakan shalat, tetapi masih enggan berkurban enggan, padahal mampu atau berkecukupan, maka shalatnya belum sempurna, atau belum membuahkan kesalehan sosial.
Dengan kata lain, ayat tersebut merupakan landasan konseptual dan operasional pentingnya pendidikan holistik integratif antara ibadah personal dan ibadah sosial. Pendidikan Islam holistik integratif harus “mempribadi”, mengejawantah dalam pribadi muslim yang shalih dan muslih (reformis dan progresif), dengan kesalehan integratif pula, yaitu kesalehan individual dan sosial yang ditandai taat beribadah mahdhah dan beribadah sosial seperti berkurban.
Mengapa anak yang dikurbankan?
Tradisi berkurban sejatinya telah berusia setua peradaban umat manusia. Tradisi kurban dimulai ketika dua putera Nabi Adam AS, Qabil dan Habil, mempersembahkan kurban masing-masing. Alquran mengisahkan “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS al-Maidah/5: 27)
Dalam sejarah, Habil dikenal sebagai peternak dan penggembala, sedang Qabil adalah petani. Dalam rangka mendekatkan diri (qurban, taqarrub) kepada Allah SWT, Habil mempersembahkan kurban seekor kambing paling bagus. sedangkan Qabil hanya mendermakan hasil pertaniannya yang terburuk. Oleh sebab itu, nazar dan persembahan kurban Habil diterima, sementara nazar dan persembahan Qabil ditolak oleh Allah. Dalam konteks ini, Qabil dikenal berperangai hasud, pendengki dan pendendam, sehingga dia berhati gelap dan melampiaskan amarahnya dengan membunuh saudara kandungnya. Sementara itu, Habil berhati bersih dan berkepribadian mulia. Dalam merespon sikap dan perilaku saudaranya, Habil menyatakan, bahwa diterima atau tidaknya persembahan kami oleh Allah Swt bukan tanpa dalil dan perhitungan. Karena itu, hasudnya Qabil kepadanya merupakan perbuatan sia-sia, karena Allah SWT hanya menerima persembahan dan kurban yang dilakukan dengan ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah, bukan riya’, ujub, atau sum’ah (pencintraan).
Qabil akhirnya membunuh Habil karena kedengkian dan dendamnya, sehingga Habil menjadi korban berdarah atas nama pelampiasan nafsu dendam yang membara. Fakta sejarah yang dinarasikan Alquran tersebut mengandung edukasi bahwa mendidik kesalehan dan ketakwaan seseorang itu dimulai dengan tazkiyat an-nafsi, pembersian dan penyucian diri agar hati menjadi ikhlas, bekerja, beribadah, dan berkurban secara murni dan tulis karena Allah semata, bukan karena mengharap pujian atau sanjungan dari manusia. Jadi, ibadah kurban mengajarkan keikhlasan yang didasari tauhid yang murni dan lurus. Ibadah kurban mendidik pentingnya “menyembelih” pencitraan dan kepalsuan yang tipu-tipu dan dusta.
Dalam perkembangkannya, tradisi berkurban sebelum Nabi Ibrahim diperintahkan berkurban dengan menyembelih anaknya itu “mengorbankan manusia” atau manusia banyak dijadikan korban, seperti dijadikan tumbal atau dipersembahkan untuk “menyenangkan” para dewa dan roh leluhur sebagian komunita manusia. Tentu saja, tradisi menumbalkan manusia merupakan praktik ritual yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, melanggar HAM (hak-hak asasi manusia). Tradisi ini dipraktikkan oleh banyak penguasa dan penyembah tuhan selain Allah SWT, sehingga tidak sedikit gadis cantik harus “rela dipersembahkan” sebagai korban atau menjadi “sesaji” sesuai permintaan tuhan palsu mereka.
Kurban yang sesuai dengan syariat Islam dan kemudian diteladani dan dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kurban yang diteladankan oleh kekasih Allah (Khalilullah), Ibrahim AS. Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya, Ismail AS. Melalui sebuah mimpi. Ketika sang ayah meminta pendapatnya mengenai perintah Allah untuk menyembelihnya, sang anak justeru meneguhkan keyakinan ayahnya: “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang yang sabar” (QS ash-Shaffat [37]: 102).
Ketegaran iman Ibrahim dan kebugaran mental Ismail dalam menerima ujian dari Allah untuk berkurban menunjukkan bahwa ibadah kurban menghendaki kesadaran teologis, kesabaran psikologis, dan kecerdasan spiritual yang tinggi. Karena berkurban sejatinya merupakan manifestasi dari rasa syukur terhadap karunia Allah. Secara semantik, perintah shalat dan kurban dalam ayat tersebut didahului: “Sungguh Kami telah memberimu [Muhammad] nikmat dan karunia yang luar biasa banyak” (QS al-Kautsar [108]: 1) Afirmasi ini menunjukkan bahwa Muslim yang mampu berkurban seharusnya merasa malu dan rugi jika tidak mensyukuri nikmat-Nya melalui kurban.
Mengapa Allah memerintahkan Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya, Ismail AS? Karena Allah SWT bukan saja menguji keimanan, keikhlasan, dan kesabaran sang kekasih-Nya, tetapi juga menitipkan sebuah pesan kemanusiaan paling mendalam melalui ibadah kurban, bahwa manusia –siapapun dia— tidak boleh dikorbankan baik untuk sesaji yang menyenangkan “tuhan palsu” maupun untuk tumbal pembangunan dan kekuasaan. Karena itulah, mengapa Ismail yang sudah hampir “disembelih oleh ayah kandungnya sendiri” diganti oleh Allah dengan seekor domba besar. Hal ini mengisyaratkan bahwa hanya hewan, bukan manusia, yang pas dan pantas untuk dikorbankan. Manusia harus dilindungi, dijaga, dan diberikan hak-hak hidupnya secara penuh, tanpa pernah dikorbankan lagi, atas nama apapun.
Pendidikan Multikesalehan
Berkurban sungguh sarat dengan edukasi nilai yang sangat luhur. Jika Nabi Ibrahim dan Ismail telah berhasil merubah tradisi pengorbanan manusia diganti dengan kurban hewan (karena Allah akhirnya mengganti Ismail dengan hewan sembelihan yang besar), maka berkurban di era milenial harus dimaknai sebagai “menyembelih” nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Sebab, manusia yang dirasuki sifat-sifat kebinatangannya dapat menjerumuskannya menjadi manusia bermoral rusak, berakhlak tercela, berkarakter negatif, pemaksiat dan pendosa.
Berkurban hewan itu mengedukasi Muslim memiliki multikesalehan. Pertama, kesalehan mental spiritual. Berkurban itu pasti merupakan respon ketaatan terhadap panggilan hati dan panggilan iman untuk menjadi hamba yang ikhlas dan taat kepada perintah Allah seperti ditunjukkan oleh Ibrahim AS dan Ismail AS, meskipun yang dikurbankan itu adalah kekayaan yang paling dicintainya.
Kedua, kesalehan sosial. Hakikat kurban merupakan aktualisasi kepedulian sosial dan spirit berbagi, memberi tanpa mengharap kembali. Kurban mengedukasi untuk memiliki jiwa filantropi: berempati dan mengasihi sesama, terutama para fakir miskin dan para korban terdampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sayangilah sesamamu yang ada di muka bumi ini, niscaya Allah juga akan menyayangimu!” (HR Muslim). Kesalehan sosial melalui kurban ini diteladankan Nabi SAW selama berdomisili di Madinah. Setiap Idul Adha Nabi SAW selalu menyembelih sendiri dua ekor hewan kurban, satu untuk keluarganya dan satu lagi untuk umatnya, lalu membagikan dagingnya kepada fakir dan miskin.
Ketiga, kesalehan ekonomi dan finansial. Berkurban dapat menggeliatkan roda ekonomi, terutama para peternak dan pedagang hewan kurban. Melalui kurban, umat diedukasi untuk mengelola finansialnya dengan baik agar bisa berkurban. Mobilitas ekonomi dan persebaran hewan kurban meningkat, sekaligus menyejahterakan banyak pihak (peternak, pedagang, penjagal, penerima daging, dan sebagainya). Melalui ibadah kurban roda ekonomi dan distribusi finansial berputar dan produktif. Umat Islam harus mulai berpikir strategis, bagaimana mengembangkan peternakan sapi, kerbau, kambing, dan domba yang sehat dan bergizi untuk memenuhi pasar di musim Idul Kurban dan di luar musim, sehingga impor daging sapi, misalnya, bukan menjadi pilihan, karena kebutuhan daging dapat dipenuhi oleh para peternak domestik yang diberi pendidikan dan pendampingan secara saintifik, akademik, dan praktik bisnis yang halal dan thayyib.
Keempat, kesalehan personal dan manajerial. Pekurban adalah orang yang memodali dirinya dengan ketakwaan dan kompetensi manajerial dalam mengelola dan mendayagunakan hartanya demi meraih kedekatan ganda: kedekatan vertikal dengan Allah dan kedekatan horizontal dengan sesama. Kurban merupakan bukti ketakwaan sejati. “Daging dan darah [dari hewan yang dikurbankan] itu sama sekali tidak sampai kepada Allah. Akan tetapi yang sampai dan diterima oleh Allah adalah kualitas takwa yang ada pada diri kalian…” (QS al-Hajj [22]: 37).
Kelima, kesalahan moral. Setiap Muslim diperintahkan berlaku ihsan (berlaku baik, elegan, dan wajar) kepada semua makhluk, termasuk binatang. Ketika menyembelih hewan kurban, penyembelih dilarang menggunakan pisau tumpul agar tidak menyakitinya. Nabi Saw. bersabda: "Allah telah mewajibkan berlaku ihsan terhadap segala sesuatu. Jika engkau menyembelih (hewan), berbuat baiklah (dengan mempercepat) penyembelihannya. Hendaklah engkau tajamkan pisaumu dan perlakukan binatang yang disembelih itu dengan sebaik-baiknya" (HR Muslim). Kesalehan ini merupakan salah satu manifestasi kesalehan moral kepada hewan yang akan disembelih, agar tidak menyakiti dan menyiksannya.
Jadi, ibadah kurban bukan sekadar ritualitas dan rutinitas penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik, tetapi juga merupakan transformasi karakter pekurban menjadi muslim bertakwa yang memiliki multikesalehan, peduli terhadap sesama, dengan mengembangkan spirit ta’awun dan filantropi yang dapat menggerakkan roda ekonomi umat dan bangsa.
Pekurban adalah hamba Allah sukses dan merdeka dari penjajahan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan negatif, sehingga idealnya para pekurban dan mustahik hewan kurban memiliki sifat-sifat mulia seperti: ikhlas, pandai bersyukur, sabar, murah hati, selalu berempati dan berbagi demi aktualisasi nilai-nilai ketuhanan (tauhid), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan umat dan bangsa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi semua yang menghendaki kearifan, kerakyatan, kedamaian, dan kesejahteraan melalui musyawarah
Oleh karena itu, ibadah kurban harus menjadi momentum strategis dalam mengedukasi nilai dan multikesalehan yang mencerdaskan dan mencerahkan, agar tradisi berkurban tidak berhenti pada tataran ritual-formal. Berkurban harus menjadi proses edukasi dan transformasi nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial bagi pekurban menuju pribadi bertakwa, merdeka, dan kaya multikesalehan. Semoga Idul Kurban tahun ini tidak hanya menginsafkan kesadaran kolektif warga bangsa untuk rela berkorban demi mencintai dan menjaga keutuhan NKRI dari bahaya laten PKI dan komunisme, tetapi juga mampu menjadi daya perekat kesatuan umat untuk mengenyahkan virus HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang akan diundangkan dan berpotensi mengkhianati hasil kesepakatan umat Islam dan para pendiri bangsa terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Wallahu a’lam bi ash-shawab!
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta dan Wakil Ketua Umum Imla Indonesia. Sumber: Majalah Tabligh No. 1/XIX 2020. (mf)