Hijrah Menuju Rida Allah
Sejatinya, hidup manusia itu berada dalam perjalanan hijrah, baik menuju kedekatan dengan Allah dalam meraih rida-Nya maupun menuju jalan yang menjauhkan diri dari-Nya, karena salah tujuan dan orientasi hidupnya.
Hijrah menuju rida Allah merupakan ajaran dan pengalaman profetik Nabi Muhammad SAW yang sangat sarat pelajaran kehidupan.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, hijrah hakiki (hijrah haqiqiyah) merupakan transformasi mental spiritual dari sikap dan penghambaan terhadap semua tujuan, dan orientasi duniawi, menuju penghambaan dan ketaatan autentik kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hijrah bukan untuk memenuhi ke - pentingan egoisitas dan syahwat du - niawi, melainkan untuk mengalah - kan egosektoral menuju kedekatan spiritual dengan-Nya.
Jika peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah dianalisis dan dikontekstualisasikan dengan kehidupan kebangsaan masa kini, tampaknya kita dapat mengambil sejumlah pelajaran penting, dalam rangka memaknai hidup yang lebih berorientasi masa depan: meraih kesuksesan dan bahagia di akhirat melalui kesuksesan dan bahagia di dunia yang fana ini.
Esensi hijrah bukanlah sekadar migrasi fisik, melainkan juga merupakan transformasi dinamis dan progresif dalam rangka perubahan paradigma atau mindset jahiliyyah (kemusyrikan, dekadensi moral, dan karakter negatif lainnya), menuju paradigma Ilahi dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang universal dan kosmopolitan.
Dalam hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya, terdapat keyakinan kuat bahwa spirit tauhid itu merupakan penggerak jiwa raga untuk bersikap, berpikir, bertindak positif, dan rela berkorban demi meninggalkan karakter negatif, dan penyakit jahiliah yang sudah mendarah daging. Stephen
Covey dalam Seven Habits menulis, ‘everything is created twice’ (segala sesuatu diciptakan dua kali). Sebelum tercipta di alam fi sik, ia terlebih dulu diolah dalam alam pikir. Gubahan musik yang indah terlebih dahulu berada di otak komposernya. Produk fashion yang gemerlap terlebih dahulu didesain dalam pikiran desainernya.
Dengan kata lain, alam mental intelektual dan spiritual atau mindset sangat penting diubah melalui proses hijrah menuju rida Allah sehingga transformasi fundamental dalam perilaku dan karakter bangsa ini bisa berubah ke arah lebih baik, benar, dan bermaslahat bagi masa depan NKRI.
Mental spiritual
Perubahan mindset paling mendasar dalam spirit hijrah ialah memperbarui kesaksian (syahadat) dan komitmen berakhlak mulia. Kesaksian teologis, bahwa tiada tuhan se lain Allah dan Muhammad ialah rasul-Nya, menghendaki hijrah seja ti dengan pembuktian kesalehan autentik dalam bentuk sikap, perilaku, dan karakter positif.
Oleh karena itu, perubahan besar selalu dimulai dari diri sendiri, dengan peneguhan niat yang tulus dan benar. Ketika hendak hijrah, Nabi SAW mengedukasi para sahabatnya: “Amal itu sangat ditentukan oleh niatnya. Segala sesuatu itu ditentukan apa yang menjadi niat (komitmen hatinya). Siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya akan menuju Allah dan rasul-nya. Sebaliknya, siapa yang berhijrah karena ‘berambisi’ meraih keduniaan atau mengharapkan perempuan untuk dinikahinya, hijrahnya hanya mendapat apa yang diniatinya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, hijrah menuju rida Allah harus diawali dari mindset mental spiritual yang suci dan mulia.
Hijrah Nabi SAW menuju rida Allah ditunjukkan dengan memberikan teladan kebajikan paripurna sebagai the best role model (uswah hasanah). Melalui hijrah, beliau menampilkan contoh mendidik dengan cinta yang tulus dengan mewakafkan jiwa dan raganya untuk umatnya.
Beliau menanamkan pendidikan kepribadian dengan sentuhan hati: menyayangi, bukan melaknati. Beliau mendidik dengan penuh ke - ikhlasan, ketekunan: tidak kenal le lah dan tidak pernah menyerah. Terus memberikan motivasi dan inspirasi. Beliau juga mendidik para sahabatnya dengan penuh kesabar - an: tidak mudah emosi, tidak menyakiti, tetapi menjadikan peserta didik sebagai mitra sejati.
Hijrah menuju rida Allah idealnya bermuara pada terwujudnya sikap batin yang memotivasi dan melahirkan karakter yang positif, baik, dan mulia secara spontan. Oleh karena itu, spirit hijrah menuju rida-Nya perlu diorientasikan kepada, per tama, proses humanisasi warga bangsa menjadi berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur. Kedua, menanamkan rasa malu dan etos berbuat dan berlombalomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat) sesuai dengan hati nurani. Ketiga, menghargai kehidupan dengan berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain demi kemajuan, kebaikan, dan kebahagiaan bangsa.
Teladan hijrah Nabi dan para sahabatnya terbukti mampu membentuk dan melejitkan pribadi-pribadi teladan yang berkepribadian unggul dan mulia. Figur Abu Bakar ash-Shiddiq yang setia menemani dan mengawal hijrah Nabi menampilkan karakter kuat dalam meyakini dan memperjuang kan kebenaran Islam. Setia dan rela berkorban demi kejayaan Islam. Sosok Umar bin al-Khattab menunjukkan karakter pemberani, teguh pendirian, rela berkorban dan mandiri dalam menegakkan kebenaran dan keadilan Islam.
Demikian pula, spirit hijrah menuju rida Allah meneguhkan pribadi Utsman bin Affan dalam menampilkan karakter dermawan, peduli, em pati, dan murah hati dalam memberikan dan mendermakan sebagian besar kekayaannya untuk kemajuan Islam.
Figur Ali bin Abi Thalib juga memperlihatkan karakter kuat, keberanian luar biasa ketika ditugasi Nabi SAW untuk menggantikan posisi tidur beliau di atas tempat tidurnya, rela berkorban dan menjadi ‘tebusan nyawa’ bagi beliau.
Akhlak mulia juga ditunjukkan putra-putri Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menjalankan peran keumatan dan kemanusiaan. Abdullah bin Abu Bakar mampu menjalankan peran sebagai intelijen dan informan bagi Nabi SAW. Adiknya, Asma’ binti Abu Bakar, menunjukkan dedikasi tinggi dalam menyiapkan logistik bagi perjalanan hijrah Nabi yang harus dilalui, dengan transit terlebih dahulu di Gua Tsur, sekitar 7 km arah selatan Mekah.
Tak ketinggalan, sesampai di Madinah, sosok Abdurrahman bin Auf juga diberdayakan Nabi SAW sebagai pengusaha sukses, dengan menunjukkan etos kewirausahaan yang tangguh sehingga mampu meng ge - rakkan ekonomi kreatif umat melalui pengembangan pasar Madinah.
Jadi, hijrah itu harus diniati dan diisi multikesalehan agar jalan me - nuju rida Allah terbuka lebar dan penuh harapan. Teladan hijrah Nabi SAW menuju rida Allah harus diaktualisasikan sebagai energi positif dan inspirasi penggerak perubahan sosial kearah lebih baik dan positif. Kiblat pembangunan bangsa ini perlu ‘diluruskan’ agar tidak melenceng dari rida Allah. Spirit hijrah menuju rida Allah mengajarkan ki ta semua untuk selalu berbuat dan berkontribusi terbaik untuk kemajuan umat dan bangsa. Selamat Tahun Baru Hijriah 1442 H.
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia (Ikatan Pengajar Bahasa Arab Se-Indonesia). Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/338222-hijrah-menuju-rida-allah, Jumat, 21 Agustus 2020. (mf)