HIJRAH

HIJRAH

Oleh : Dr  Arief Subhan Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Hijrah telah menjadi kosa kata yang semakin memiliki daya tarik belakangan ini. Daya tarik itu semakin meningkat setelah hijrah muncul sebagai gerakan keislaman populer. Pada saat yang sama, tidak sedikit selebriti bercerita kepada media tentang pengalaman keagamaan yang mereka alami setelah hijrah. Apakah sebenarnya hijrah itu? Bagaimana kelompok-kelompok Muslim memaknai hijrah? Apakah bermakna tunggal atau beragam? Dalam tulisan ini hijrah akan dilihat dari beberapa perspektif, yaitu perspektif doktrin dan sejarah, politis, spiritual, dan dakwah.

Pertama, dari perspektif doktrin dan sejarah. Hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti “meninggalkan”, “memutuskan hubungan”, atau “pindah dari lokasi tertentu ke lokasi lain”. Nabi saw berhijrah dalam pengertian perpindahan dari Mekkah ke Madinah pada 622 M. Nabi bertolak dari Mekkah pada Kamis, 13 September dan tiba di Madinah pada 24 September tahun yang sama (The Oxford Encyclopedia of Islamic World, Volume 2, 1995: 111). Selanjutnya, Nabi saw memerintahkan setiap Muslim di Mekkah agar berhijrah ke Madinah kecuali orang-orang yang lemah, termasuk anak-anak dan orang tua. Hijrah dilakukan Nabi saw setelah tekanan orang-orang Quraish terhadap Nabi saw dan kaum Muslim semakin keras.

Hijrah merupakan milestone dalam sejarah Islam. Melalui hijrah terbentuk komunitas baru di bawah ikatan iman yang disebut ummah. Di samping itu, hijrah juga memperlemah kelompok kafir Quraish yang terlalu percaya diri dengan kekuatannya. Oleh karena itu, hijrah, yang prosesnya berlangsung antara tahun 622-628 M, bersifat wajib. Ketika pada 637 M, Umar ibn Khattab menetapkan peristiwa hijrah sebagai awal kalender Islam, jelas itu hanya semakin menunjukkan nilai historis peristiwa hijrah. Harus diperhatikan dengan hijrah, Islam menjadi semakin membuka diri dan memperluas dirinya sehingga memiliki pengaruh yang semakin besar.

Dua ayat al-Qur’an berikut penting diperhatikan dalam membicarakan tentang hijrah. Pertama, QS. Al-Baqarah [2]: 218 yang artinya, “sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah swt, mereka mengharapkan keselamatan dan Allah swt maha pengampun dan penyayang”. Kedua, QS Al-Anfal [8]: 72) yang artinya, “sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah swt dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan, mereka sati sama lain saling melindungi ...” Dari kedua ayat tersebut terdapat tiga poin penting yang harus digarisbawahi: (1) Iman, (2) hijrah, (3) jihad.

Kedua, ideologisasi hijrah secara politik dimulai pada abad pertama hijriyah oleh kelompok Khawarij, radikalis pertama dalam sejarah Islam. Mereka mengembangkan konsep tentang “dar al-Islam” (wilayah Islam) versus “dar al-kafir” (wilayah kafir), dan mengklaim bahwa hanya kelompok mereka saja yang berada dalam dar al-Islam. Selanjutnya, mereka mewajibkan setiap Muslim untuk berhijrah ke wilayah mereka. Inilah yang memantik pertanyaan: apakah hijrah untuk bergabung dengan dar al-Islam setelah Fathu Mekkah tetap merupakan kewajiban?

Sebagian besar sumber menyatakan bahwa tidak ada lagi hijrah setelah Fathu Mekkah. Ini didasarkan pada hadis Riwayat Imam Bukhari, “la hijrata ba’da al-fathi” (tidak ada hijrah setelah fathu Mekkah). Ibn Khaldun, menegaskan bahwa hijrah tidak menjadi tuntutan lagi setelah wafatnya Nabi saw. Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fathu al-Bari, juga memperkuat pendapat tersebut. Imam syafi’i malah berpendapat bahwa Muslim diperbolehkan tinggal di dar al-kufr, bahkan dar al-harb, sejauh memiliki kebebasan untuk practising Islam (Muhammad Khalid Mas’ud, 1990: 29-47). Tetapi harus diakui bahwa ada pendapat yang menyatakan bahwa hijrah merupakan konsep yang akan berlaku berulang-ulang jika ada tuntutan kondisi di mana dar al-Islam lemah di hadapan dar al-kafr.

Pada abad ke-18, ketika dunia Islam sebagian besar jatuh dalam kolonialisme Barat, pemaknaan atas hijrah diberikan bobot politik baru, yaitu sebagai sebagai pijakan untuk melakukan konsolidasi kekuatan politik Muslim guna melawan penjajahan. Dalam konteks ini, konsepsi tentang dar al-Islam dan dar al-kufr dimunculkan sebagai bentuk pemisahan dan pembatasan wilayah di mana gerakan perlawanan diberikan justifikasi. Pada akhir Perang Dunia ke-2, hijrah semakin mengalami ideologisasi dari kelompok-kelompok Islam fundamentalis, dan diikuti kelompok-kelompok salafi.

Abu al-A’la al-Maudidi (1903-1979) dan Sayyid Qutub (1906-1966) merupakan dua ideolog hijrah yang berpengaruh. Menurut mereka, hijrah meninggalkan “jahiliyah baru” yaitu sekularisme, kapitalisme, dan sosialisme dan konsep Barat tentang negara-bangsa menuju apa yang mereka sebut sebagai “negara Islam”. Hijrah di sini semakin cenderung menjadikan Islam sebagai agama yang tertutup dan menolak segala aspek yang datang dari luar dirinya. Inilah bentuk ideologisasi hijrah yang kemudian berpengaruh sampai periode kontemporer.

Ketiga dari sudut tasawuf, hijrah diberikan makna sebagai “meninggalkan wilayah materi menuju wilayah spiritual”. Ada kesadaran baru dalam beragama untuk menjalani hidup sesuai dengan konsep al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an munkar (melakukan dan memerintahkan untuk berbuat baik, dan meninggalkan perbuatan munkar yang dilarang). Jika hijrah yang berkembang sekarang ini bersifat spiritual sebagai bentuk komitmen untuk meningkatkan taqwa dan mendekati Allah swt, maka patut mendapatkan apresiasi. Karena dalam konteks ini, konsep hijrah hanya dipergunakan untuk untuk tujuan dakwah dengan cara memperbarui komitmen, yaitu merujuk ayat a-Qur’an di atas (1) iman, dalam pengertian mewujudkannya dalam perbuatan (2) hijrah, dalam pengertian selalu menuju pada kebaikan, dan (3) jihad, dalam pengertian berjuang keras berpegang teguh pada komitmen keislaman.

Harus ditegaskan bahwa banyak kelompok Islam yang memberikan bobot politik dalam hijrah. Ada yang menerapkan kembali konsep dar al-Islam, dar al-kufr, bahkan dar al-harb; atau ada juga kelompok yang memberikan makna hijrah dalam bentuk meninggalkan masa kini dan pergi ke masa lalu dengan meniru gaya hidup Muslim terdahulu (al-salaf al-shalih) secara tekstual; atau kelompok yang melakukan ideologisasi hijrah sebagaimana dijelaskan; pendeknya yang menjadikan Islam terlihat “kerdil” dan “eksklusif”, harus mendapatkan sikap kritis. Kuncinya adalah jangan mau menjadi pengikut buta, dan terus mempelajari Islam yang kaya akan khazanah ilmu pengetahuan.

(sam/mf)