HAPAL NAMA NABI DAN RASUL
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”
Para ulama seperti Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits dan Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam memandang wajib untuk beriman kepada para nabi dan rasul secara terperinci. Namun, seperti halnya Abu al-Laits, menghapal nama dan jumlah para nabi dan rasul bukan sebagai syarat sah keimanan seseorang. Artinya, seseorang tetap sah keimanannya kendati tidak mampu menghapal nama para nabi dan rasul yang berjumlah 25 itu. Yang dimaksud beriman kepada para nabi dan rasul secara terperinci, menurut Syaikh Nawawi Banten adalah tidak mengingkari kenabian dan kerasulan mereka. Kendati seseorang tidak mampu menghapalnya. Senada dengan ini, Syaikh al-Malawi, seperti dikutip Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam, menyatakan seseorang cukup mengaku beriman dan tidak wajib menjelaskan ihwal 25 nabi dan rasul secara terperinci. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan terperinci (tafshili) tidak termasuk menghapal dan menjelaskannya. Namun berbeda dengan mereka, yakni Syaikh Suhaimi, seperti dikutip Syaikh Nawawi Banten dalam Nur al-Dhzalam, wajib bagi seorang mukmin untuk mengetahui dan mengajarkan keluarganya nama nabi dan rasul yang disebutkan al-Qur’an. Pernyataan ini mengarah kepada wajibnya menghapal nama nabi dan rasul yang 25 itu. Dengan demikian, yang dimaksud dengan wajib mengetahui para nabi dan rasul secara terperinci adalah menghapalnya. Pendapat ini bisa dipahami karena bagi kaum terpelajar mengahapal 25 nabi dan rasul itu tidak sulit. Namun tidak demikian bagi kaum awam. Tak heran kalau soal ini membuat ulama berbeda-beda pendapat mereka. Bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Qami’ al-Tughyan yang terpenting adalah seorang mukmin wajib membenarkan bahwa para nabi dan rasul adalah benar-benar utusan Allah SWT untuk memberi petunjuk kepada manusia. Petunjuk ini menyangkut kehidupan dunia dan akhirat. Maksudnya, pesan para nabi dan rasul bukan soal akhirat semata-mata. Oleh karena itu, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits, seseorang yang mengingkari seorang saja dari para nabi dan rasul yang tertera nama mereka dalam al-Qur’an, maka ia telah kufur. Sementara bagi orang awam yang karena kelemahan pengetahuannya, dianggap tidak kufur. Namun ia punya kewajiban untuk belajar. Mengenai beriman kepada selain nabi dan rasul yang 25 itu, Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits dan Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam mengatakan boleh secara global saja. Caranya dengan membenarkan keberadaan mereka, baik kenabian mereka maupun kerasulan mereka. Termasuk, meyakini bahwa Allah SWT memiliki mereka. Para ulama berbeda pendapat mengenai kenabian tiga orang, yakni Dzulkarnain, Uzer, dan Lukmanul Hakim. Dalam kajian modern, Dzulkarnain ada yang menyamakannya dengan Alexander, dan Cyrus. Bahkan nama Dzulkarnain ditambah Iskandar (Alexander) Zulkarnain. Tentu menyulut pertanyaan, ketiganya adalah sama atau berbeda-beda. Orang Yahudi berseloroh bahwa Uzer itu putra Allah SWT, seperti terekam dalam al-Qur’an, “Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata, “al-Masih itu putra Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu” (QS. al-Taubah/9: 30). Ayat ini bicara tipu muslihat orang-orang Yahudi kepada Nabi SAW. Menurut mereka Nabi SAW berpaling dari Uzer, padahal Uzer adalah orang yang diberikan oleh Allah SWT Taurat di dadanya, karena itu Uzer adalah putra Allah SWT. Soal ini, Jalaluddin al-Suyuthi dalam Asbanun Nuzul mengutip riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW didatangi oleh Sallam bin Misykam, Nu’man bin Aufa, Syas bin Qais, dan Malik bin Shaif, mereka seraya berkata, “Bagaimana mungkin kami mengikutimu sementara kamu telah meninggalkan kiblat kami dan kamu juga tidak meyakini bahwa Uzair adalah putra Allah”.(sam/mf)