Hamparan Barikade Full Day School
Oleh Prof. Dr. Dede Rosyada MA
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Pendidikan merupakan sektor paling vital dalam mempersiapkan Indonesia masa depan. Minimal pada kurun 2025, sebagai akhir dari  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, masyarakat Indonesia mampu berdaya saing dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di area publik. Kemampuan berdaya saing ini, salah satu pilarnya adalah kemampuan negara mengelola berbagai kebijakan di ranah pendidikan.
Problemnya kemudian, terkait dengan wacana yang digulirkan Mendikbud Muhajir Effendy perihal Full Day School, akankah wacana ini menjadi sebuah kebijakan negara dalam dunia pendidikan agar Indonesia mampu berdaya saing di masa depan? Bukankah sebuah kebijakan negara yang amat vital seperti kebijakan di dunia pendidikan, harus dikelola secara matang dengan merujuk berbagai aspek yang tumbuh dan berkembang di ranah publik.
Pertanyaan di atas, sebagai satu cara untuk mencermati guliran ide yang dilontarkan Mendikbud, yang menuai pro kontra atas guliran ide Full Day School bagi anak didik SD dan SMP. Pro kontra perihal Full Day School ini, di satu sisi, memberikan sinyal positif bahwa publik merasa punya kepentingan untuk ikut serta melakukan pembenahan di sektor pendidikan.
Sisi positif lain, negara dalam melahirkan sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tak boleh main-main. Mata masyarakat ikut juga sebagai ‘intel’, sebagai pengawas gerak kebijakan negara.
Sejatinya konsep pendidikan Full Day School menyandarkan pada upaya pengembangan dan peningkatan pada anak didik, agar memiliki tingkat kecerdasan, Intelegence Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang seimbang dengan berbagai ragam inovasi yang cukup kreatif dari para guru, pegiat pendidikan di sekolah.
Kurikulum yang dikembangkan dalam Full Day School adalah kurikulum integratif. Sebuah kurikululum yang mencoba menawarkan berbagai aspek kehidupan pada anak didik, baik aspek pendidikan umum maupun aspek pendidikan agama. Satu tawaran yang mencoba mengawinkan metode pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada buku sumber, tapi juga bersandar pada pengalaman dari para guru maupun pengalaman kehidupan sehari-hari dari anak didik.
Kurikulum integratif juga menyodorkan bahan pembelajaran ditentukan secara demokratis antara guru dan anak didik. Bahan-bahan dikelola bersama terkait dengan problem aktual yang ada di masyaarkat. Artinya, anak didik dalam metode pembelajaran Full Day School, bisa jadi subjek, di mana si anak didik bisa menentukan bahan ajar sendiri. Selama ini proses belajar mengajar di kelas, seolah-olah anak didik dijadikan objek guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Anak didik tidak diberi peran untuk menguar berbagai pikiran yang tumbuh di benaknya.
Pola Full Day School diharapkan mampu memberi wawasan baru bagi anak didik dengan metoda pembelajaran yang tidak kaku dan tidak baku. Di sini peran pembimbing, para guru, diharapkan mampu menjadi jembatan proses kegiatan belajara mengajar agar dinamis, penuh inovasi dan kreativitas.
Jadi Full Day School  tidak hanya berurusan dengan jam ajar yang bertambah tapi juga terkait berbagai elemen dasar yang harus dipenuhi pihak guru. Di sinilah problem Full Day School lahir.
Berbagai ragam inovasi yang kreatif  yang jadi elemen dasar dalam mengembangkan Full Day School dari para guru di sekolah, akan menuai banyak barikade mengingat aspek profesionalitas para guru yang masih beragam.
Sikap profesional para guru, selama ini menjadi barikade bagi kegiatan proses belajarmengajar di kelas. Banyak guru yang tidak memiliki kompetensi kepribadian yang cukup memadai dalam mengolah bahan ajar untuk anak-anak didiknya. Kompetensi kepribadian ini terkait langsung dengan komitmen sang guru untuk memberi pelayanan bagi anak didiknya.
Tentu saja, kualifikasi kompetensi kepribadian tidak sesempit komitmen mengajar, membimbing dan mendampingi para siswa belajar agar menjadi anak anak berprestasi di masa yang akan datang. Pada titik inilah, Full Day School  akan menuai banyak barikade. Barikade itu muncul mengingat aspek profesionalitas guru, yang menjadi patner pembelajaran Full Day School, belum cukup memadai.
Untuk itulah, penerapan Full Day School tak semudah yang dibayangkan Mendikbud Muhajir Effendy.  Alasan Mendikbud yang bersandar pada waktu belajar yang cukup banyak di sekolah, di mana anak-anak bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya seusai jam kerja, justru bisa jadi bumerang bagi anak itu sendiri.
Anak-anak kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan dunia riil di sekitar dirinya. Secara fisik mereka akan kelelahan dengan beban belajar yang amat padat. Anak-anak yang belajar di pedesaan, di daerah pegunungan, yang harus berjalan kaki hingga lima kilo meter menuju rumahnya, akan habis energinya untuk belajar pagi harinya.
Di tengah sisi remang-remang Full Day School, tentu ada sisi terang dari penerapan wacana yang diigaukan Mendikbud. Sisi terang itu bermuara pada keterlibatan aktif dari para guru, anak didik dan orangtua murid. Tapi sekali lagi, sebuah kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus melalui prosedur kajian yang amat dalam. Program Full Day School  itu baik. Baik itu baik tapi terlalu baik, tidak baik.
Artikel dimuat dalam Kolom Opini KORAN TEMPO, Rabu 10 Agustus 2016.