Haji, Pendidikan Emansipasi dan Defeodalisasi
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Jagad media sosial (medsos) belakangan ini diramaikan oleh kontroversi hasil temuan KH. Imadudin Ustman al-Bantani yang menyatakan bahwa habib-habib (habaib) di Indonesia belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur darah (nasab) ke Rasulullah SAW. Hasil penelitian Kiyai Imad ini menyengat banyak pihak karena mendelegitimasi habaib. Para habib datang ke Indonesia pada tahun 1880-an dan sejak itu mereka menyatakan bahwa mereka adalah keturunan dari Rasulullah.
Mereka mengaitkan diri mereka dengan Ba’ Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad. Bahkan, mereka juga memiliki organisasi yang menaungi para keturunan langsung dari Nabi SAW di Indonesia dan menghimpun WNI keturunan Arab, yaitu Rabithah ‘Alawiyah. Organisasi yang didirikan pada tahun 1928 ini memiliki pelayanan untuk pencatatan silsilah keturunan Nabi SAW.
Menurut Syafiq Hasyim (2022), keberadaan mereka di Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan Rasulullah. Memang banyak kitab yang membahas Ba’ Alawi misalnya Nubzat Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karaya Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karya Umar bin Salim al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-Zhahirah karya Muhammad bin Husein al-Amasyhur (abad 13). Semua kitab ini menjadi sumber dan rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah.
Menurut Kyai Imad, kitab-kitab yang dijadikan rujukan tersebut adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau sesudahnya. Bagaimana dengan kitab-kitab abad sebelumnya 10, 11, dan 12 yang seharusnya dijadikan sebagai rujukan? Menurut Kyai Imad, Alawi bin Ubaidillah adalah datuk Ba Alawi di Indonesia. Menurutnya, beliau ini adalah urutan ke 12. Dari serangkaian nama ini, ada yang terputus. Terputusnya nasab itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidhi. Menurut penulusuran Kyai Imad, kedudukan anak Ali al-Uraidhi ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia, yaitu Alawi bin Ba Alawi.
Terlepas dari kontroversi nasab (genealogi) habaib di Indonesia, bersambung kepada Nabi SAW atau terputus, fenomena keagamaan di kalangan sebagian (bukan semua) habib ada yang meresahkan, seperti kultisme berlebihan, anggapan maksiatnya seorang habib masih lebih baik daripada 70 ulama/kiyai biasa, habib bisa memberi syafaat, dan sebagainya. Mereka seolah memiliki “strata dan keistimewaan sosial” yang lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, fenomena “feodalisme” di kalangan habaib menempatkan mereka seakan lebih berhak mendominasi otoritas keagamaan tertentu, padahal tidak semua yang digelari habib mencerminkan akhlak mulia Nabi SAW.
Feodalisasi, baik dalam konteks sosial ekonomi maupun dalam praktik keagamaan—sejatinya merupakan antitesis terhadap ajaran kesetaraan, emansipasi, egalitarianisme, dan keadilan dalam Islam. Akan tetapi, feodalisasi kerap dilestarikan atas nama kekuasaan politik, hegemoni sosial ekonomi, dan sakralitas genealogi, demi kepentingan tertentu. Oleh karena itu, Islam hadir dengan membawa misi suci: menghapus feodalisme, mengakhiri tradisi perbudakan, menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, dan stratifikasi sosial ekonomi dan politik berdasarkan kelas sosial. Dengan kata lain, defeodalisasi merupakan ajaran dan ajakan profetik yang berulang kali diorasikan dalam khutbah Wada’. Defeodalisasi tidak menafikan keragaman sosial budaya, tetapi memosisikan kemuliaan manusia itu berdasarkan kualitas takwanya, bukan warna kulit, suku bangsa, nasab, kekayaan, kekuasaan, dan strata sosial lainnya (QS al-Hujurat/49: 13)
Dalam konteks pendidikan kesetaraan dan keadilan, ada sebuah mahfuzhat: الإنسان بأدبه، لا بنسبه berisi pesan moral bahwa kualitas manusia itu ditentukan oleh adab (akhlaknya), bukan oleh keturunannya. Nasab tidak menjadi faktor determinan dan satu-satunya yang membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Anak seorang kiyai atau ulama tidak secara otomatis menjadi kiyai atau ulama. Bagaimana Nabi SAW mengikis budaya feodalisme, termasuk konglomerasi sosial ekonomi, melalui pendidikan emansipasi? Mengapa umat Islam perlu merenungkan kembali nilai-nilai egalitarianisme (kesetaraan) dari ibadah haji, terutama melalui orasi (khutbah) Wada’ Nabi SAW?
Bahaya Feodalisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) feodalisme dimaknai sebagai sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja. Feodalisme pernah mendominasi Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan berada di tangan tuan tanah. Dalam Oxford Learner's Dictionary dijelaskan bahwa feodalisme adalah sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang berkembang di Eropa pada abad pertengahan. Sistem feodalisme menunjukkan masyarakat yang bekerja untuk tuan tanah dan mendapatkan upah dari mereka.
Istilah feodalisme berasal dari bahasa Inggris feudalism. Kata feudal berasal dari bahasa Latin feudum berarti fief, yakni sebidang tanah yang diberikan untuk sementara (bukan hak milik permanen, maksudnya hanya selama dia menjabat) kepada seorang vasal. Vasal adalah penguasa bawahan atau pemimpin militer, sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada lord sebagai pemilik tanah tersebut. Inti dari feodalisme adalah tanah sebagai sumber kekuasaan, orang yang berkuasa adalah orang yang punya tanah. Makna feodalisme kemudian meluas, tidak terbatas pada tuan tanah yang secara sosial politik atau ekonomi bisa berkuasa, tetapi juga bermakna sikap, Tindakan, dan budaya hidup yang memosisikan diri sebagai penguasa, memiliki hak-hak istemewa, dan dalam batas tertentu memiliki “kekebalan dan tidak bisa disentuh hukum”. Relasi sosial dalam bentuk patron-klien, penguasa dan rakyat jelata, habib dan non-habib, dan sebagainya menjadikan sistem kehidupan tidak setara, terjadi diskriminasi, subordinasi, bahkan penjajahan dengan berbagai modusnya.
Budaya feodalisme ini sejatinya telah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena memang merupakan warisan dari zaman penjajahan maupun kerajaan yang menganut sistem patron-klien. Dewasa ini, fenomena feodalisme dalam kekuasan politik merupakan realitas sosial yang tidak terbantahkan. Penguasa dengan segala instrumen kekuasaannya menekan dan menyandera lawan-lawan politik atau bahkan mitra koalisi politiknya agar tunduk dan patuh tanpa syarat kepada kekuasaannya. Mereka yang tersandra dan takut “kasus hukumnya” dikriminalisasi terpaksa harus mengikuti frekuensi dan “arus angin” politik yang menguntungkannya. Sedangkan penguasa yang merasa “berhutang budi” kepada oligarki karena oligarki telah “menyogok” dan membantunya bisa berkuasa terpaksa atau dipaksa harus menuruti kemauan dan kepentingan bisnis oligarki. Rakyat dan negara kemudian dikhianati, dikibuli, dan dimiskinkan demi kelangsungan dan kelanggengan kekuasaannya.
Feodalisme menjelma menjadi penjajahan gaya baru: negara dibajak dan dikendalikan oleh oligarki, kepentingan aseng dan asing. Sistem hukum “dibeli” dan takluk kepada kepentingan pemodal. Partai politik tidak lagi berfungsi sebagai “penyambung lidah” aspirasi dan kemaslahatan publik, tetapi justeru menghamba kepada penguasa dan pemodal. Ekonomi kerakyataan berubah menjadi ekonomi kapitalistik-oligaristik. Hampir semua aspek kehidupan rakyat “dipajaki”, sementara tidak semua penerimaan pajak negara “dikembalikan” kepada rakyat dalam bentuk fasilitas umum yang memadai. Budaya feodalisme menyuburkan korupsi dan penyalahgunaan amanah konstitusi. Supremasi hukum dan moral dikebiri demi kepentingan politik kekuasaan. Sebagian pejabat lebih takut kepada atasan, daripada takut kepada (azab) Tuhan. Korupsi semakin merajalela, menurut alm. Prof. Dr. Salim Said, karena Tuhan tidak ditakuti lagi oleh pejabat di Indonesia.
Feodalisme dalam sistem pendidikan juga tidak kalah berbahaya. Atas nama “peningkatan mutu dan layanan pendidikan”, pimpinan lembaga pendidikan dapat menaikkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) sepihak, tanpa memperhatikan aspirasi dan suara mayoritas rakyat (calon mahasiswa) baru. Sejumlah demo terkait kenaikan UKT yang dilakukan di banyak kampus negeri di Indonesia, paling tidak, menunjukkan bahwa hak memperoleh layanan pendidikan tinggi semakin elitis, hanya dapat dinikmati kalangan elit yang berduit. Jika ada ungkapan “orang miskin dilarang sakit”, maka sebagian orang tua calon mahasiswa baru bilang “orang tidak berduit dilarang menginjakkan kaki di kampus elit”. Feodalisme layanan pendidikan harus dikikis dengan hadirnya peran negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai amanat UUD. “Mengapa negara (yang direpresentasikan pemerintah) terhadap rakyat sendiri begitu pelit, sementara kepada pemodal yang mengeruk dan merusak kekayaan alam (melalui pertambangan, perkebunan, pembalakan hutan, dan sebagainya) dan memiskinkan rakyat Indonesia begitu mudah memfasilitasinya?”
Edukasi Emansipasi dan Defeodalisasi melalui Haji
Tidak hanya feodalisme dalam bidang sosial ekonomi dan politik, feodalisme dalam pemahaman dan penafsiran agama juga sangat berbahaya. Karena merasa paling “nyunnah” atau merasa pemahamannya sesuai model pemahaman para sahabat Nabi SAW dan kalangan salaf, misalnya kelompok Salafi dan Wahabi, disadari atau tidak, cenderung menyuburkan feodalisme dalam memonopoli tafsir keagamaan dengan mengklaim secara sepihak bahwa golongannya yang paling benar. Sedangkan golongan di luarnya dinilai salah, sesat, bidah, bahkan kafir. Pemahaman teks keagamaan (ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW) yang cenderung tekstual, skriptual (tidak kontekstual), kaku, rigid, dan tidak komprehensif, menjadikannya tidak beragama Islam dengan pandangan yang luas dan luwes, tidak moderat dan cenderung dengan mudah menyesatkan, membidahkan, dan mengafirkan pihak (orang) lain yang berbeda dengan pandangannya, seperti kasus yang belakangan ini menimpa ustadz Adi Hidayat yang “dikafirkan” terkait pendapatnya tentang musik.
Praktik dan budaya feodalisme sangat ditentang oleh Islam, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mencerminkan keadilan dan perlakuan yang fair dan setara di depan hukum. Defeodalisasi itu diteladankan Nabi SAW kita ada pihak tertentu yang melobi beliau agar tidak menegakkan hukum terhadap pencuri dari kalangan bangsawan, Bani al-Makhzumiyyah. “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari Bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi Rasulullah SAW?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah SAW.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) Rasulullah SAW (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan, keringan hukuman) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendirilah yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Edukasi emansipasi dan defeodalisasi tidak hanya penting dilakukan dalam konteks penegakan hukum yang adil dan fair, tetapi juga dalam mewujudkan sistem sosial politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan yang setara, merata, dan berkeadilan sosial. Jauh sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) di Paris pada 10 Desember 1948, Nabi SAW telah berulang kali, minimal empat kali, menyampaikan khutbah (orasi) dalam haji Wada’ yang berisi nilai-nilai HAM yang paling otentik dan mendasar. Keempat khutbah itu disampaikan pada tanggal 7 Dzulhijjah di Multazam atau dekat Maqam Ibrahim, tanggal 9 Dzulhijjah di Arafah, tanggal 12 dan 13 di Mina. Isi keempat khutbah itu hampir sama, dengan sedikit perbedaan redaksi. Semuanya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai HAM, termasuk nilai-nilai ihsan, pendidikan filantropi, dan edukasi defeodalisasi.
Salah satu redaksi orasi Nabi SAW yang patut dinarasikan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم - وهو يخاطب الناس في حجة الوداع: أيها الناس إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد كلكم لآدم، وآدم من تراب، أكرمكم عند الله أتقاكم، ليس لعربي على عجمي، ولا عجمي على عربي، ولا لأحمر على أبيض، ولا لأبيض على أحمر فضل إلا بالتقوى، ألا هل بلغت؟ اللهم فاشهد، ألا فليبلغ الشاهد منكم الغائب (رواه الجماعة)
Rasulullah SAW menyampaikan khutbah di hadapan para jamaah pada haji Wada’ sebagai berikut. “Wahai umat manusia, Tuhan kalian itu Esa. Bapak kalian juga sama. Kalian itu keturunan Adam. Adam diciptakan dari tanah. Orang yang paling mulia menurut Allah adalah orang yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih unggul daripada non-Arab, demikian pula orang non-Arab tidak lebih unggul daripada orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih mulia daripada orang berkulit putih, dan sebaliknya kecuali karena takwanya. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan hal ini kepada kalian? Ya Allah, saksikanlah! Maka hendaklah yang hadir dan mengikuti khutbahku ini menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (HR Jamaah)
Edukasi emansipasi dan defeodalisasi yang disampaikan Nabi SAW menekankan pentingnya prinsip kesetaraan dan egalitarianisme dalam sistem kehidupan. Edukasi defeodalisasi tersebut harus berbasis nilai akidah tauhid, bahwa Allah itu Maha Esa; semua manusia di hadapan Allah itu sama, setara, tidak ada diskriminasi. Edukasi defeodalisasi diteguhkan dengan adanya kesamaan asal-usul genealogis bahwa semua manusia itu keturunan Nabi Adam AS yang diciptakan Allah dari tanah. Dan semua manusia setelah meninggal juga akan dikubur dalam tanah. Tidak ada pengistemawaan dan keistimewaan antara orang Arab dan non-Arab, orang berkulit putih dan bekulit hitam, yang menjadi penguasa dan rakyat jelata. Kualitas diri manusia, di hadapan Tuhan, ditentukan oleh ketakwaannya. Dengan kata lain, tujuan dari edukasi emansipasi dan defeodalisasi adalah humanisasi dalam rangka mewujudkan ketakwaan sejati dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan dengan membangga-banggakan nasab, keturunan, golongan, suku bangsa, ras, strata sosial, dan sebagainya.
Edukasi emansipasi dan defeodalisasi sejatinya merupakan bentuk pembebasan (liberasi) dari perbudakan dan hegemoni terkait persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tradisi Jahiliyah seperti perbudakan dan subordinasi perempuan dengan memberikan hak waris kepadanya dihapuskan. Kaum perempuan berhak mewarisi harta yang ditinggalkan ayah atau suaminya, di samping juga berhak mendapatkan pendidikan dan peran sosial politik sesuai dengan kapasitasnya, seperti menjadi perawi hadis, perawat korban luka perang, penyedia logistik saat peperangan, pendidik bagi putra-putri mereka, dan sebagainya. Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan jender, karena lelaki dan perempuan di mata Allah itu dinilai setara, bergantung pada kinerja dan kontribusi kebaikannya. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl/16: 97)
Aktualisasi edukasi defeodalisasi dalam Islam, antara lain, diwujudkan dalam bentuk penghapusan sistem perbudakan, dengan pemerdekaan budak dan dalam konteks kehidupan modern berupa pemerdekaan bangsa dari penjajahan. Oleh karena itu, pemerdekaan budak dan liberasi (pembebasan) manusia dari status marjinal (subordinasi) menjadi salah satu bentuk kifarat (pembayaran tebusan atau denda atas kesalahan dan pelanggaran hukum tertentu), misalnya pembunuhan secara tidak sengaja.
Dalam konteks pemerdekaan budak, Allah berfirman: “Tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (lainnya) kecuali karena tidak sengaja. Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan budaya perempuan beriman serta membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarga terbunuh, kecuali jika mereka membebaskan pembayaran. Jika dia yang terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang yang beriman, maka hendaklah ia memerdekakan budak perempuan yang beriman. Dan jika yang terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka dengan kamu, maka hendaklah si pembunuh membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarga terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatinya (budak perempuan yang beriman), maka hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai pernyataan taubat kepada Allah SWT. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ ayat 92).
“Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS. al-Mujadilah/58: 3).
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, akan tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang budak perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka kafaratnya adalah berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu jikalau kalian bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya),” (QS. al-Maidah/5: 89).
Dengan defeodalisasi di dunia pendidikan dan institusi pemerintah atau publik, asas kompetensi dan prinsip meritokrasi menjadi salah satu pertimbangan objektif dalam rekrutmen dan penempatan seseorang sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Fenoma ordal (orang dalam), kesamaan afiliasi sosial keagamaan, pertimbangan kesukuan, partai, golongan, dan sebagainya sudah saatnya dihapus karena dapat merusak sistem pembangunan nasional dan melanggar nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang telah digaungkan oleh Nabi SAW dalam haji Wada’ tersebut.
Akhirul kalam, berhaji dan yang sudah menunaikan ibadah haji, idealnya dapat memetik nilai-nilai HAM dan edukasi defeodalisasi. Pendidikan emansipasi dan defeodalisasi itu merupakan manifestasi dari semua nilai dalam Pancasila yang sudah semestinya diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Praktik dan budaya feodalisme penting dienyahkan dengan memandang sesama manusia itu setara, menjunjung nilai-nilai HAM yang telah diajarkan Nabi SAW, memberikan pelayanan pendidikan dan publik yang tidak diskriminatif, tidak memonopoli tafsir kebenaran, dan selalu mengedepankan prinsip meritrokasi, prestasi, dan profesionalitas dalam menempatkan seseorang pada posisinya yang tepat untuk mengemban amanah (jabatan publik). Dengan defeodalisasi, sila kelima Pancasila diharapkan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.
Edukasi emansipasi dan defeodalisasi tentu mengharuskan komitmen semua pihak untuk mencerdaskan anak bangsa, berjiwa ta’awun (kolaborasi), dan menjadikannya sebagai agenda liberasi dan humanusasi warga bangsa. Edukasi emansipasi dan defeodalisasi sangat relevan dengan pesan al-Qur’an: “Dan tahukah kamu, apakah jalan mendaki dan sukar itu (12), (yaitu) melepaskan (menghapuskan) perbudakan (hamba sahaya) (13) atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan (14) (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15) atau orang miskin yang sangat fakir (16).” (QS al-Balad/90: 12-16).
(Artikel ini telah dimuat pada Majalah Tabligh Edisi Nomor 6/XXII)