Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie

Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Tim Monev Haji Indonesia 2024

Musim haji tahun 1445 hijriah telah memasuki babak akhir, menyusul berakhirnya pelaksanaan puncak ibadah haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Sejumlah kelompok terbang atau kloter secara bertahap telah diberangkatkan ke tanah air dan sebagian lainnya yang tergabung dalam gelombang kedua mulai didorong memasuki kota Medinah untuk menjalankan aktivitas ziarah dan sejumlah ritual lainnya.

Sejatinya, sepanjang tahun berjalan, beberapa tahapan telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan, baik Pemerintah maupun masyarakat, dalam negeri maupun luar negeri, demi menyukseskan hajat tahunan umat Islam ini. Energi dan finansial yang dibutuhkan pun tidaklah sedikit. Semua komponen bangsa bergerak bersama dan bahu-membahu untuk mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas. Dari titik ini maka tepat kiranya jika kita menyebut bahwa haji adalah proyek bersama umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan, baik oleh individu maupun institusi, yang dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu serta melempar tanggung jawab adalah tindakan yang tidak sejalan dengan semangat kebersamaan dalam mewujudkan suatu program nasional dan hajat umat yang bersifat komunal. Kesadaran ini sejatinya yang diperlukan saat ini untuk memastikan bahwa proses penyelenggaraan haji tahun 1445 hijriah berjalan dengan baik dan sesuai dengan target-target yang dicanangkan.     

Kehadiran negara

Untuk menjamin keberlangsungan suatu hajat nasional, termasuk dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji, maka kehadiran negara menjadi niscaya. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi hal mana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 UUD ayat [2]). Dalam kaitan ini, ibadah haji adalah bagian dari ekspresi atau manifestasi keberagamaan umat Islam dan karenanya negara harus hadir di dalamnya.  

Keikutsertaan atau lebih tepatnya tanggung jawab negara dalam proses penyelenggaraan ibadah haji tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Dalam Pasal 10 UU ini dinyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dilaksanakan oleh Menteri Agama. Selanjutnya, pelaksanaan tanggung jawab tersebut dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi.

Dari titik ini kita dapat memahami bahwa Kementerian Agama telah mengemban amanat konstitusional, yakni sebagai leading sector bagi terselenggaranya ibadah haji umat Islam Indonesia yang aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Sebagai representasi negara, Kementerian Agama telah, sedang, dan akan terus menjalankan amanat sebagai penyelenggara ibadah haji, tidak hanya sebatas regulator tapi lebih dari itu menjadi pelaksana atas sejumlah regulasi terkait penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. 

Penyelenggaraan ibadah haji menghadirkan dua dimensi sekaligus: keagamaan dan kenegaraan. Konsepsi ini telah digagas dan disadari sepenuhnya oleh para the founding fathers negeri ini. Sejak 1950, Pemerintah telah menginisiasi kemitraan dalam membangun perhajian di negeri ini. Meski Wahid Hasjim telah menegaskan tentang otoritas Pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji Indonesia, namun tetap saja dalam praktiknya dibangun sinergi dan kerja sama dengan unsur masyarakat, yakni antara lain dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI). 

Kerja sama Kementerian Agama dengan YPHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 6 Februari 1950, Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950, serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950. Selanjutnya, Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerja sama Kementerian Agama dengan YPHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada YPHI yang nota bene didirikan oleh sejumlah ulama terkemuka saat itu. (Balitbang Depag & PPIM, 1998)

Fakta ini menunjukkan bagaimana posisi dan keterlibatan negara dalam penyelenggaraan ibadah haji yang sejatinya telah dimulai sejak negara ini berdiri, bahkan sejak masa pemerintahan kolonial. Di sisi lain, Pemerintah juga telah membuka diri bagi pelibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan ibadah haji. Inilah fakta yang kian memperkuat bahwa haji bukanlah sebatas proyek Pemerintah atau Negara tapi hajat umat, bangsa, dan negara.    

Tentu saja bukan perkara mudah mengurus ratusan ribu jemaah haji dengan beragam karakter, latar belakang adat-istiadat, budaya, dan sebagainya. Pada tahun ini, misalnya, Pemerintah harus menangani tak kurang dari 241.000 jemaah haji, yang terdiri atas 213.320 jemaah reguler dan 27.680 jemaah haji khusus. Menurut data, angka ini menunjuk jumlah kuota haji terbesar dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Namun yang patut disyukuri, meski dengan beban kerja yang demikian berat dan sangat menantang, Kementerian Agama selaku leading sector, ternyata mampu menghadirkan penyelenggaraan ibadah haji yang bermutu. Wajar jika kemudian banyak mendapatkan apresiasi dari khalayak publik, baik dalam maupun luar negeri, di samping sejumlah catatan untuk perbaikan di masa yang akan datang.   

Kompleksitas masalah yang muncul dalam penyelenggaraan ibadah haji tentu tidak semudah yang dibayangkan. Pemangku kepentingan yang terlibat sangat banyak dan beragam. Di samping kompleksitas Jemaah haji, ini juga terkait dengan kebijakan negara lain. Kita diikat oleh aturan atau regulasi negara tempat terselenggaranya ibadah haji, yakni Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Ada sejumlah aspek yang menjadi kewenangan KSA dan di sisi lain negara-negara lain yang terlibat dalam prosesi ibadah haji hanya bisa menerima apa yang menjadi kebijakan yang digariskan KSA.

Contoh kasus, dalam hal layanan jemaah haji di Mina. Aktivitas jemaah di Mina ini menjadi salah satu aspek yang paling banyak disorot publik karena ketidaknyamanan akomodasi tenda dan fasilitas lainnya disebabkan jumlah jemaah yang melampaui ambang batas (overload). Penyebab anomali Mina karena ketidakseimbangan antara ketersediaan ruang tenda yang notabene tidak pernah bertambah dari tahun ke tahun dibandingkan dengan jumlah jemaah calon haji yang tiap tahun terus bertambah sangat signifikan.

Kondisi ini berdampak pada tidak terwujudnya layanan ideal, utamanya bagi jemaah reguler di kawasan Mina. Untuk itu, ada baiknya negara-negara Muslim menyerukan dan mendesak Pemerintah KSA agar memikirkan solusi permanen sehingga tidak terulang di masa yang akan datang. Solusi yang bisa ditawarkan, misalnya berupa perluasan area Mina sehingga terjadi penambahan jumlah tenda dan fasilitas lainnya atau menambah jumlah tenda dengan desain tenda bertingkat atau bangunan permanen bertingkat. Secara hukum Syariah tidak akan menimbulkan polemik yang berarti.   

Di sisi lain, dalam hal kebijakan yang menyangkut internal jemaah haji Indonesia, sejauh ini Kementerian Agama telah melakukan langkah-langkah yang inovatif dan sangat berani. Sebut saja misalnya mekanisme “Murur” atau menegasikan aktivitas bermalam di Muzdalifah. Langkah ini terbukti sangat efektif mengurangi dampak buruk akibat sempitnya lahan Muzdalifah, lagi-lagi disebabkan oleh faktor over capacity jemaah haji. Pada kasus ini Kementerian Agama telah secara tepat menjalankan fungsinya sebagai pelindung Jemaah. Bahkan, Kementerian Agama telah memastikan bahwa kebijakan ini telah sejalan dengan hukum Syariah.       

Partisipasi publik

Masih ada sejumlah inovasi kebijakan yang diterapkan Kementerian Agama dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Berdasarkan pengamatan, Pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan ibadah haji dan menjadikannya sebagai dasar pertimbangan untuk terus melahirkan inovasi dan perbaikan yang berkelanjutan. Kementerian Agama di era Menteri Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Men mencatat paling banyak melakukan inovasi dan terobosan-terobasan baru layanan haji yang out of the box. Sebut saja misalnya prioritas Haji Lansia, murur, penyediaan makan tiga kali bagi jemaah, peningkatan layanan Bus Solawat, layanan fast track, tanazul, makanan cepat saji, cita rasa masakan Nusantara, peningkatan mutu petugas haji, aplikasi “Kawal Haji”, dan sebagainya.

Perkembangan layanan yang progresif ini tidak lepas dari sikap Kementerian Agama yang sangat terbuka dan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi publik memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji. Terlebih di era keterbukaan yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang luar biasa, partisipasi publik menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Secara formal pengawasan, sebagai perwujudan mekanisme kontrol, diatur dalam UU Haji dan Umrah dalam rangka mewujudkan akuntabilitas layanan publik. Pada Pasal 27 UU ini dinyatakan bahwa Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawas internal dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah. Sedangkan pengawas eksternal dilakukan oleh DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Mekanisme pengawasan formal sejauh ini telah dilakukan oleh pihak-pihak yang dinyatakan dalam Undang-Undang. Tentu saja Pengawasan yang dilakukan didasarkan kepada fakta dan temuan di lapangan secara akurat. Bukan atas dasar asumsi, pengamatan sepintas, atau sumber-sumber sekunder yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, baik tim dari unsur DPR, DPD, dan BPK harus objektif, profesional, dan bertanggung jawab.        

Di samping itu, terobosan penting lainnya terkait partisipasi publik adalah tersedianya aplikasi “Kawal Haji”. Tampaknya Kementerian Agama ingin menunjukkan iktikad baiknya dan menjadikan penyelenggaraan haji sebagai proyek bersama. Aplikasi online ini meniscayakan semua lapisan masyarakat, tak hanya jemaah haji, turut serta menyampaikan informasi, masukan, kritik, dan saran konstruktif tanpa merasa sungkan atau takut. Semua informasi yang masuk dalam aplikasi langsung direspons dan ditindaklanjuti oleh panitia. Aplikasi ini dirasakan sangat bermanfaat, utamanya dalam konteks menghilangkan skat dan jarak antara jemaah dan penyelenggera.    

Walhasil, ke depan sinergi antara pemerintah dan masyarakat menjadi faktor yang krusial dalam mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas dan bermartabat. 

(Artikel ini telah dipublikasikan di Kompas.com pada 29 Juni 2024)