Haji dan Komunikasi Transendental
Dalam pandangan ilmu komunikasi, ibadah haji merupakan sebuah peristiwa komunikasi yang sangat menarik. Ia adalah ritual yang paling masif dalam agama Islam. Ia tidak saja melibatkan orang dalam jumlah sangat besar, baik jemaah haji maupun penyelenggara, tetapi juga berbagai fasilitas, seperti akomodasi, transportasi, dan pelayanan kesehatan.
Ritual ini juga mengharuskan jemaah melakukan persiapan prima dalam segala hal, baik fisik, mental, maupun spiritual. Tidak mengherankan, ibadah ini hanya diwajibkan kepada umat Islam yang mampu dan cukup dilakukan sekali selama hidupnya.
Komunikasi transendental
Dalam khazanah ilmu komunikasi, komunikasi transendental merupakan salah satu bentuk komunikasi di samping komunikasi antarpersona, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Namun, komunikasi transendental tidak pernah dibahas luas. Cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Meskipun komunikasi ini paling sedikit dibicarakan, justru bentuk komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia karena keberhasilan manusia melakukannya tidak saja menentukan nasibnya di dunia, tetapi juga di akhirat (Deddy Mulyana: 2005).
Komunikasi adalah proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol atau tanda. Dalam komunikasi transendental, partisipannya adalah manusia dan Allah. Ritual ibadah haji, sebagaimana diketahui, kaya dengan simbol atau tanda. Berpakaian ihram, tawaf, sai, tahalul, dan melempar jamarat sesungguhnya merupakan simbol.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi jemaah haji adalah pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Makna, menurut ilmu komunikasi, berada di kepala peserta komunikasi, dalam hal ini jemaah haji, bukan pada simbol-simbol itu sendiri.
Pakaian ihram yang terdiri dari dua helai pakaian putih tanpa jahit, misalnya, tentulah sekadar simbol. Maknanya adalah bahwa apa pun bentuk perbedaan, ras, warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya tidak lagi berlaku. Semua menyatu dalam satu kesatuan. Pada sisi lain, simbolisasi pakaian ihram juga menunjukkan suatu proses pemindahan dari dataran kehidupan profan pada kesucian (ihram).
Proses penyucian diri tersebut tidak hanya mencakup penyucian fisik, membersihkan diri dari kotoran dan najis, tetapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial yang disimbolkan oleh pakaian dan atribut keduniaan lainnya (Azra: 1999).
Dalam konteks tawaf (mengelilingi Kabah tujuh putaran), ada uraian yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, seorang intelektual Muslim Iran. Ia, misalnya, menggambarkan bagaimana tawaf memiliki makna sedemikian dalam. Dengan Kabah berada di tengah, jemaah mengelilinginya dalam sebuah lingkaran sirkular. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah, sedangkan jemaah melambangkan aktivitas dan transisi makhluk ciptaan-Nya yang berlangsung terus-menerus (2002).
Gerakan tawaf seolah-olah dilakukan oleh satu unit atau satu kelompok manusia karena di dalamnya tidak ada identifikasi individual. Kita tidak dapat membedakan yang laki-laki dari yang perempuan dan yang berkulit hitam dari yang berkulit putih. Inilah, kata Syari'ati, transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi "kita", yang merupakan umat dengan tujuan menghampiri Allah.
Demikian halnya dengan sai, yaitu berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Dalam ritual ini terlihat persatuan yang sesungguhnya karena dalam melakukan sai segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi, tak ada sesuatu pun yang menonjol.
Ketika melakukan sai, jemaah berperan sebagai Hajar, seorang budak perempuan dari Etiopia yang hina dan menghamba kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim. Dia berlari-lari antara kedua bukit tersebut untuk mencari air. Sahaya perempuan ini mempunyai hubungan akrab dengan Allah. Dialah ibu dari para nabi-Nya yang besar dan wakil dari makhluk-Nya yang cantik jelita. Maka, sai berarti sebuah pencarian atau gerakan yang mempunyai tujuan.
Pasca transendensi
Meski demikian, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana jemaah haji-setelah melakukan transendensi menuju Allah di rumah-Nya-mampu membumi kembali, hidup di tengah masyarakat dengan mengejawantahkan nilai-nilai yang telah diperoleh selama beribadah haji. Inilah yang akan mengantarkan mereka pada predikat haji mabrur atau sebaliknya, haji mardud. Jadi, haji mabrur akan diraih seseorang bukan di Tanah Suci, melainkan setelah kembali ke masyarakat.
Kata mabrur sendiri secara harfiah berarti orang yang mendapatkan kebaikan atau menjadi baik. Maka, sebagaimana diungkapkan Nurcholis Madjid (alm), haji mabrur adalah haji yang mendapatkan birrun, kebaikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik (1997). Tentulah menjadi baik itu berlaku untuk segala perbuatan. Hal itu akan terlihat jelas di mata masyarakat, antara perilaku yang bersangkutan sebelum dan sesudah beribadah haji.
Di sinilah tantangan sebenarnya yang mesti dihadapi para haji. Sayang, banyak sekali di antara mereka yang terjebak pada simbolisme, yaitu lebih mementingkan pakaian ketimbang isi. Celakanya, masyarakat juga kerap memperlihatkan perilaku yang sama. Mereka biasanya lebih menghormati seorang haji yang berpakaian formal kehajian, seperti peci putih, daripada seorang haji yang berpakaian biasa meskipun belum tentu perilaku keseharian yang pertama lebih saleh daripada yang terakhir. Jika seperti ini, haji tidak lebih dari peristiwa simbolik belaka.
IDING R HASAN Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, kini tengah menyelesaikan Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad
*Artikel ini pernah dimuat di rubik forum Harian Kompas Jabar, Selasa 18 November 2008