Haji dan Humanisme
Prof. Asep Saepudin Jahar MA Ph.D.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENYELENGGARAAN haji di Tanah Suci sudah berlangsung sekian pekan. Lautan manusia dari segala usia memadati sejumlah lokus untuk menggenapkan kewajiban ritual ini.
Kondisi cuaca yang panas dan gersang, sama sekali tidak menyurutkan niat jamaah untuk beribadah dan mengharap kemurahan Tuhan. Lantunan doa senantiasa dipanjatkan demi mengharap rida Tuhan.
Ritus ini bukan hanya dilakukan oleh jamaah haji muda, melainkan juga dari kalangan lanjut usia. Haji tahun ini punya makna penting, karena beberapa saat yang lalu seluruh dunia kena wabah Covid 19 yang menunda pelaksanaan ibadah haji.
Tahun ini momen kembali pada masa haji normal bagi seluruh dunia termasuk Indonesia. Sebab itu, tidak bisa dihindari pemerintah mencoba menerapkan simulasi yang adil bagi para jamaah.
Betapa tidak, dari sekian banyak berita yang menghampiri kita belakangan ini, di antaranya membicarakan tentang banyaknya jamaah haji usia lanjut yang masih semangat untuk mengikuti haji. Tak pelak, semangat mereka menjadi objek yang menarik untuk dipotret sehingga menjadi bahan pembicaraan yang cukup ramai di ruang publik.
Kementerian Agama (Kemenag) sebagai institusi resmi kenegaraan yang bertindak sebagai panitia penyelenggara haji pun menerapkan strategi komprehensif untuk menjaga kebugaran dan semangat jamaah haji. Mereka menerjunkan para panitia haji dari berbagai kelompok usia untuk memberikan bantuan dan layanan pada mereka.
Jamaah haji usia lanjut senantiasa menjadi prioritas, dikarenakan banyak dari yang baru pertama kali naik haji, sehingga membutuhkan bimbingan lanjutan, bahkan dilakukan secara repetitif dalam kasus tertentu. Pelayanan yang prima telah dikedepankan Kemenag dalam penyelenggaraan haji terutama dengan peningkatan kuota yang sangat besar dibanding negara-negara muslim.
Salah satu prioritas objek layanan dalam kesempatan ini, tentu adalah kelompok lansia. Dengan memberikan pelayanan terbaik pada mereka, maka salah satu masalah krusial dalam tata kelola jamaah haji, telah digenapi.
Memori Kolektif
Dalam benak orang tua kita, haji menjadi salah satu cita-cita yang menjadi tujuan dari kehidupaan. Tentu tidak luput dalam ingatan, betapa orang tua kita merasa bangga, tatkala memajang lukisan, gambar atau hasil kerajinan tangan berupa Kakbah, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi di ruang tamu kita.
Mungkin, sekarang pemandangan ini jarang menghiasi rumah-rumah di Smartcity. Namun jika kita menyempatkan diri, menyapa keluarga-keluarga, yang di dalamnya terdapat orang tua, di pinggiran Jakarta, pemandangan ini masih ditemukan.
Harapan untuk bertamu ke Rumah Allah senantiasa menggelora di dada orang tua kita. Mereka rela menyisihkan sebagian pendapatannnya untuk pergi haji suatu saat nanti.
Tentu, di benak mereka senantiasa hidup asa untuk dapat berangkat haji kapanpun. Namun, melihat pada kondisi kekinian, maka berangkat haji dengan nomor antrean yang sudah ditetapkan, bak menunggu takdir yang datang pada mereka dalam waktu yang tidak dapat diprediksi.
Dalam benak mereka hanya muncul satu kepercayaan bahwa mereka akan menjadi tamu Tuhan di kala mereka siap, apapun keadaannya. Jika menengok ke belakang, keinginan untuk berangkat haji memang merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Islam di nusantara.
Henry Chambert-Lloir dalam triloginya Naik Haji di Masa Silam (2013), menukil cerita-cerita orang yang berangkat haji mulai dari Abad Pertengahan (sekitar abad XV M) hingga masa Orde Baru. Terlihat, betapa orang-orang yang naik haji menghadapi kerumitan tersendiri pada setiap kurun waktu.
Di zaman Wali Songo, berangkat haji senantiasa dinisbatkan dengan kegiatan pelayaran rempah antar benua, di mana para jamaah haji menghadapi kesulitan saat kapal layar harus bertarung melawan ombak.
Memasuki periode kolonial Hindia Belanda, para jamaah haji diuji kesabarannya, dikarenakan meraka kerap mendapat tekanan-tekanan secara sosial dan politik. Saat itu, orang yang pergi haji harus dipastikan tidak membawa motif untuk menentang kebijakan Pemerintah Kulit Putih.
Setelah mereka pulang ibadah tahunan ini, gerak-gerik mereka senantiasa diperhatikan, bahkan kerapkali dituduh sebagai sosok yang gemar menyulut kekisruhan sosial yang membahayakan kepentingan Kompeni. Memasuki era Kemerdekaan Indonesia, rintangan jamaah haji juga tidak kalah hebat.
Mereka dihadapkan pada pilihan hidup atau mati, dikarenakan kondisi keamanan dalam negeri dan luar negeri yang masih tidak menentu, akibat adanya revolusi yang dilakukan banyak anak negeri di Asia Tenggara dalam usaha menjungkalkan pengaruh pemerintahan Eropa di daerahnya.
Saat mereka di kapal uap, kesulitan pun belum berhenti. Wabah penyakit mematikan seperti cacar, pes dan Flu Spanyol senantiasa siap melumpuhkan tubuh mereka, sehingga membuat perjalanan haji tidak ubahnya sebagai perjalanan menuju kematian.
Kilasan-kilasan kisah haji di masa silam di atas, dalam porsi dan varian yang beragam, agaknya masih hidup di benak para orang tua yang pernah berhaji. Mereka akan senang membagikan kisahnya pada teman sebaya, anak, cucu hingga kenalan mereka tentang hal tersebut.
Haji merupakan prestasi tersendiri bagi seorang muslim. Meraih haji yang mabrur, memang tidak selalu dihubungkan dengan berapa banyak uang yang dikeluarkan, melainkan ditentukan pula oleh kesiapan diri dan kebesaran jiwa untuk menerima segala bentuk tantangan yang dihadapi.
Menjadi pemandangan yang sering dijumpai, saat seorang tokoh agama tempatan mengisahkan pengalaman dalam menunaikan ibadah haji. Di antara jamaah yang mendengarkan, ada yang berlatarbelakang lansia.
Dari garis wajahnya, samar-samar terlihat, asa yang masih terus diperjuangan. Ia menyimak keterangan pengalaman haji dengan seksama, menandakan ia mempunyai harapan bahwa kelak dirinya akan dapat berangkat haji.
Penggambaran di atas tentu bukanlah menjadi sajian imajiner semata. Hal tersebut adalah realita yang dapat ditengok di pengajian-pengajian kecil maupun besar di sekitar Ibu Kota, bahkan juga di kampung-kampung kecil di wilayah urban. Pongahnya gedung yang semakin meninggi, tidak menggerus niat sebagian umat muslim untuk berhaji.
Jikapun di tahun ini belum berkesempatan berangkat haji, maka mereka akan senantiasa menunggu dengan kesabaran dan senantiasa memperbaiki perangai dan sikap mereka sehari-hari, agar jika tiba masanya, mereka telah menjadi tamu yang layak datang dan bertetirah di Rumah Tuhan.
Melayani Tamu Allah
Dalam sejumlah penggal pemberitaan, haji tahun ini menunjukkan totalitas para panitia haji dalam bekerja. Mereka tidak gentar menerjang teriknya matahari Arab Saudi untuk memberikan pelayanan terbaik pada jamaah haji, khususnya para lansia.
Terlihat beberapa pemandangan yang membuat hati terenyuh, seperti adanya cuplikan para panitia haji yang menggotong jamaah haji lansia untuk berangkat ke suatu tempat yang tentunya berkenaan dengan satu dari mata rantai ritual dalam haji. Jika ritual itu tidak dilakukan oleh seorang jamaah haji, maka berpotensi ibadah hajinya tidak sempurna dari sudut pandang syariat Islam.
Membopong tubuh seorang lansia tentu bukan pekerjaan yang mudah. Kerapkali keletihan segera menyergap tubuh para petugas haji, dikarenakan sebelumnya mereka telah melakukan pekerjaan yang mungkin menguras tenaga dan pemikiran mereka.
Ini bukan hanya sekadar gimik, melainkan adalah realita yang umum ditemukan sepanjang penyelenggaraan haji, bahkan di tahun-tahun sebelumnya. Tentu, ini adalah sesuatu yang perlu diapresiasi, dikarenakan semakin menandakskan profesionalitas para panitia haji yang senantiasa sigap memecahkan segenap masalah, bahkan yang muncul tanpa terduga sebelumnya.
Di samping profesionalisme pelayanan haji, terdapat sisi kemanusiaan yang dapat dituai dari petikan kejadian di atas. Bekerja, dalam perspektif Islam, adalah ladang amal bagi pelakunya. Menuntaskan suatu pekerjaan merupakan suatu prestasi yang layak diapresiasi, terlebih jika aktivitasnya berkenaan dengan kemanusiaan.
Membantu orang yang kesulitan adalah contoh dari laku humanis yang paling sederhana. Melakukannya secara kolektif, adalah suatu penampilan yang menyejukkan dan berpotensi menyebarkan energi positif bagi rekan-rekannya yang lain untuk senantiasa memberikan pelayanan prima bagi para jamaah haji.
Setidaknya, terdapat tiga poin penting perlu menjadi perhatian kita bersama dalam penigkatan pelayanan tamu Allah yang akan terus bertambahnya jamaah haji lansia.
Pertama, pengetahuan haji dan kondisi geografis Arab untuk pelayanan jamaah haji lansia. Tidak bisa dipungkiri, perbedaan kebutuhan jamaah haji muda dan tua. Fakta ini hendaknya ditangkap sebagai bahan pemikiran untuk menyadarkan konsep haji dan wilayah Arab yang beda bagi mereka.
Kerja fisik dan kekuatan mengelola emosi menjadi tumpuan setiap jamaah. Maka sisi ini perlu terus menjadi perhatian pra-keberangkatan melalui manasik secara visual dari ciri-ciri tempat yang akan dituju.
Kedua, pelayanan medis untuk mengantisipasi keadaan cuaca di Arab Saudi. Cobaan alami bagi para jamaah haji usia lanjut adalah kondisi iklim dan cuaca di Tanah Suci. Keadaan yang panas dapat membuat tubuh mereka melemah. Pun, saat malam tiba, keadaan yang dingin dapat menciptakan rasa ketidaknyamanan tersendiri.
Pada kondisi tersebut, tindakan medis prima menjadi kebutuhan penting. Pengaplikasian alat-alat pendukung dengan teknologi terbaru menjadi kebutuhan para tenaga medis agar lebih efektif dan efisien pelayanan.
Ketiga, pengembangan layanan komunikasi. Jamaah haji lansia biasanya masih terbatas dalam hal mengakses alat komunikasi kekinian. Kebiasaan di daerah asal masih menjadi penghalang untuk adaptasi di Arab sebagai daerah yang baru. Model sistem komunikasi yang lebih relevan untuk menjangkau kepentingan komunikasi para jamaah haji lansia saat di Tanah Suci.
Sepintas, hal ini mungkin terlihat sederhana, mengingat penggunaan gawai sudah semakin lazim di masyarakat. Namun, bagi lansia komunikasi simbolik tampaknya masih lebih mudah dipahami, apalagi tanah Arab model geografisnya jauh beda dengan Indonesia.
Ketiga pemikiran di atas agaknya dapat menjadi pilar penting dalam pelayanan haji di masa depan yang lebih baik. Tentu saja, diperlukan kerja sama yang sinergis di antara semua pihak, termasuk dari jamaah haji sendiri, untuk menyukseskan setiap bentuk layanan haji. Dukungan dan partisipasi semua pihak adalah kunci penting dalam memperkuat pelayanan haji ke depan. (ZM)
Artikel diterbitkan di halaman SINDOnews.com, Minggu 09 Juli 2023 dengan judul "Haji dan Humanisme”.