Habibie dan Budaya Pop
Habibie, bapak teknologi, demokrasi, dan intelektual Muslim itu telah tiada. Tidak ada yang meragikan kecerdasan Habibie dan keahliannya membuat pesawat.
Pun, tak disangsikan lagi keberaniannya membongkar kultur feodalisme birokrasi dengan meletakkan nilai-nilai dasar demokrasi. Habibie adalah sosok yang egaliter, terbuka, dan bersahaja.
Habibie adalah pendiri dan ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang pertama. Dengan peran dan posisi tersebut, Habibie layak disebut Bapak Intelektual Muslim.
Selama berpuluh tahun masa awal Orde Baru, Islam dan Muslim adalah dua kekuatan yang selalu dicurigai sebagai ekstrem kanan yang anti-Pancasila. Banyak kalangan –terutama di jajaran pemerintahan– tidak berani menonjolkan identitas keislaman.
Melalui ICMI, Habibie membawa Islam dan Muslim ke tengah arus kekuasaan. Bahkan, karena posisinya, sebagian orang menjadikan ICMI sebagai alat memperoleh kekuasaan.
Terlepas dari masalah politik dan kritik, sebagai Muslim yang taat beribadah, Habibie berhasil membangun rasa percaya diri umat Islam dan modal ideal Muslim intelektual.
Budaya Pop
Di balik semua itu, publik – ternyata– lebih mengagumi Habibie sebagai seorang yang romantis. Habibie adalah seorang suami yang setia dan mencintai istri sampai mati. Sejak wafatnya Ainun, Habibe seakan berubah menjadi laki-laki yang melankolis.
Sang seniman dan arsitek pesawat terbang kelas dunia tersebut merasakan kehampaan dalam hidupnya tanpa istri tercinta.
Bagi Habibie, Ainun adalah cinta mati. Cinta itu pulalah yang membut Habibie tak pernah mati.
Melalui film Habibie dan Ainun, Habibie hidup kembali. Film ini berkisah tentang bagaimana perjuangan Habibie meraih mimpi dari kampung halaman sampai di Jerman.
Dikemas dalam balada dan autobiografi, filem Habibie dan Ainun mampu menyentuh jutaan hati pemirsa. Cinta sejati Habibie dan Ainun yang begitu tulus membuat jutaan pemirsa meneteskan air mata.
Kemesraan mereka berdua membangkitkan imajinasi kebahagiaan keluarga yang abadi. Dalam 10 tahun berakhir, Habibie mendadak menjadi selebritas.
Budaya pop melambungkan namanya. Lebih dari 6 juta penonton membanjiri gedung bioskop.
Tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di negara jiran. Film Habibie dan Ainun melampaui karya Hanung Bramantyo sebelumnya, Ayat-Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi karya Riri Reza. Sebagian penonton menyaksikan film tersebut beberapa kali.
Film garapan Hanung setelah itu, Soekarno-Fatmawati, gagal menembus box office. Bukan karena kualitas filmnya, melainkan karena publik yang telanjur jatuh cinta kepada Habibie dan Ainun tidak bisa pindah ke lain hati.
Demikian halnya dengan lagu “Cinta Sejati” yang digubah Melly Goeslow dan dilantunkan sangat apik oleh Bunga Citra Lestari. Soundtrack film itu bertengger di puncak tangga lagu-lagu pilihan pendengar radio semua kalangan usia.
Lirik yang menarasikan suasana batin Habibie begitu menarik. memang agak melankolis. Namun, kebesaran dan kehebatan Habibie tidak lantas terusik.
Di mata masyarakat, Habibie justeru tampil utuh, wajar, apa adanya. Di balik kehebatannya, Habibie tetaplah manusia biasa. Habibie tidak besar seorang diri. Dia hebat karena dan bersama seorang istri: Hasri Ainun Besari.
Monumen Habibie-Ainun
Kisah Habibie dan Ainun hanyalah salah satu dari ribuan kisah cinta tokoh dunia. Drama hidup Habibie semakin meneguhkan kekuatan cinta dan keyakinan akan makna seorang istri bagi suami.
Perempuan dan laki-laki diciptakan Tuhan untuk saling memperkuat dan bersama-sama meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Dalam legenda kerajaan, kesuksesan raja sangat dipengaruhi sang permaisuri.
Dunia berdecak kagum dengan keindahan Taj Mahaal. Bangunan yang merupakan salah satu dari sedikit keajaiban dunia itu menjadi tugu keabadian cinta sang Sultan kepada istrinya, yang bernama Mumtaz Mahaal.
Sejarah perjalanan bahasa dan sastra Indonesia tidak lepas dari tokoh Raja Ali Haji. Penulis Gurindam Dua Belas itu melamar wanita pujaannya dengan sebuah pulau: Pulau Penyengat. Di pulau itu, sang Raja membangun masjid.
Jutaaan orang mengunjungi pulau itu untuk ziarah, belajar kearifan dari Gurindam Dua Belas dan meningkatkan kesalehan dengan menunaikan shalat di masjid yang konon temboknya direkatkan dengan putih telur.
Habibie dan Ainun telah kembali keharibuaan Ilahi Rabbi, Sang Maha Pencipta hidup dan mati. Keduanya adalah tokoh teladan umat dan bangsa. Sayang sakali, jika kebesaran Habibie hanya diabadikan menjadi tugu cinta sejati, monumen, atau nama jembatan.
Jikalau harus diabadikan sebagai jasa perjuangan, lebih tepat jika dibangun Masjid Habibie. Pak Harto membangun Masjid at-Tin untuk mengenag istrinya, Ibu Tien. Itu adalah masjid ke-1.000 yang dibangun Pak Hrto dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
Habibie adalah bapak teknologi, demokrasi, dan ICMI. Sudah seharusnya jika bangsa dan umat mengenang dan melanjutkan perjuangannya. Sisi ini, jauh lebih bermakna dibandingkan sisi lainnya sebagai pencinta wanita belaka.
Jikalau harus dibangun sebuah monumen, alangkah indahnya jika Indonesia memiliki tanaman Habibie-Ainun dengan museum yang berisi karya dan pemikiran serta masjid sebagai pusatnya.
Dr Abdul Mu’ti MEd, Dosen Magister Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Republika, Senin, 16 September 2019. (lrf/mf)