Guru Peneliti
Fuad Fachrudin
GURU sebagai peneliti merupakan salah satu peran yang diidealkan dari seorang guru pendidik. Pewujudan peran itu penting bagi guru pendidik dalam menjalankan tugas mereka dan menghadapi tantangan abad ke-21, era global. Mengajar, belajar, dan riset ialah interaksi yang secara dialektika berkaitan erat. Riset dapat membantu guru melahirkan pembelajaran yang bermutu bagi siswa (Alexos, 2015: 3, Kincheloe, 2004: 8, Lankshear, Knoble, 2004: 5).
Dengan kemampuan riset, guru akan melahirkan pengetahuan dari apa yang dilakukan di kelas dan guru pendidik akan menjadi knowledge worker. Keterlibatan terus-menerus dalam kegiatan-kegiatan riset akan meningkatkan kemampuan profesional dan memberi kontribusi dalam melahirkan pengetahuan dalam bidang yang digeluti (lihat Iqbal, Jalal, Mahmood, 2018: 188; Alexakos, 2015).
Dalam merespons tantangan abad ke-21, kemampuan reflektif dan interpersonal serta kemampuan riset penting bagi guru. Oleh karena itu, guru perlu memiliki sikap kritis, melihat sesuatu atas dasar fakta dan masukan dari berbagai sumber seperti outcome murid, teori, dan dialog profesional dalam melakukan tugas untuk melahirkan inovasi (Tan, Liu, Low (edts), 2017: 8).
Siapa guru peneliti?
Guru peneliti ialah praktisi kelas yang secara individu atau kelompok melakukan kajian/riset yang didorong hasrat untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan dirinya sebagai pendidik profesional. Ide peningkatan kemampuan profesional mencakup aspek internal, yaitu mencapai kepuasan pribadi, martabat, tujuan, arah, dan pemenuhan kebutuhan diri nonmaterial, yaitu guru sebagai panggilan hati. Sementara itu, aspek eksternal meningkatkan efektivitas pengajaran dalam bidang area studi yang diembannya (Lankshear, Knoble, 2004: 8).
Guru peneliti yang serius tidak hanya melakukan tugas untuk menggugurkan kewajiban, tetapi ia juga akan mengkaji secara saksama mengapa dan bagaimana. Guru seperti itu akan terbuka terhadap pemahaman baru dan persoalan serta tantangan yang muncul dengan penuh perhatian dan mendalam dengan berbagai perspektif (Lankshear, Knoble, 2004: 10).
Guru peneliti senantiasa melakukan refleksi terhadap kebutuhan profesi dan perkembangan perspektif baru. Mereka menyadari kompleksitas proses pendidikan dan dunia sekolah. Mereka sensitif terhadap kebutuhan siswa dalam mengembangkan kurikulum (Kincheloe, 2003: 18) dan berkomitmen melakukan evaluasi diri terhadap pengajaran yang dilakukan sebagai basis pengembangan pengajaran, berkomitmen melakukan studi terhadap pengajaran yang dilakukan, dan berminat kuat mempertanyakan dan menguji teori dalam praktik dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki (Lankshear, Knoble, 2004: 12). Dengan kegiatan riset, guru peneliti berusaha keras memahami praktik mengajar mereka dan dampaknya terhadap siswa serta hubungan antara mengajar, belajar, dan dunia kerja (Pesti, Gyori, Erika, 2018: 38).
Syarat menjadi guru peneliti
Untuk mencapai kondisi ideal tersebut diperlukan, antara lain, pertama, sikap kuriositas, reflektif, dan kritis. Menurut Inan (2012: 12), kuriositas adalah hal yang membuat kita terus maju, memotivasi kita untuk belajar, berubah, dan memiliki pengalaman baru, yang merupakan hal mendasar dalam mewujudkan seseorang menjadi peneliti. Menumbuhkembangkan kuriositas akan memandu studi lebih sistematis. Sikap itu akan mencegah orientasi yang tidak reflektif.
Kedua, literasi riset kritis dan riset untuk profesi. Yang pertama menunjuk kepada kemampuan melakukan riset, menganalisis literatur, mengkritisi pengetahuan pendidikan yang mendasar, dan mengembangkan metode untuk melahirkan pengetahuan dan menerapkannya. Yang kedua berkaitan dengan pemahaman tentang pentingnya profesi guru pendidik di masyarakat, mengajar sebagai proses peningkatan kapasitas profesional yang berkesinambungan, pentingnya riset untuk memperbaiki kemampuan mengajar, perluasan makna peran dan tanggung jawab guru sebagai guru sebagai peneliti dan agen perubahan (Kacaniku, 2020: 5).
Riset ialah proses sistematis, penyelidikan yang teliti dan kritis terhadap diri sendiri. 'Minat terhadap riset' berkaitan dengan kuriositas, yaitu kajian yang dibangun atas dasar kuriositas dan hasrat (Kacaniku, 2020: 6).
Selanjutnya budaya kerja yang baik diperlukan untuk mewujudkan peran guru peneliti. Budaya kerja yang baik didasarkan kepada lima prinsip; pertama, self-direction, yaitu guru yang terbebas dari hambatan birokratis. Guru dimaknai sebagai profesi yang otonom dalam menjalankan tujuan kelas mereka. Kedua, sekolah sebagai tempat belajar, yakni guru memandang tempat kerja sebagai laboratorium belajar. Ketiga, keragaman kerja, yaitu guru diberi kesempatan untuk menetapkan keragaman agar tidak jenuh.
Keempat, kerja sama mitra kerja. Guru yang berperan sebagai peneliti berbagi temuan, membahas temuan (interpretasi), dan bekerja sama dalam menjalankan tugas berdasarkan temuan. Kelima, karya atau kerja individu memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan sosial (Kincheloe, 2003: 26, 27).
Budaya riset ialah sederet nilai, norma, makna dan perilaku yang memengaruhi pelaksanaan riset (Samosa, 2021). Budaya riset berkaitan dengan interaksi yang fokus pada tanggung jawab akademik dengan berbagai karakteristiknya (Criado-Davila et al, 2020). Guru hendaknya 'mencelupkan diri' dalam budaya riset dan mulai memahami persoalan pendidikan berdasarkan pengalaman mereka. Dengan pendekatan seperti itu, mereka akan memperoleh kesadaran tentang bagaimana memberikan kontribusi terhadap pendidikan melalui riset. Mereka akan mendapat akses untuk memahami lebih jauh daripada apa yang dihasilkan peneliti lain (Kincheloe, 2003: 18).
Dengan mencelupkan diri dalam budaya riset, guru akan memahami implikasi kekuasaan dari perspektif standar teknis. Guru menjadi pembelajar bukan sebagai 'fungsionaris' yang hanya mengikuti perintah atau aturan dari atas tanpa kritis. Guru menjadi 'pekerja ilmu' yang selalu berefleksi sebagai kebutuhan profesional; sadar bahwa persoalan pendidikan itu kompleks dan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, filosofi, budaya, ekonomi, politik, dan psikologis; meneliti praktik profesional mereka; menggali proses belajar yang terjadi di kelas dan berusaha menafsirkannya; menganalisis dan menimbang kekuatan ide dari guru lain; membangun 'budaya kritis baru' dalam kedudukan sebagai pemikir yang mengajar siswa; menolak pandangan guru hanya sebagai penerima dan bukan produsen pengetahuan dan siswa dipandang bodoh (Lankshear, Knoble, 2004: 6).
Pandangan itu bertolak belakang dengan konsep guru sebagai pekerja pengetahuan, yang memotivasi dan menginspirasi siswa serta melibatkan siswa dalam menjadikan sekolah sebagai institusi akademik dan penerapan ilmu dalam kehidupan dunia (Kincheloe, 2003: 21).
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan guru perlu ditransformasi menuju konsep guru otonom. Profesi guru harus sama seperti profesi dokter dan insinyur sebagai profesional, produsen pengetahuan, dan pekerja pengetahuan, bukan perpanjangan tangan atau fungsionaris birokrasi. Wallahu a'lam bishshawaab.
Penulis adalah Dewan Pengawas Yayasan Sukma Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Media Indonesia, Senin 27 Maret 2023, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/568719/guru-peneliti