Guru dan Personalized Learning
Fuad Fachruddin
IDE belajar-mengajar abad ke-21 adalah mentransformasi lingkungan pendidikan yang ada ke lingkungan dan model pembelajaran yang responsif terhadap tantangan kehidupan abad ke-21 (Benade, 2017), serta menyiapkan siswa dalam mengarungi kehidupan global agar mereka berdaya (Naidoo, 2021).
Belajar-mengajar abad ke-21 merupakan perubahan dari model transmisi ke pendekatan inovatif dan mengembangkan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan era global seperti berpikir kritis dan memecahkan masalah, kolaborasi dan kerja tim, kepemimpinan, responsif dan adaptabilitas, inisiatif dan kewirausahaan, komunikasi lisan dan tulis yang efektif, akses dan analisis informasi, rasa keingintahuan dan imajinasi, cakap dalam berhitung dan ICT, fasih berkomunikasi, arif dan mandiri belajar (Powell, 2011; Barkatsas, Bertram, 2016; Benade, 2017; Naidoom, 2021).
Untuk mendapatkan kemampuan tersebut, guru perlu menggunakan model pembelajaran inovatif, yaitu siswa diberi kesempatan terlibat dalam kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan kerja sama, komunikasi, berpikir kritis, memecahkan masalah, dan daya kreatif (Naidoom, 2021). Guru perlu mengubah cara-cara dalam merancang belajar yang mendorong siswa menjadi pemecah masalah dan berpikir kreatif. Peran guru bergerak dari pendistribusi informasi ke mendorong siswa terlibat dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan memproses informasi menjadi produk pembelajaran yang unik, atau guru memainkan peran fasilitator, pembimbing, dan pelatih (Hugly, 2020).
Dengan demikian, peran siswa bergerak dari penerima pengetahuan menjadi peneliti, kurator, dan kreator. Produk kreasi dan ekspresi siswa dalam belajar menjadi bagian penting dalam proses belajar yang dievaluasi teman sejawat siswa dan guru (Zmuda, Curtis, Ullman, 2015).
Personalized Learning
Akar konsep personalized learning dapat ditelusuri dari ide Dewey tentang 'membangun minat siswa dan menghubungkan pengalaman luar untuk memenuhi kebutuhan individu siswa' (Dewey,1916; Dewey,1938; Dewey,1956), dan ide Jean-Jacques Rousseau tentang membangun 'kemampuan dan pilihan seseorang yang menjadi modal untuk membangun motivasi internal' yang dikutip Zmuda et all (2015) dari Yonezawa et al (2014).
Juga dari penerapan ideologi progresif Dewey dan Maria Montessori oleh Helen Parkhurst (1919) dalam mengembangkan sebuah model persekolahan yang merancang setiap program sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa, meningkatkan kemandirian, dan meningkatkan kemampuan sosial dan rasa tanggung jawab siswa (Zmuda, Curtis, Ullman, 2015).
Personalized learning adalah kegiatan yang dirancang khusus untuk melakukan percepatan belajar siswa melalui pengajaran dengan kebutuhan dan kemampuan mereka dalam memenuhi ketentuan kurikuler. Secara umum personalized learning dipahami sebagai pembuka peluang bagi siswa untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan hasrat dan kebutuhan mereka (Kallick, Zmuda, 2017). Ia merupakan model pendidikan yang secara progresif memberdayakan siswa agar mereka mampu mengajukan aspirasi, menginvestigasi masalah, merancang solusi, mengembangkan rasa keingintahuan, dan mengkreasi hasil (Zmuda, Curtis, & Ullman, 2015).
Ada empat hal yang mencirikan personalized learning. Pertama, suara (voice). Suara adalah keterlibatan dan partisipasi siswa dalam menetapkan 'apa' dan 'bagaimana' belajar yang dilakukan pada proses awal pembelajaran. Personalized learning mendorong siswa mengenal kekuatan ide mereka dan bagaimana ide mereka dapat mengubah dan berkembang melalui kontak dengan ide orang lain (Kallick, Zmuda, 2017).
Kedua, kreasi bersama, yaitu siswa bersama-sama guru mengembangkan tantangan, masalah, atau ide, mengklarifikasi apa yang diukur, melihat produk, dan merancang rencana kegiatan yang menghasilkan outcome seperti yang dicitakan (Kallick, Zmuda, 2017).
Ketiga, konstruksi sosial, yaitu siswa membangun gagasan melalui relasi dengan pihak lain ketika mereka menemukan pengetahuan dan melakukan investigasi dalam meraih tujuan akhir belajar. Hal ini merujuk kepada pandangan Vygotsky (1978) tentang konstruksi sosial pengetahuan, yakni orang belajar melalui dialog, diskusi, dan membangun ide satu dengan yang lain. Mengajar siswa melalui proses mengalami membantu mereka menginternalisasi dan membentuk kembali atau mentransformasi informasi baru (Kallick, Zmuda, 2017).
Keempat, memahami diri (self-discovery) adalah proses siswa sampai kepada memahami diri mereka sebagai pembelajar. Mereka melakukan refleksi untuk mengembangkan ide, sederet kemampuan, pengetahuan, dan hasil refleksi tersebut membantu mereka memprediksi apa yang akan muncul dan apa yang dapat dilakukan, menggali dan mengkreasi apa untuk ke depan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat siswa menjadi pembelajar (self-directed learner) yang tahu bagaimana mengelola diri sendiri dalam keragaman situasi. Membantu siswa 'belajar dari diri mereka sendiri' berarti membantu mereka mengembangkan kemampuan mereka membuat keputusan yang bijak dan menjalani dunia yang terjal dan berubah dengan cepat (Kallick, Zmuda, 2017).
Oleh karena itu, personalized learning berbeda dengan individualized dan differentiation learning. Dalam individualized learning para peserta didik selalu diberi tugas belajar dan terus melanjutkan penggunaan teknologi seperti computer adapted models, a software platform, atau a teacher-generated playlist, untuk menyelesaikan tugas (Kallick, Zmuda, 2017).
Personalized learning model melibatkan siswa dalam merancang dan mengembangkan tugas yang mereka lakukan. Keterlibatan tidak diukur dengan seberapa cepat seperti dalam perlombaan seorang siswa capai melalui suatu materi, tetapi keterlibatan dilihat dari seberapa relevan, menarik, dan berguna bagi siswa materi tersebut. Keterlibatan mereka semenjak mengidentifikasi, atau mengkreasi suatu gagasan, pertanyaan atau masalah, menentukan kegiatan kegiatan pokok, sumber, dan jadwal, dan menentukan langkah berikutnya sampai tugas rampung diselesaikan (Kallick, Zmuda, 2017).
Differentiation mencakup realitas seluruh siswa dalam kelas dengan keragaman skill, tingkat kesediaan dan minat. Dalam model ini guru menentukan siswa menciptakan keragaman pengalaman belajar yang ditugaskan kepada mereka. Bentuk kedua bisa menjadi membingungkan ketika siswa dapat menetapkan topik yang akan digali (content differentiation), bagaimana menginvestigasi atau mengembangkan ide (process differentiation), bentuk tampilan pembelajaran yang dipilih (product differentiation). Differentiation learning mendorong siswa memilih pilihan-pilihan yang telah guru kembangkan sebagai pilihan yang tersedia. Guru masih tetap mengontrol rancangan dan pengelolaan pengalaman (Kallick, Zmuda, 2017).
Model personalized learning memberi peluang terbuka kepada siswa untuk menetapkan apa yang mereka lakukan dan bagaimana menyuguhkan pembelajaran. Mereka menjadi pemilik semenjak awal sampai akhir, dari mengembangkan ide, investigasi, analisis, dan perbaikan, sampai menyajikan hasilnya (Kallick, Zmuda, 2017). Model pembelajaran ini hidup dan dinamis yang membuka tembok pemisah dunia sekolah dari dunia luar, prestasi siswa dari pertumbuhan masyarakat. Siswa belajar dan dipengaruhi orang dewasa, teman sejawat, dan para ahli yang secara sosial mengonstruksi pengetahuan bersama. Mereka menggunakan apa yang diperoleh dari belajar tentang diri mereka sebagai kompas yang mengarahkan pilihan, keputusan keterlibatan secara aktif. Wallahualam. (zm)
Penulis adalah Dewan Pengawas Yayasan Sukma dan dosen pascasarjana FITK UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Media Indonesia, Senin 07 November 2022, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/535448/guru-dan-personalized-learning