Guru Besar UIN Jakarta: Indonesia Berpeluang Dorong Taliban Tempuh Jalan Tengah
Ciputat, BERITA UIN Online— Pemerintah Indonesia memiliki peluang besar mendorong pemerintahan Taliban menempuh jalan tengah guna menciptakan pemerintahan inklusif dan kehidupan stabil bagi warga negaranya. Organisasi ke-Islaman tanah air juga bisa turut meningkatkan peran aktif mereka dengan menyuarakan pesan moderasi beragama bagi kalangan muslim lokal Afghanistan.
Demikian dikatakan Guru Besar UIN Jakarta Profesor Azyumardi Azra saat menjadi pembicara seminar ‘Taliban, Radikalisme Global dan Masa Depan HAM Perempuan Indonesia’, Sabtu (11/9/2021). Seminar diselenggarakan Ikatan Alumni UIN Jakarta atau IKALUIN sebagai respon atas dinamika politik Afganistan bagi Indonesia.
Berkaca pada kondisi terkini, sambungnya, dunia masih menantikan Pemerintahan Taliban menempuh pemerintahan inklusif dengan mengakomodir perempuan dan etnik-etnik lain untuk bergabung dalam pemerintahan yang baru. Terlebih Afganistan juga diproyeksi bakal menghadapi kesulitan ekonomi luar biasa berupa ancaman kemisikinan universal.
"Dalam konteks ini, Indonesia punya akses lumayan kalau mau dimanfaatkan. Saya misalnya mengusulkan kepada Bu Retno (Menlu RI Retno L. Marsudi, red.) Indonesia berperan membawa Taliban ke jalan tengah, termasuk soal hak-hak perempuan," katanya.
Salah satu akses yang bisa dioptimalkan adalah dengan menunjuk figur yang bisa diterima semua kalangan, termasuk kelompok Taliban. Melalui figur seperti demikian, diharapkan Indonesia bisa turut mendorong penguasa Afganistan kini mengubah citra mereka dengan mau bersikap terbuka.
Dalam pandangan Azra, salahsatu figur yang cukup didengar dari kalangan tokoh nasional Indonesia adalah mantan Wakil Presiden RI HM. Jusuf Kalla. Melalui pengalaman dan jaringan yang dimilikinya, Jusuf Kalla dinilai memiliki akses komunikasi cukup bagus dengan para tokoh Taliban sehingga layak dipercaya menjembatani dorongan Indonesia.
"Misalnya mengangkat Pak Jusuf Kalla sebagai Presidential Special Envoy for Peace to Afghanistan," sarannya.
Azra meyakini, Jusuf Kalla merupakan figur yang tak bisa diragukan atas komitmennya terkait kemanusiaan. "Saya kira beliau ingin jalan perdamaian, jalan tengah," tandasnya lagi.
Lebih jauh, Azra juga menilai peluang yang sama dimiliki organisasi-organisasi keislaman Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU_, Muhammadiyah, dan lainnya untuk turut mendorong komunitas etnik-keagamaan membangun sikap keagamaan wasathiyah. "Misalnya juga NU punya cabang di Afganistan. Tapi NU asli Afghanistan, pengurusnya asli setempat. Bukan mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana," katanya.
Perhatikan Perempuan
Di sisi lain, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengungkapkan pentingnya memperhatikan nasib perempuan Afghanistan. Ini karena perempuan menjadi kelompok paling rentan saat satu kelompok berkepentingan menegaskan simbol-simbol keagamaan dengan cara melanggar atau mengorbankan hak-hak mereka.
"Perempuan menjadi target utama 'social and moral panics' karena mereka cenderung diposisikan secara intrument utama membentuk simbol Islam ekslusif dan sekaligu dibelenggu atas nama perlindungan dan menjaga kesuciannya," katanya.
Untuk itu, ia berharap agar dunia internasional terutama negara-negara yang berbatasan langsung dengan Afganistan untuk mendorong perempuan terus bersuara dan melawan instrumentalisasi mereka. "Yang utamanya bagaimana meng-empower perempuan Afghanistan keluar dari jebakan etnosentrisme itu sendiri. Dan itu bukan upaya yang mudah dalam sebuah kontestasi ektremisme yang terus menerus," paparnya.
Sementara itu, Jurnalis Senior sekaligus Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta Teguh Santosa menilai pentingnya masyarakat Indonesia memiliki keprihatinan sekaligus pembelajaran dari konflik Afghanistan. Menurutnya, konflik salahsatu negara di kawasan Asia Selatan ini bisa dilihat dari perspektif internal dan eksternal negara itu sendiri.
Dari internal Afghanistan sendiri, instabilitas sosial politiknya sendiri lahir berbagai faktor utama. Diantaranya rendahnya legitimasi pemerintahan transisi Afghanistan sendiri sehingga dan hadirnya problem dalam relasi mayoritas-minoritas etnik sehingga mempertajam konflik di dalamnya.
Secara eksternal, konflik juga tidak lepas dari mundurnya AS setelah selama hampir dua dekade hadir di Afghanistan. Selain itu, faktor kepentingan geo-politik dengan perluasan pengaruh politik China ke kawasan Asia Selatan guna mengimbangi India maupun adikuasa politik global lain menjadi faktor penting dalam instabilitas politik Afghanistan masa kini. (zm)