Guru Bermutu dan Budaya Literasi di Era Digital

Guru Bermutu dan Budaya Literasi di Era Digital

Oleh Abdul Razak Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemerhati dan Praktisi Pendidikan

Belajar adalah aktivitas sehari-hari manusia sejak mengenal alam kehidupan. Karenanya belajar terjadi kapan pun, di mana pun dan dengan sumber belajar yang beragam (learning becoming any where, any time and by multi resources). Dalam dunia pendidikan formal persekolahanuan tinggi, belajar masih memerlukan kehadiran pengajar yang menjadi mitra strategis peserta didik dalam menapaki jalan terjal kehidupan yang akan dihadapinya agar dapat melintasinya dengan sukses, bermakna dan memberikan manfaat untuk manusia lainnya (insan kamil) sebagai manifestasi makhluk ciptaan Allah yang paling baik dan sempurna disbanding dengan makhluk lainnya.

Pengajar yang hebat kalau menggunakan term Yudi Latif disebut sebagai Pengajar Bermutu yang pada dirinya menampilkan diri bukanlah seorang komandan tempur dalam medan perang atau komandan dalam barisan para angkatan perang dengan titahnya yang tak bisa dibantah dan ditolak bila telah memerintahkan. Pengajar adalah mitra kolegial pelajar dalam proses pembelajaran yang menginspirasi, memotivasi, memberikan refleksi, mengembangkan kapasitas dan kapabilitas para pembelajar untuk menjadi manusia sejati yang berkualitas secara moral, mental, dan penuh kecerdasan serta kapasitas diri dalam menghadapi dinamika sosial dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu fenomenal dan disruptif. Untuk itu tugas utama dari seorang pengajar hebat dan bermutu diantaranya menciptakan iklim dan budaya belajar yang sehat dan bermakna serta pembelajaran yang bermuatan learning how to learn, learning how to relearn, and learning how to unlearn.

Mengajar secara hebat, berkualitas dan bermakna dilakukan oleh pengajar hebat, bermutu dan inspiratif yang dalam peran dan tugas nya bukan menjejali peserta didik dengan sejumlah dalil, teori, aksioma dan ringkasan-ringkasan yang siap dihapal secara instruktif. Di tengah perkembangan kemajuan teknologi digital yang semakin fenomenal dan membawa lompatan-lompatan secara signifikan, sebaik-baiknya tindakan mengajar yang dilakukan guru hebat dan bermutu yaitu dilakukan dan ditempuh dengan cara mengembangkan motivasi belajar secara instrinsik, mengembangkan minat baca dan membangun kesadaran membaca peserta didik yang disertai dengan upaya pengajar memberikan rujukan buku-buku, kitab-kitab dan jurnal terpilih dan bereputasi untuk dijelajahi dan didalami secara mandiri.

Guru menjadi inspirator, kolaborator, motivator ulung, dan mitra berdialog strategis peserta didik dalam ruang dialektika konstruktif. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah. Artinya guru hebat, bermutu dan inspiratif menjadikan setiap diri peserta didik dapat berperan sebagai guru. Karena bila berperan sebagai guru artinya pada diri seseorang telah tumbuh dengan baik keasadaran membacanya dan kemampuan literasinya, sehingga meminjam istilah Alvin Toffler guru itu adalah salah satu sosok manusia yang berpendidikan dalam arti yang sesungguhnya karena daya dan kapasitas membacanya terus terjadi secara berkelanjutan samapai akhir hayatnya dalam rangka mencerdaskan dan mencerahkan umat manusia. Karena itu dalam Islam guru merupakan sosok ulama yang menjadi pewaris nabi karena mampu menjalankan tugas dan profetik kenabian. Pandangan yang didasarkan pada teori tabularasa dalam belajar dan pembelajaran menjadi sesuatu yang tidak lagi relevan.

“you can teach a student a lesson for a day, but if you can teach him to learn by creating curiosity, he will continue the learning processas long as he live” (Clay P. Bedford). Kamu hanya dapat mengajarkan satu mata pelajaran pada diri seorang peserta didik selama sehari, tetapi jika kamu mengajarinya peserta didik belajar dengan cara kreatif dan menumbuhkan keinginantahuan yang tinggi, peserta didik itu akan terus melanjutkan proses belajarnya tiada henti selama hidunya meski tanpa arahan dan bimbingan guru.

“Learning is a treasure that will follow its owner everywhere” (Chinese Proverb). Belajar itu hendaknya diletakkan sebagai warisan berharga pada diri seseorang karena ia yang akan mengikuti pemiliknya di manapun berada.

“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn” (Alvin Toffler). Orang yang disebut tidak berpendidikan-illeterat pada abad 21 ini bukanlah mereka yang tidak bisa baca tulis, tapi mereka yang tidak bisa belajar dan tidak tahu tentang apa yang harus dipelajari saat ini, tidak mau belajar dari masa lalu dan tidak bisa melakukan refleksi terhadap apa yang telah dipelajari masa lalu, dan tidak mau belajar terhadap sesuatu yang belum diketahuinya sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Kehebatan peradaban umat manusia yang pernah ada dalam lintasan sejarah tidak terlepas dari tumbuhnya dan tingginya tradisi membaca yang terjadi pada bangsa itu. Jika kita menghendaki masa depan peradaban umat dan bangsa menjadi hebat dan bermutu, maka tidak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali dengan melakukan persiapan terbaik dalam menyiapkan dan membangun masa depan generasi bangsa dan umat melalui penciptaan tradisi belajar secara mandiri dan berkelanjutan yang dalam istilah Yudi Latif membiasakan anak-anak negeri membaca buku-buku bermutu.

Lebih lanjut Yudi Latif dalam tulisannya yang berjudul “Mencintai Buku menegaskan bahwa membaca membuatmu belajar, mencintai membuatmu memahami. Sebuah bangsa yang tumbuh di atas lahan tandus daya baca dan cinta, susah menyuburkan pelajaran dan pemahaman. Bangsa tersebut mudah dilanda sesat pikir dan gagal paham. Jikalau bangsa Indonesia ingin tumbuh berhebat, jiwa kita harus mikraj (meninggi), dengan sehat pikir dan terang paham, dilandasi budaya baca dan cinta. Membaca buku memberimu mitra belajar memahami dan mencintai. Seperti kata Charles W. Eliot, "Buku adalah sahabat paling senyap dan setia; ia adalah penasehat paling bijak dan terengkuh, serta guru yang paling sabar."

Banyak di antara kita memiliki kenangan istimewa dan tumbuh-kembang bersama buku. Buku yang tepat akan menorehkan kesan mendalam yang dapat memberi isi hidup dan arah hidup. Buku merupakan pasangan hidup yang pantas dicintai. Bila seseorang tak suka membaca buku, boleh jadi karena kurang mengenal, belum terbiasa, atau belum menemukan buku yang tepat. Bagi mereka yang sudah tumbuh cinta dengan buku, membaca setengah buku laksana love affair setengah jalan (Yudi Latif).

Di tengah-tengah membanjirnya informasi dan sejumlah tulisan ilmiah bermutu dalam bentuk e-book dan e-journal serta e-kitab di ERA DIGITAL yang sangat mudah diakses karena kemajuan teknologi digital dan dunia internet (internet of things) maka tugas penting guru bermutu selain memberikan bekal perangkat ilmu alat untuk membaca teks book-teks kitab, juga tugas yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan minat baca dan membangun budaya literasi peserta didik agar mereka dapat menjelajahi alam samudera ilmu pengetahuan yang teramat luas dan terbuka.

Di era teknologi digital, fokus dan perhatian masyarakat pada smartphone khususnya penggunaan medi sosial sangat tinggi. Tahun 2017 Kementerian Informasi dan Komunikasi merilis data bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih 9 jam dalam menatap layar gawai. Untuk urusan cuitan dan pembicaraan Twitter masyarakat Jakarta dan Bandung menempati sepuluh besar dunia dengan rata-rata 10 juta cuitan setiap hari. Durasi mengkhidmati media sosial tersebut membenarkan sinyalemen Stephen Apkon dalam The Age of Image : Redefining Literacy in a World of Screen (2013) yang menegaskan bahwa anak-anak di penjuru dunia sudah demikian terkoneksi dengan dunia digital dan mereka menjadi generasi screenager (generasi layar) bukan lagi teenager di mana waktu dan kesempatan banyak digunakan untuk memelototi dan berada di depan layar untuk menghabiskan waktu berseklancar di dunia maya dan media sosial.

Kemampuan literasi bangsa ini memang tergolong masih rendah. Literasi membaca pada diri peserta didik juga berada dalam kondisi yang sama. Sebagaimana dalam laporan Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis 3 Desember 2019. Laporan PISA berdasar penilaian terhadap 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Studi ini membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains dari tiap anak. Hasil PISA 2018 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mendapatkan skor rata-rata 371, sementara rerata keseluruhan adalah 487. Untuk skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 379 (rata-rata keseluruhan 487), sains 389 (rata-rata keseluruhan 489). Dalam konteks kemampuan membaca, hasil studi PISA ini mencatat rata-rata anak Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah atau peringkat 74. Skor rata-rata kemampuan membaca amak Indonesia adalah 371 (rata-rata keseluruhan 377 persen).

Kondisi seperti ini belum jauh beranjak dari data yang dikeluarkan PISA periode sebelumnya. Data tahun 2018 ini masih “bertahan” dan sejalan dengan hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2011 yang menilai kemampuan membaca peserta didik kelas IV dengan menempatkan kemampuan siswa Indonesia pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai rata-rata 500 (IEA, 2012). Pada tahun 2012, dari 65 peserta survei, PISA mencatat bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia ke-64 dengan skor 396 di mana skor rata-rata OECD 496 (OECD, 2013). Data ini sejalan dengan temuan UNESCO (2012) yang menggambarkan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia, bahwa hanya satu dari 1.000 orang masyarakat Indonesia yang membaca. Berdasarkan gambaran data di atas, maka penulis menyarankan beberapa langkah yang harus diambil dan diterapkan oleh para pihak di antaranya oleh GURU dan ORANG TUA terkait dengan peningkatan kemampuan membaca peserta didik dan masyarakat Indonesia bahwa menumbuhkan dan membangun budaya literasi, mencintai buku, kitab, jurnal ilmiah yang memuat tulisan dalam bentuk artikel ilmiah dan

media lain yang memuat tulisan artikel popular yaitu:

a. budaya baca dan budaya literasi harus dijadikan sebagai tradisi dan budaya dalam kehidupan di rumah dan di sekolah/madrasah; b. memberikan hadiah bagi siswa berprestasi melalui pemberian buku; c. mengadakan lomba dan kegiatan yang memantik tumbuhnya budaya baca dan budaya literasi siswa dan masyarakat; d. membangun tempat dan ruang baca sederhana, nyaman dan menarik dan perpustakaan di rumah, di kantor lingkungan warga dan tempat-tempat yang mudah diakses anak dan orang dewasa; e. membangun jati diri performan diri sebagai GURU HEBAT dan BERMUTU yang dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah seorang pejuang yang tulus tanpa tanda jasa dalam mencerdaskan bangsa yang dapat merawat dan menuntun tumbuhnya anak-anak sesuai dengan kodratnya sendiri.

Jadi guru hebat dan bermutu salah satu tugasnya yang teramat penting adalah menumbuhkan, menuntun, mengembangkan dan merawat kodrat anak mencintai kitab suci, mencintai buku, kitab, jurnal ilmiah, tulisan ilmiah popular serta membangun tradisi dan budaya literasi agar terhindar dari hate speech, hoaks dan tindakan destruktif lainnya di tengah maraknya media sosial dan kemajuan teknologi digital.(sam/mf)

Terbit di www.akurat.co Rabu, 08 September 2021