Golput dan Alienasi Politik
KONTROVERSI soal golput kembali mengemuka. Kekhawatiran melonjaknya golput dalam pemilu 2009 makin besar ketika kita lihat data-data golput dalam pilkada pilkada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang mencapai 40-an persen.
Rendahnya partisipasi pemilih ini sebenarnya kelanjutan dari fenomena pemilu 2004. Dalam pemilu legislatif 1999, persentase voter turn-out (pemilih yang menggunakan hak pilihnya) sekitar 92%, tapi pemilu legislatif 2004 turun menjadi 84%. Pilpres 2004 putaran pertama tingkat turn-out turun hingga 79%, bahkan putaran kedua, tingkat partisipasi hanya mencapai kisaran 76%. Golput tidaklah monolitik. Secara umum, ada tiga bentuk golput.
Pertama, golput teknis yang disebabkan tidak jelinya penyelenggara pemilu dalam mendata pemilih, sehingga banyak potensi pemilih yang tidak terdaftar. Atau, kartu pemilih yang tidak sampai ke tangan pemilih hingga waktu yang ditentukan. Kedua, golput pragmatis. Ketiga, golput ideologis yang disebabkan oleh alasan bahwa pemilu tidak ada gunanya.
Variasi golput tersebut di atas terlihat dari survei yang diadakan LP3ES pascapilkada di Jakarta tahun 2007. Dari total jumlah responden sebanyak 1128 orang, 74,8% responden menyatakan golput karena alasan individual-sosial. Perinciannya,18,4% karena keluar kota atau liburan, 17,8% karena malas, 27,8% karena ada urusan pekerjaan dan 10,8% karena sakit. Sementara hanya 25,2% karena persoalan kontekstual-sistemik.
Perinciannya, 3,3% karena kesalahan administratif,8,7% karena problem ketidakpercayaan terhadap struktur, dan 13,2% karena isu-isu negatif tentang pilkada.
Golput dan Segmen Pemuda
Secara teoritik, kenaikan jumlah golput dipicu meluasnya perasaan alienasi politik bahwa pemilu tidak terkait dengan kepentingan pragmatis pemilih. Efikasi politik yang rendah terhadap proses-proses politik, termasuk masalah pemilu, membuat mereka merasa bahwa pilihan suara mereka tidak bakal mengubah keadaan.
Rendahnya efikasi politik biasanya menjangkiti segmen pemilih pemuda. Pemilih pemuda secara umum terbagi menjadi dua.Pertama, kelompok apatis atau apolitis. Kelompok ini biasanya teralienasi dari sistem atau proses politik yang ada.
Kedua, kelompok pemuda yang rasional atau kritis. Karakteristik pemuda yang rasional atau kritis bisa berujung pada dua hal: golput atau memilih partai,tapi ?gampang pindah ke lain hati?.
Pilihan golput biasanya bukan didasarkan pada alasan yang remeh-temeh atau alasan administratif, tapi benar-benar atas kesadaran bahwa pemilu dianggap gagal melahirkan proses rekrutmen politik yang baik. Jika kelompok pemuda kritis ini berketetapan menggunakan hak pilihnya, mereka tidak gampang dibujuk dengan slogan dan janji.
Mereka menilai secara kritis program partai dan menitikberatkan pada isu ketimbang pencitraan.Kelompok ini bisa diklasifikasikan sebagai swing voters yang mudah mengalihkan dukungan ke partai lain yang dianggap lebih aspiratif terhadap kepentingan rakyat.
Alienasi terhadap Partai Politik
Relasi partai dengan massa pemilih biasanya diukur melalui dua dimensi, yaitu identifikasi diri dengan partai (dimensi afeksi) dan evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional) (Biorcio dan Mannheimer,1995).
Dalam ilmu politik, identifikasi dengan partai disebut dengan istilah party identification (party id), yakni perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, bahwa ia mengidentikkan diri sebagai orang partai tertentu, atau bahwa ia merasa dekat dengan partai politik tertentu. Sementara intermediasi partai berbentuk evaluasi pemilih terhadap fungsi penghubung atau perantara aspirasi publik. Party id lebih didorong oleh alasan-alasan emosional dan psikologis, sementara dimensi intermediasi lebih bersifat rasional. Dalam konteks ini,terdapat empat jenis hubungan massa pemilih dengan partai politik (Mujani, 2007).
Pertama, hubungan bersekutu. Dalam kelompok ini, massa pemilih dan partai politik memiliki hubungan yang bersifat emosional sekaligus rasional. Mereka memiliki tingkat party id yang besar,dan hasil evaluasi mereka terhadap fungsi intermediasi partai bersifat positif. Kedua, tipe pemilih loyal. Artinya, pemilih loyal memiliki party id yang kuat dan hubungan emosional dengan partai yang positif, tapi mengabaikan evaluasi terhadap fungsi intermediasi partai.
Meskipun partai gagal melakukan fungsinya dalam mengagregasi kepentingan rakyat, pemilih loyal akan tetap mencoblos partai tersebut. Ketiga, pemilih terasing. Biasanya kelompok ini tidak memiliki hubungan emosional dengan partai, party id rendah, serta menilai negatif fungsi partai politik. Keempat, massa pragmatis yang dicirikan oleh minimnya kedekatan psikologis dengan partai, tapi bersifat pragmatis.
Mereka akan memilih partai asalkan partai yang bersangkutan dianggap mampu menjadi perantara kepentingan mereka dan juga sebaliknya. Karakteristik pemilih pada kategori ini lebih rasional dan kritis.
Pemuda sebagian besar masuk kategori pemilih terasing dan pragmatis. Pemilih terasing biasanya cenderung golput,sementara pemilih pragmatis akan lebih kritis dan rasional menilai partai politik. Jika partai dianggap gagal menyalurkan aspirasi mereka, maka mereka akan golput.Tetapi apabila partai dianggap mampu mengagregasi kepentingan mereka, maka mereka akan memilih partai tersebut.
Di atas segalanya, potensi golput jugadimungkinkanolehgejala election fatigue (kelelahan berpartisipasi). Berbeda dengan pemilu 2004 di mana kita belum menjalankan pilkada, pemilu 2009 akan berlangsung di tengah fakta bahwa masyarakat telah disibukkan dengan pilkada pada dua tahun belakangan ini. Setidaknya, pemilih telah berpartisipasi dalam pilkada di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Itu pun belum termasuk di daerah yang harus menyelenggarakan pilkada putaran kedua, atau ?putaran ketiga? untuk kasus Sampang dan Bangkalan dalam pilkada Jatim.
Belum lagi pemilihan di tingkat desa/kelurahan. Besarnya potensi golput ini harus disikapi dengan bijak dengan cara ?memaksa? parpol untuk berbenah memperbaiki performanya.KPU juga harus lebih masif menyosialisasikan pentingnya pemilu. Selain itu,mulai dipikirkan desain institusional baru untuk mengatasi kelelahan berpartisipasi sehingga dapat memacu partisipasi pemilih dalam pemilu.(*)
*Artikel ini pernah dimuat di Koran Sindo Edisi Rabu 7 Januari 2009
**Â Burhanuddin Muhtadi adalah Analis Politik Charta Politika Indonesia dan Dosen UIN Jakarta
Â