Gerakan Menabung Air
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 227 bencana alam telah terjadi di Indonesia dalam dua minggu terakhir sejak awal Oktober 2022. Semua kejadian bencana dikategorikan sebagai bencana hidrometeorologi basah seperti: banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, dan tanah longsor.
Berbagai bencana tersebut idealnya menggugah kesadaran kolektif kita. Kebijakan, sikap, dan aksi antisipatif menghadapi musim hujan dan dampaknya itu menjadi sangat penting. Air hujan yang merupakan anugerah dan berkah dari Allah SWT, tentu diharapkan, tidak berubah menjadi musibah.
Agar tidak menjadi musibah, sumber daya air, termasuk air hujan, harus dikelola dengan manajemen manajemen modern berbasis literasi fikih air. Sebab itu, penguatan kesadaran dan komitmen ekologis kolektif untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air demi kemaslahatan bersama merupakan sebuah keniscayaan.
Literasi Fikih Air
Menabung air sesungguhnya mudah dilakukan, karena mayoritas warga bangsa ini bisa melakukannya. Namun, diperlukan literasi dan edukasi fikih air, fikih kebencanaan, dan fikih mitigasi dalam rangka memahami hukum, siklus, fungsi, karakter, strategi, dan manajemen pendayagunaan air secara optimal dan fungsional.
Literasi fikih air dan fikih kebencanaan sangat penting untuk transformasi budaya positif, bergaya hidup penuh manfaat dan maslahat, dengan optimalisasi fungsi sumber daya air untuk kehidupan. Sumber daya air dapat dipastikan bernilai positif; tidak hanya untuk bersuci, tetapi juga untuk memenuhi segala kebutuhan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan.
Dampak global warming (pemanasan global) mulai dirasakan hampir seluruh negara di dunia. Di tanah air, kita merasakan perubahan cuaca ekstrem dari panas menyengat, lalu tetiba turun hujan lebat. Topan, badai, angin puting beliung, tanah longsor, banjir, banjir rob, silih berganti melanda negeri ini, sehingga banyak korban berjatuhan, sekaligus berdampak pada ketahanan pangan nasional.
Kerusakan ekosistem di daratan dan lautan itu umumnya disebabkan kebijakan, perlakuan, dan perbuatan salah manusia (human error) terhadap alam (QS Ar-Rum [30]: 41). Oleh karena itu, dalam mengarifi sumber daya air diperlukan perubahan sikap dan budaya positif. Alquran menggambarkan turunnya hujan itu sebagai kabar gembira dan kedatangan rahmat-Nya. Air hujan harus disyukuri dengan dikelola, ditabung dengan dialirkan ke bendungan, sumur resapan, biopori sebagai bank air, sekaligus dimanfaatkan untuk berbagai kemaslahatan hidup bersama. (QS al-A’raf [7]: 57-58)
Dalam konteks ini, kita harus mengambil pelajaran dan mensyukuri rahmat-Nya. Literasi fikih air penting diorientasikan kepada pengembangan budaya ekologis konstruktif dengan menabung air dan membuat sebanyak mungkin bank air, karena Allah SWT sesungguhnya telah menjadikan air itu “menetap” di bumi dan menyimpannya.
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. al-Hijr/15: 22) “Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya.” (QS. al-Mukminun/23: 18)
Jika air hujan “tidak menetap”, tidak tersimpan dalam tanah karena tidak ditabung, lalu meluap dan berubah menjadi banjir atau mengalir semua ke laut, maka boleh jadi karena kita kurang mengamalkan literasi fikih air bagaimana seharusnya air itu menetap (meresap dan ditabung dalam tanah) dengan baik?
Dalam pemanfaatan sumber daya alam, manusia cenderung serakah, eksploitatif, dan banyak merusak ekosistem dengan melakukan penebangan pohon, pembalakan liar, alih fungsi lahan-lahan produktif menjadi bangunan dan jalan-jalan beton, membuang sampah tidak pada tempatnya, dan tidak memperbaiki drainase berikut aliran sungai. Akibatnya, air hujan yang diturunkan Allah itu tidak dapat diserap dan disimpan dalam tanah, lalu meluber dan membanjiri pemukiman penduduk.
Gema
Pesan moral Alquran tersebut juga mengisyaratkan pentingnya membuat bendungan, sumur resapan, biopori, menanam pohon, dan sebagainya. Optimalisasi fungsi bumi sebagai reservoir (tempat menyimpan dan menabung) air juga sangat urgen, agar pada musim kemarau krisis air tidak terjadi.
Dengan reboisasi, reforestasi (penghutanan kembali), dan regulasi tata kota/desa berwawasan lingkungan, go green, tidak semua air hujan mengalir dan terbuang ke laut melalui sungai-sungai, tetapi bisa diserap dan disimpan oleh akar-akar pepohonan yang rindang. Ayat tersebut juga mendorong adanya regulasi terkait konservasi sumber daya air dan penegakan hukum bagi perusak lingkungan alam.
Konservasi air, bukan kapitalisasi air oleh para pebisnis, penting dikampanyekan berbasis literasi fikih air tersebut. Gerakan Menabung Air (Gema) idealnya menjadi gerakan nasional yang menyadarkan semua pihak untuk berkontribusi dalam konservasi sumber daya air. Karena air itu tidak hanya untuk diminum, digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, dan bersuci, tetapi juga untuk pengembangan sistem pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya.
“…. dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).” (QS al-Anfal [8]: 11)
Dengan Gema, mindset positif akan terbentuk bahwa air itu merupakan amanah dari Allah yang harus dikelola, disyukuri, ditabung, dihemat, disedekahkan, dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya. Idealnya Indonesia menjadi pengekspor air ke negara-negara padang pasir, jika mampu memanfaatkannya secara optimal.
Melalui Gema idealnya dapat ditumbuhkan kearifan ekologis dalam mengelola, memanfaatkan, menabung, menghemat, dan mensyukuri rahmat air. Literasi fikir air juga menyerukan pesan Tuhan: “Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur?” (QS al-Waqi’ah [56]: 68-70)
Kita semua harus tergerak untuk menyukseskan Gema agar potensi musibah banjir dapat diminimalisir. Krisis air bersih dan kekeringan di berbagai wilayah tanah air tidak berimplikasi kepada krisis pangan, pusonya lahan pertanian dan holtikultura, konflik sosial akibat rebutan sumber air, naiknya harga air minum dan air bersih.
Melalui Gema, belajar berhemat dan menabung air harus menjadi pilihan bijak dan disiplin postif untuk masa depan anak cucu. Sudah saatnya setiap RT/RW, kelurahan, dan desa memiliki lahan terbuka hijau, sumur resapan, dan biopori yang difungsikan sebagai reservoir dan bank air. Indonesia yang beriklim tropis sudah waktunya menjadi pusat bank air kehidupan.
Gema dapat diaktualisasikan secara efektif, apabila semua warga bangsa memiliki kesadaran ekologis kolektif bahwa Gema merupakan budaya konstruktif, ramah air, sekaligus merupakan langkah strategis dan efektif untuk menyelamatkan bumi dan umat manusia dari ancaman banjir dan/atau kekeringan, krisis pangan, dan krisis kemanusiaan.