Generasi Tanpa Tapak
Tantan Hermansah
PERADABAN manusia dibangun oleh seseorang yang menghasilkan jejak. Jejak ini yang kemudian bisa dipelajari hari ini pola dan metodenya. Sehingga dari jejak tersebut manusia saat ini bisa melipat waktu untuk menguasainya, tanpa harus langsung mengalami proses panjang sebagaimana generasi sebelumnya.
Setiap jejak yang telah menghasilkan pola dan model, yang kemudian setiap lempengan sejarahnya, diperbaiki dari hari ke hari untuk menemukan yang terbaik dari perspektif keberlanjutan kemanusiaan. Maka dari itu jangan heran jika apa yang kita lakukan hari ini, sebetulnya didasarkan pada beragam pengalaman masa lalu yang kemudian diperbaiki agar menemukan efisiensi dan kebaikan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Apa yang dilakukan oleh Nabi Adam AS sampai Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, juga orang-orang besar lainnya, selalu mengerucut kepada dua hal: memastikan keberlanjutan tatanan sosial, serta menjaga dari perilaku destruktif orang-orang yang justru berpotensi mematahkan peradaban.
Demokrasi, misalnya, sejak dirumuskan sebagai dasar dari tata kelola kehidupan manusia bernegara, merupakan kumpulan dari rekaman sejarah bagaimana manusia membangun, mengembangkan dan merawat kekuasaan untuk mencapai kehidupan bersama yang lebih baik. Selain itu, demokrasi juga merupakan sistem yang memastikan bahwa dengan kekuasaan yang digenggam itu, peradaban bisa dilanjutkan antargenerasi. Di antara nilai-nilai demokrasi adalah mengembangkan jejak-jejak baik dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian ditabung menjadi beragam prestasi.
Tapak ini kemudian bisa diandalkan untuk proses menjadi seorang pemimpin masyarakat banyak, beragam latar belakang dan kepentingan, yang terhimpun dalam sebuah kata bangsa. Bangsa bukan hanya sekumpulan orang yang karena kekuasaan, kemudian mendesain seenaknya masa depan masyarakat. Bangsa adalah imajinasi ideal di mana setiap orang bisa berhimpun dan memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk menjadi seseorang. Inilah yang kemudian disebut sebagai merit sistem, di mana setiap orang berkesempatan sama untuk menemukan kesejatian hidupnya.
Namun hari ini, kita justru dihadapkan pada persoalan esensial dari kata bangsa dan demokrasi yang sudah lama dijadikan pijakan berkehidupan ini. Persoalan ini muncul karena esensi dari berkebangsaan dan berdemokrasi hancur berantakan karena ketidak-adaan merit sistem tersebut.
Kehancuran terjadi karena mereka yang mendapatkan kekuasaan, malah menggunakan amanah rakyat ini untuk memuluskan kepentingan sekumpulan kecil orang yang “haus” untuk terus menggenggam kekuasaan. Akibatnya, mereka yang menapaki alur karier kehidupan dari bawah melalui suatu kompetisi yang adil harus melongo mengingat ada orang-orang yang bukan hanya diberikan kartu pass dan jalan tol kosong, tetapi bahkan juga karpet merah.
Tentu saja ini bukan hanya merusak sistem, bahkan lebih jauh menghancurkan pola kaderisasi serta sistem demokrasi itu sendiri. Mereka yang disorongkan untuk mengisi sistem yang rusak ini bisa disebut sebagai “generasi tanpa tapak”.
Generasi tanpa tapak mengacu pada individu yang mendapatkan pengakuan dan keuntungan hanya karena hubungan keluarga atau kedekatan dengan kekuasaan politik, bukan berdasarkan bakat atau prestasi pribadi. Beberapa penyebab munculnya generasi tanpa tapak antara lain: pertama, ketidakmerataan peluang.
Terjadinya ketidak merataan peluang karena sistem yang tidak adil dalam mengakses kesempatan. Misalnya dalam pendidikan, pekerjaan, serta modal sosial-kultural, sehingga memberi ruang bagi ketidakberpihakan dan nepotisme. Kedua, budaya nepotisme. Di mana nepotisme merupakan tantangan tersendiri, karena budaya keluarga yang kuat atau kultur politik yang korup mendorong praktik perekrutan berdasarkan hubungan keluarga atau persahabatan.
Nepotisme adalah benteng penutup yang menghalangi sistem demokrasi yang didasarkan pada merit sistem tadi. Ketiga, ketidaktahuan dan kesadaran. Masih banyak dari kita yang tidak menyadari akan pentingnya meritokrasi dalam membangun masyarakat yang adil dan maju.
Dengan model meritokrasi, maka siapapun akan diposisikan setara dan memiliki kesempatan yang sama juga. Konsekuensi dari eksisnya generasi tanpa tapak pada masa mendatang akan muncul ketidakpuasan publik—terutama kepada siapapun yang kemudian mendaki kekuasaan. Bahkan bisa jadi masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada, karena dalam persepsi mereka, semua raihan yang mereka capai diperoleh melalui tata cara dan mekanisme yang tidak adil.
Di sisi lain, Generasi tanpa tapak mungkin tidak mampu menciptakan inovasi dan ketahanan ekonomi yang diperlukan untuk pertumbuhan berkelanjutan. Sebab kehadiran mereka tidak jarang bukan karena terasah oleh suatu ekosistem yang bisa membuat seseorang menjadi tangguh, tetapi karena dikatrol oleh kekuasan. Secara sosiologis, masalah generasi tanpa tapak bisa mengakibatkan pengkaderan yang tidak kompeten di dalam pemerintahan, yang berimbas pada penurunan kualitas dan efisiensi dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan negara. Harus disadari bahwa penting untuk menciptakan generasi yang mampu berprestasi dengan kemampuan dan kompetensi mereka sendiri.
Oleh karena itu, sistem pembangunan sejatinya diarahkan secara terfokus pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, melalui proses dan mekanisme yang berkeadilan. Para pemangku kebijakan harus mendesain sistem kokoh, yang menutup celah dan ruang generasi tanpa tapak menggeser proses yang elegan dan adil serta berkeadaban.
Sehingga jikapun seseorang yang merupakan bagian dari suatu lingkaran keluarga tertentu, kemudian menapaki jenjang karier kepemimpinan tertentu, seperti politik misalnya, mereka bisa dipastikan sebagai "generasi bertapak". (Fnh)
Tantan Hermansyah adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com pada hari Rabu, 15/11/2023 dengan judul "Generasi Tanpa Tapak", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2023/11/15/05410721/generasi-tanpa-tapak