Generasi Tanpa Tabungan

Generasi Tanpa Tabungan

Dr. Tantan Hermansah
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakar

Berita di Kompas.com (27/07) menyebut bahwa mayoritas Gen-Z Indonesia tidak memiliki tabungan.

Bagi sebagian orangtua, fakta ini mungkin menggelisahkan. Namun bagi saya, ini justru menarik untuk diselami lebih dalam—sebagai gejala zaman, sekaligus potret pergeseran cara berpikir generasi.

Apa yang kita sebut “tabungan”, selama ini diasosiasikan secara sempit: uang yang disimpan di bank, emas batangan, properti, atau investasi yang punya nilai tetap atau berkembang.

Sebuah kebiasaan lama yang mengakar pada frasa: hemat pangkal kaya. Tabungan dianggap simbol kehati-hatian, kemapanan, bahkan kedewasaan.

Namun, Gen-Z tampaknya tidak ikut dalam laku ini. Mereka tidak terlalu peduli apakah ada saldo mengendap atau tidak. Mereka lebih sibuk menyimpan hal lain—yang kasat mata, tapi tak kalah berharga.

Secara ontologis, tabungan bukan sekadar kumpulan rupiah yang dikunci dalam rekening. Dalam kajian aset, kita mengenal dua jenis: aset berwujud (tangible) seperti rumah, kendaraan, uang; dan aset tak berwujud (intangible) seperti kepercayaan, reputasi, pengalaman, jejaring sosial.

Dan di sinilah letak perbedaan Gen-Z. Mereka lebih tertarik menyimpan yang kedua ketimbang yang pertama.

Bagi Gen-Z, tabungan berarti data, kredibilitas digital, dan impresi sosial. Mereka menabung dalam bentuk pengaruh—followers yang stabil, rekam jejak kolaborasi, konten yang terus dibagikan ulang.

Mereka menyimpan energi dalam bentuk keterlibatan, bukan pengendapan. Dan ini bukan semata urusan gaya hidup; ini adalah strategi jenius untuk bertahan di zaman yang tidak menjanjikan kestabilan.

Mereka sepertinya hadir bukan sebagai generasi yang berangkat dari warisan. Bahkan banyak dari mereka ingin berjarak dari cara hidup orangtuanya.

Mereka mengibarkan bendera untuk tidak ingin sukses karena titipan. Mereka ingin berhasil karena pencapaian yang otentik. Benar-benar mereka raih dengan tangannya sendiri.

Maka dari itu, mereka memilih jalan baru: investasi pada pengalaman, bukan simpanan. Mereka keluar dari jalur aman nyaman, dan memilih jalur berliku dengan cara memperbesar modal sosial dengan cara yang unik.

Sebagai contoh, kita bisa menemukan ada sepasang suami istri konten kreator yang viral karena perjalanannya menjelajah pedalaman dan tempat-tempat baru di Indonesia dengan modal sendiri.

Tentu, sebelumnya ia tidak punya tabungan bank yang besar. Namun, ia punya ratusan ribu penonton yang setia mengikuti ceritanya.

Apa yang diperolehnya dari “internet” ia konversikan lebih banyak untuk menyambung ragam cerita dan pengalamannya. Bahkan sepertinya, mereka sudah memiliki kewajiban tersendiri untuk “melayani” kebutuhan cerita dari para pengikutnya.

Tentu saja, fakta ini bisa membuat kita berpikir lama. Seperti mengkonfirmasi asumsi bahwa “mereka bukan tidak menabung (uang/barang); mereka hanya menabung dalam bentuk lain”.

Kita terbiasa mengukur masa depan dari seberapa besar yang bisa disimpan hari ini. Dan mereka menganggap nyaman jika semakin besar simpanan/tabungannya, semakin aman masa depannya.

Namun, bagi Gen-Z, masa depan dibangun dari seberapa luas pengalaman yang mereka reguk sekarang. Mereka tak menunggu pensiun untuk menikmati hidup.

Justru hidup harus dinikmati dulu, baru kemudian dipikirkan bagaimana membuatnya berkelanjutan.

Apakah ini bijak? Tentu bisa diperdebatkan. Namun, tak bisa kita pungkiri bahwa sistem dunia kerja hari ini pun tak lagi menjanjikan pensiun yang pasti.

Maka Gen-Z memilih jalan yang lebih liquid, lebih fleksibel, tapi tetap logis menurut cara berpikir mereka.

Kita boleh tidak setuju, tapi kita tak bisa menyangkal bahwa mereka telah menemukan cara lain untuk bertahan—dan, dalam beberapa kasus, berkembang.

Mereka belajar bahwa dunia ini terlalu cepat untuk hanya duduk menyimpan. Mereka ingin bergerak, mencoba, dan jatuh bangun, sambil membentuk dirinya dari pengalaman yang nyata.

Namun tentu, ada batas yang tetap harus dijaga. Tanpa kemampuan mengelola, hidup yang terlalu cair akan berisiko tak punya dasar.

Maka tugas generasi sebelumnya bukanlah memaksa Gen-Z mengikuti jejak lama, tapi membantu mereka membangun kesadaran baru tentang makna menyimpan—bahwa menabung bukanlah menahan diri dari hidup, tapi mempersiapkan hidup agar terus bisa dinikmati.

Jadi jika hari ini mereka belum punya tabungan, tentu saja kita tidak perlu panik. Justru kita bisa melihat mereka baik-baik, karena bisa jadi mereka sedang menabung dalam bentuk yang belum kita pahami. Kita tunggu saja.

Kita boleh tidak setuju, tapi kita tak bisa menyangkal bahwa mereka telah menemukan cara lain untuk bertahan—dan, dalam beberapa kasus, berkembang.

(Artikel ini telah dipublikasikan di kompas.id pada Rabu, 30 Juli 2025)