Generasi Tanpa Empati Sosial

Generasi Tanpa Empati Sosial

Tantan Hermansah

 

MINGGU ini, panggung kehidupan kita kembali koyak moyak. Kasus mahasiswa ITB yang memilih mengakhiri hidup di Bandung (Kompas, 21/11), bukan sekadar tragedi pribadi dan keluarganya. Apa yang terjadi adalah refleksi mendalam tentang kondisi sosial kita hari ini. Di balik peristiwa ini, tersimpan pesan penting tentang ruang sosial modern yang semakin sarat tekanan dan minim empati.

Tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan tuntutan eksistensial menciptakan atmosfer kompetitif yang seringkali membuat individu merasa sendirian, terasing, dan tanpa sandaran. Perasaan ini, ketika terus dibiarkan, dapat melahirkan keputusasaan yang berujung pada tindakan fatal. Kasus mahasiswa bunuh diri bukan yang pertama. Jika kita melakukan ‘search’ di laman media online saja dengan kata kunci 'mahasiswa bunuh diri', terdapat puluhan halaman yang membahas peristiwa tersebut.

Ini menunjukkan masalah tersebut begitu serius untuk didalami agar bisa dimitigasi. Emile Durkheim (1858-1917), dalam karyanya "Le Suicide", menegaskan bahwa bunuh diri bukan hanya persoalan individu, melainkan fenomena sosial. Ia memperkenalkan konsep bunuh diri egoistik. Konsep ini menjelaskan apa yang terjadi ketika individu merasa terlepas dari jaringan sosialnya.

Keterikatan sosial yang lemah membuat seseorang kehilangan makna dan tujuan hidup. Mereka merasa tidak lagi menjadi bagian dari komunitas, bahkan mungkin merasa bahwa keberadaannya tidak berarti bagi orang lain. Ketiadaan integrasi inilah yang menciptakan jurang kesepian mendalam, seperti yang mungkin dirasakan oleh mahasiswa tersebut.

Gemerlap kehidupan modern yang memesona juga membawa sejumlah ironi; sebab ketika konektivitas teknologi semakin tinggi, akses ke destinasi wisata dan tempat-tempat relak semakin mudah, tetapi isolasi sosial semakin nyata.

Teknologi memang telah banyak mempertemukan beragam hal, tapi juga telah mempartisi banyak harapan sosial manusia. Lalu ditemukannya media sosial, yang seharusnya mendekatkan, justru seringkali memperparah perasaan kesepian. Di dunia maya, kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, sementara realitas pribadi kita terasa jauh dari ideal.

Lalu ditemukannya media sosial, yang seharusnya mendekatkan, justru seringkali memperparah perasaan kesepian. Di dunia maya, kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, sementara realitas pribadi kita terasa jauh dari ideal.

Gap ini kemudian memantulkan beragam hasrat bagi seseorang untuk melakukan visualisasi yang sama di media sosial tersebut; namun juga kecemasan karena pada hati terdalamnya, yang terjadi hanyalah kamuflase dan penampilan-penampilan palsu penuh editan.

Akhirnya tekanan untuk "tampil baik" menambah beban psikologis, menciptakan ruang sosial penuh tekanan yang kian menekan mental individu. Kampus, yang sejatinya menjadi ruang belajar dan bertumbuh, justru sering berubah menjadi arena kompetisi yang melelahkan dan mengasingkan.

Namun, keterasingan bukanlah fenomena baru. Sejak awal peradaban, manusia selalu berjuang melawan rasa sepi dan kecemasan akan keberadaannya. Setiap era memiliki tantangan sosialnya sendiri.

Namun, satu hal yang tetap konstan adalah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kebersamaan dan dukungan. Kecemasan manusia akan "terpisah" dari komunitasnya sama tuanya dengan peradaban itu sendiri.

Daniel Goleman dalam buku Social Intelligence (2006) menjelaskan fenomena sosial manusia, bahkan di level saraf. Di mana saraf tersebut memiliki kesadaran sosial (Social Awareness) yang muncul dalam bentuk kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, meliputi empati, pemahaman terhadap isyarat sosial, dan kemampuan untuk "membaca" emosi orang lain; serta kecakapan sosial (Social Facility) dalam bentuk kemampuan untuk merespons secara efektif dalam interaksi sosial, yang mencakup keterampilan komunikasi, kemampuan mengelola hubungan, serta keterampilan memengaruhi atau memimpin.

Lantas, dari Durkheim dan Goleman tersebut apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya terletak pada upaya kita bersama dalam membangkitkan kembali empati sosial.

Kita harus membangun kembali jembatan kebersamaan yang mungkin telah luruh dan mulai hilang. Empati bukan sekadar tindakan belas kasih; sebab ini adalah fondasi kehidupan sosial yang sehat.

Di lingkungan kampus, nilai-nilai solidaritas harus dihidupkan dan diperkuat kembali. Sistem pendidikan harus menekankan pentingnya kolaborasi, bukan hanya kompetisi. Mahasiswa harus diajak untuk saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.

Empati juga harus menjadi bagian dari kebijakan institusional. Pusat konseling kampus harus diperkuat dan mudah diakses, bukan hanya sebagai formalitas.

Dosen dan tenaga pendidik perlu diberdayakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal tekanan psikologis pada mahasiswa. Lebih dari itu, setiap individu—baik mahasiswa, dosen, maupun masyarakat luas—perlu membangun budaya saling peduli.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang sosial yang lebih manusiawi. Mulai dari tindakan sederhana seperti mendengarkan tanpa menghakimi, menyapa dengan tulus, atau sekadar menunjukkan bahwa kita peduli.

Perasaan "dilihat" dan "didengar" bisa menjadi penyelamat bagi mereka yang tengah berjuang dalam kesepian. Akhirnya, kita harus memahami bahwa setiap individu adalah bagian dari jaringan sosial yang saling terhubung. Jika satu bagian menderita, maka seluruh sistem akan terdampak.

Menghidupkan kembali empati sosial bukan sekadar solusi bagi individu yang terasing, melainkan langkah penting untuk memperkuat fondasi masyarakat kita secara keseluruhan. Saatnya kita bergerak bersama, menciptakan ruang sosial yang penuh kehangatan, agar tidak ada lagi jiwa yang merasa sendirian di tengah hiruk-pikuk dunia ini. (zm)

 

Penulis adalah Pengajar Sosiologi Perkotaan, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Kompas.com, Ahad 24 November 2024.