GEGAWAN

GEGAWAN

KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA

  Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”

Gegawan itu bukan gegaman. Bukan juga begawan. Pun bengawan (sungai). Gegawan yang paling mudah dipahami adalah antaran. Namun bagi orang Betawi Parung Bingung dan sekitarnya, gegawan khusus diberikan kepada calon besan, sehari atau dua hari sebelum keluarga calon mempelai laki-laki berombong membesan ke calon mempelai perempuan.

Gegawan termasuk salah satu rangkaian tradisi pernikahan dalam masyarakat Betawi Pinggir, khususnya Depok. Rangkaian pertama adalah lamaran. Perempuan Betawi yang sudah dilamar istilahnya sudah digambrengin. Tujuan melamar adalah untuk "nandain", biasanya dengan cincin. Pada saat lamarin ini tempo-tempo dibarengi dengan "bawain duit" dari pihak laki-laki untuk pihak perempuan.

Tapi adakalanya, melamar atau nandain itu tidak langsung bawain duit, sesuai keluasan dan kesiapan pihak laki-laki, bisa dilakukan beberapa bulan berikutnya. Yang menarik, apabila dari pihak laki-laki bawain duit lengkap dengan makanan dan buah-buahan terbaik, pihak perempuan harus memberi "kue bebacot" yang nanti harganya ditaksir lalu dibayar oleh pihak laki-laki. Kue bebacot inilah yang dibagikan kepada keluarga dekat.

Jenisnya bisa dodol, uli, rangkambang, wajik, geplak. Namun bisa juga lauk pauk seperti gurame super, ayam paling besar, atau semur daging betawi yang potongannya besar-besar. Bagi orang Betawi, daging yang disemur adalah daging kerbau. Bedanya dengan daging sapi, daging kerbau lebih keras, seratnya lebih banyak, lebih tahan lama. Namun yang terpenting adalah lebih memenuhi syarat dan tradisi.

Tradisi ini memang terkesan ombol (boros), saling antar makanan, kue, dan buah-buahan. Tapi kalau dibaca pada konteks zamannya, tradisi ini semacam pemberitahuan bahwa anak perempuan si anu sudah ditandai oleh anak laki-laki si anu, begitu juga sebaliknya. Tujuannya, untuk mengikat perempuan dan si laki-laki juga tidak boleh lagi pindah ke lain hati. Karena itu di Parung Bingung dan sekitarnya ada istilah "perempuan yang sudah diikat". Istilah agamanya dikhitbah.

Sesuai dengan kesepakatan pada saat khitbah atau bawain duit, acara pernikahan dilangsungkan di rumah calon pengantin perempuan. Pernikahan ini biasanya dibarengi dengan hajatan. Hajatan adalah istilah lain untuk sedekah, keriaan atau pesta untuk zaman sekarang. Nah, orang tua pihak perempuan biasanya naggap film, orkes, lenong, wayang, atau juga cokek. Kalau punya "kudangan", harus ditanggap yang sesuai dengan kudangan tersebut.

Lalu kapan gegawan itu diserahkan? Gegawan diserahkan sebelum hajatan atau "arian rame" di rumah calon mempelai perempuan. Barang-barang yang biasa dibawa sebagai gegawan adalah barang mentah. Beda dengan yang dibawa pada saat lamaran dan kue bebacot. Gegawan itu, misalnya ayam hidup, ikan hidup, ikan asin, pisang raja, sayuran mentah, bumbu dapur, kuali, kukusan, pane, dangdang, dan lain-lain. Seingat saya, yang tidak boleh dibawa itu terasi.

Semua yang dibawa ini tujuannya untuk membantu orangtua calon mempelai perempuan menyiapkan perasmanan buat besan. Perlu diketahui, orang Betawi Depok itu kalau pergi besan yang ikut bisa ratusan. Inilah maksud gegawan terus dipelihara. Kendati usai akad nikah, dari pihak laki-laki memberikan tambahan "uang masak" sebagai hadiah. Yangt terakhir memang benar-benar uang yang nominalnya bisa sampai jutaan rupiah. Sesuai kemampuan dan kemauan.

Gegawan biasanya diantar oleh ibu-ibu tua. Seperti emak gede kita atau nenek. Ada beberapa orang lanang juga yang diajak. Tujuannya, buat menemani ngobrol dan basa-basi. Zaman dulu gegawan dipikul, ditarik gerobak, sekarang diangkut pick-up. Saya pernah ikut antar gegawan sekitar 1997, walaupun saya masih terhitung muda saat itu. Yang lucu, kayu bakar juga ikut dibawa. Termasuk sirih dan gambir. Saya tanya, Anda pernah antar gegawan. (sam)