Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., PhD

 

Dunia menatap Sharm El-Sheikh, Mesir. Di sana, pemimpin dari berbagai negara berkumpul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian untuk Gaza, membicarakan masa depan wilayah yang selama dua dekade terakhir menjadi luka terbuka dunia Islam, dan sekaligus luka nurani kemanusiaan global.

Indonesia hadir melalui Presiden Prabowo Subianto, membawa pesan penting: diplomasi Indonesia tetap berpihak pada kemanusiaan dan keadilan bagi rakyat Palestina.

Di forum itu, presiden menegaskan kembali prinsip yang sejak lama menjadi napas politik luar negeri kita: mendukung penyelesaian dua negara dan rekonstruksi Gaza berbasis rakyat, bukan kekuasaan.

Namun, setiap konferensi perdamaian selalu menyisakan dua wajah: wajah harapan dan wajah skeptisisme.

Harapan, karena akhirnya dunia kembali berbicara tentang Gaza bukan dalam konteks perang, melainkan pemulihan.

Skeptisisme, karena pengalaman mengajarkan bahwa perjanjian damai sering berhenti di podium, sementara penderitaan di lapangan terus berlangsung.

Pertanyaan moralnya sederhana: setelah gencatan senjata, apa yang akan menyatukan Gaza kembali? Apakah KTT ini akan menjadi awal dari kedaulatan sejati, atau sekadar babak baru dari post-occupation yang ditulis dengan wajah berbeda?

Dalam laporan Council on Foreign Relations (CFR) minggu ini, para analis menilai bahwa hasil KTT Sharm El-Sheikh “memberikan peta jalan yang ambisius namun tanpa peta pelaksanaan yang jelas.”

Banyak janji, sedikit mekanisme.

Gaza masih berada di antara politik global dan penderitaan lokal di antara kepentingan ekonomi dan kebutuhan kemanusiaan yang tak sabar menunggu.

Dari Gencatan ke Keadilan

Secara sosiologis, gencatan senjata hanya menghentikan kekerasan, tetapi belum memulihkan keadilan.

Sebagaimana ditulis Émile Durkheim lebih dari seabad lalu, perdamaian sejati hanya mungkin terjadi jika “norma sosial bersama” dipulihkan.

Gaza kehilangan bukan hanya rumah dan infrastruktur, tetapi kepercayaan pada tatanan dunia yang adil.

Makalah akademik Yinon Amir (Queen’s University Belfast, 2024) menyebut Gaza kini berada dalam situasi post-occupation trap: wilayah yang secara formal merdeka, namun masih tergantung pada struktur kekuasaan eksternal dari ekonomi, logistik, hingga keamanan.

Artinya, masa depan Gaza bergantung pada siapa yang memegang kendali atas udara, laut, dan distribusi barang.

KTT Sharm El-Sheikh memang membahas pemulihan ekonomi dan bantuan kemanusiaan, tetapi belum menjawab satu hal paling mendasar: apakah rakyat Gaza akan benar-benar memiliki kedaulatan politik?

Selama itu belum jelas, perdamaian hanya akan menjadi jeda yang rapuh.

Dalam perspektif Islam, adl (keadilan) adalah fondasi perdamaian.

Tanpa keadilan, rekonsiliasi menjadi basa-basi. Al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din menulis, “Negara berdiri di atas keadilan sebagaimana bangunan berdiri di atas pondasinya.”

Keadilan, dalam konteks Gaza, bukan sekadar tidak ada perang, tetapi adanya hak untuk menentukan nasib sendiri, haqqul istikhlal.

Keadilan juga berarti membuka ruang bagi warga Gaza untuk memimpin sendiri rekonstruksi negerinya.

Sejarah mengajarkan bahwa pemulihan yang didikte dari luar betapapun niatnya baik akan kehilangan legitimasi sosial.

Francis Fukuyama, dalam State Building (2004), menegaskan: “Tidak ada pembangunan yang tahan lama tanpa kepemilikan lokal terhadap prosesnya.”

Gaza perlu membangun bukan hanya gedung, tapi lembaga kepercayaan.

Karena, seperti dikatakan Habermas dalam The Theory of Communicative Action, legitimasi sosial lahir dari komunikasi jujur antara rakyat dan penguasa.

Jika rakyat Gaza tidak dilibatkan dalam dialog masa depan mereka sendiri, maka gencatan senjata hanyalah jeda menuju krisis baru.

Rekonstruksi dan Ketimpangan Harapan

Kerusakan fisik Gaza hampir total. Studi pemantauan satelit (InSAR damage mapping, 2025) menunjukkan lebih dari 70% bangunan rusak berat.

Infrastruktur dasar rumah sakit, sekolah, pipa air nyaris lumpuh.

KTT Sharm El-Sheikh menjanjikan dana rekonstruksi dari berbagai lembaga internasional dan negara donor, termasuk paket $53 miliar dari Liga Arab yang disampaikan sebagai dukungan terhadap “rekonstruksi bermartabat.”

Namun, pengalaman pasca-perang di tempat lain (Suriah, Irak, Lebanon) menunjukkan bahwa rekonstruksi tanpa tata kelola transparan sering menjadi sumber korupsi baru.

Di sini, diperlukan bukan hanya dana, tapi standar moral dan institusional.

Amartya Sen dalam Development as Freedom menulis, “Pembangunan sejati adalah pembebasan manusia dari ketakutan dan ketergantungan.”

Kalimat itu mengingatkan bahwa pembangunan bukan hanya urusan angka dan proyek, tetapi urusan kepercayaan dan kebebasan.

Dalam konteks Islam-sosial, rekonstruksi Gaza harus berpijak pada maslahah (kemaslahatan umum) kebijakan yang membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang.

Pendekatan ini menuntut keseimbangan antara kemanusiaan dan kedaulatan, antara ekonomi dan etika.

Sebagai akademisi, saya percaya rekonstruksi yang berkelanjutan memerlukan ekologi keadilan sosial: keterlibatan kampus, lembaga pendidikan, dan civil society internasional dalam membangun pengetahuan, bukan hanya infrastruktur.

Indonesia dapat mengambil peran penting di sini: melalui kerja sama universitas Islam, bantuan pendidikan, dan riset bersama untuk pembangunan sosial pasca-konflik.

Bagi UIN, misalnya, kerja sama riset lintas kampus bisa diarahkan pada topik post-conflict healing, spiritual resilience, dan community rebuilding karena luka perang tidak hanya di tubuh, tetapi di jiwa.

Diplomasi Moral dan Solidaritas Indonesia

Kehadiran Presiden Prabowo di KTT Sharm El-Sheikh memiliki makna simbolis sekaligus strategis.

Simbolis, karena menunjukkan komitmen Indonesia untuk berdiri bersama rakyat Palestina.

Strategis, karena memperkuat posisi Indonesia sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia yang konsisten menyerukan perdamaian berbasis keadilan, bukan kekuasaan.

Namun, diplomasi Indonesia akan bernilai lebih jika ia membawa narasi moral, bukan sekadar posisi politik. Dalam sejarah Islam, diplomasi bukanlah transaksi kepentingan, tetapi amanah peradaban tabligh al-haq (menyampaikan kebenaran).

Indonesia bisa menjadi jembatan antara moralitas Timur dan pragmatisme Barat dalam menyusun tata dunia yang lebih manusiawi.

Di forum KTT, kehadiran negara seperti Indonesia sangat dibutuhkan untuk mengingatkan bahwa perdamaian tanpa nilai hanyalah kesepakatan sementara.

Sebagaimana ditulis Karen Armstrong dalam Fields of Blood (2014), kekerasan dalam sejarah manusia sering muncul bukan karena agama, tetapi karena kehilangan makna moral di dalam politik.

Dalam konteks itu, Indonesia perlu menghidupkan kembali diplomasi moral diplomasi yang berani mengedepankan nilai rahmah, adl, dan ukhuwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).

Kita tidak harus menjadi negara kuat untuk berpengaruh; cukup menjadi negara yang konsisten dalam moralitasnya.

Sebagaimana Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulum al-Din, “Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani; dan agama tanpa keadilan adalah kemunafikan.”

Kedua pesan itu, ketika dibawa dalam diplomasi, menjelma menjadi kekuatan lunak (soft power) yang tidak dimiliki banyak negara.

Refleksi: Jalan Sunyi Menuju Perdamaian

Masa depan Gaza tidak akan ditentukan oleh satu konferensi, tapi oleh komitmen moral dunia.

KTT Sharm El-Sheikh memberi harapan, tetapi harapan itu harus dijaga dengan kerja keras dan kesungguhan.

Gaza memerlukan bukan hanya dana rekonstruksi, tapi juga rekonstruksi moral menata ulang makna hidup setelah kehilangan, menumbuhkan kembali harapan setelah kehancuran.

Rakyat Gaza telah menunjukkan ketabahan yang luar biasa; sekarang giliran dunia untuk menunjukkan empati yang nyata.

Bagi Indonesia, ini bukan hanya soal politik luar negeri, tapi ujian spiritualitas kebangsaan: apakah kita mampu menerjemahkan solidaritas ke dalam tindakan?

Apakah kampus-kampus kita akan ikut mengirim pengetahuan dan bantuan kemanusiaan?

Apakah umat kita akan memelihara empati di tengah keletihan berita?

Saya percaya, seperti api kecil di tengah reruntuhan, harapan Gaza akan terus menyala selama ada orang-orang yang menolak menyerah pada sinisme.

Karena sebagaimana ditegaskan Paulo Freire dalam Pedagogy of Hope (1992): “Harapan bukan menunggu keajaiban, tetapi bertindak agar keajaiban menjadi mungkin.”

Dunia telah menatap Gaza dengan mata sedih selama terlalu lama.

Sekarang waktunya menatap dengan mata tanggung jawab.

Dan bagi Indonesia, tanggung jawab itu sederhana tapi besar: menjadi suara bagi yang bisu, menjadi teladan bagi yang letih, menjadi cahaya di antara diplomasi yang dingin.

Perdamaian bukan sekadar absen perang; ia adalah hadirnya keadilan.

Dan keadilan bagi Gaza, bagi dunia hanya akan hidup jika nurani masih berani bicara. 

Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway.id, Jumat, 17 Oktober 2025