Gaya Hidup Bersih-Sehat
Oleh : Dr Arief Subhan Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Jika membaca kitab-kitab fiqh, bab pertama yang dibahas adalah bab tentang bersuci (taharah). Dalam tradisi Islam, bersuci diprioritaskan menggunakan air kecuali tidak ditemukan air. Demikian pentingnya air, peradaban Islam masa lalu, memanfaatkan aliran air "air mancur” sebagai bagian sentral estetika taman-taman yang dibangun yang salurannya terhubung ke masjid-masjid. Kota-kota seperti Cordoba dan Granada, sedikit di antara kota yang terpengaruh peradaban Islam di Andalusia, terdapat banyak taman dengan air yang mengalir sebagai estetika dominan. Saluran-saluran air juga banyak ditemukan di Damaskus, Fez, Kairo, dan Baghdad. Air dan “bersuci” (“taharah”) merupakan dua hal tak terpisahkan.
Konsep “suci” ditetapkan sebagai syarat dalam menjalankan ibadah. Bersuci itu mengandung pengertian tidak memiliki hadas (keadaan tidak suci atau kotor). Islam membagi hadas dalam dua bagian besar, yaitu “hadas besar” dan “hadas kecil”. Setiap akan menunaikan ibadah shalat rawatib (shalat 5 waktu, atau ibadah-ibadah lain) seorang Muslim disyaratkan tidak berhadas, atau dalam kondisi bersih dan suci, yaitu tidak ada najis yang melekat pada tubuhnya. “Suci” yang maksud adalah mengenakan pakaian yang bersih, tidak kotor dan najis, dan sekali lag tidak punya hadas.
“Hadas besar” dihilangkan dengan mandi yang disebut dengan “mandi besar” (ghusl janabah) yang berarti jauh, yaitu terjauhkan dari ibadah. Perintah untuk mandi besar setelah berhubungan badan, atau bahkan hanya “mimpi basah”, dan termasuk mandi bagi perempuan setelah haidz dan nifas, hanya ditemukan sebagai perintah wajib dalam Islam (QS 4: 43). Karena hanya dengan itu, Muslim diperbolehkan menunaikan ibadah. Sedangkan hadas kecil, dihapuskan dengan berwudlu, yaitu membersihkan bagian-bagian tubuh seperti wajah, tangan, telinga, bagian-bagian rambut dan kaki. Sebanyak 5 kali sehari setiap Muslim harus menunaikan ibadah shalat, dan sebanyak itu pula Muslim harus membersihkan dirinya dari hadas kecil.
Berdasarkan itu, beberapa poin berikut mendapatkan argumen yang kuat. Pertama, pendapat banyak sarjana bahwa tradisi mandi, dan gosok gigi (siwaq) dan termasuk bersuci menggunakan air merupakan tradisi khas masyarakat Muslim. Kedua, dorongan kuat islam kepada pengikutnya untuk selalu menjaga kebersihan—bahkan terdapat ungkapan yang sangat populer di kalangan Muslim Indonesia, yaitu “al-nadhafah min al-iman” [kebersihan merupakan bagian dari ekspresi keimanan]. Ketiga, paradigma Islam bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Ini bukan hanya dorongan bagi Muslim untuk tidak berputus asa, tetapi juga dorongan untuk selalu melakukan riset dalam bidang pengobatan.
Bagaimana dengan pencegahan penyakit? Ada juga ayat-ayat yang memberi peringatan bahwa “perut merupakan sumber utama penyakit” (al-ma’idat bait adda’). Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntunan, baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw., yang berkaitan dengan makanan, baik jenis maupun kadarnya. Pertama, al-Quran juga mengingatkan, makan dan minum agar jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-A’raf [7]: 31). Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh anak-anak Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya” (H.R. Al-Tirmidzi).
Kedua, al-Qur’an melarang Muslim makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut mengandung “rijs” (kotor, tidak bersih). Termasuk di dalamnya adalah makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (QS Al-An’am [6]: 145). Pendeknya, makanan yang sehat adalah makanan yang halal. Banyak ulama dan sarjana yang berpendapat bahwa jenis makanan mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (w. 1232 M), sebagaimana dikutip Quraish Sihab (Wawasan Al-Qur’an, 1996: 200) berpendapat “rijs” mengandung pengertian “keburukan budi pekerti dan kebobrokan moral”. Dia menyimpulkan, mengkonsumsi makanan yang termasuk “rjis” akan berpengaruh pada perilaku.
Kaum Muslim sudah seharusnya berada di barisan terdepan dalam “bergaya hidup bersih sehat”. Apalagi Nabi saw secara langsung memberikan pelajaran kepada kaum Muslim. Diawali dengan perintah untuk membangun mindset hidup bersih dan sehat, berupaya keras mencegah penyakit, memelihara kesehatan pribadi (antara lain dengan kebersihan kulit, kuku, rambut, mata, pakaian), pengaturan makan dan minum, kebersihan rumah dan lingkungan, kebersihan udara, bergerak (olahraga) dan istirahat yang cukup.
Di tengah pendemi dunia yang disebabkan Covid-19 (Corona Virus Disease 2019), tidak ada salahnya kaum Muslim mengingat kembali doktrin Islam tentang “gaya hidup bersih-sehat” di atas—dengan terus meningkatkan ibadah kepadaNya. Dan tentu saja juga dengan kembali pada paradigma ketiga di atas, yaitu tidak boleh putus asa dan selalu berusaha melalukan riset untuk menemukan obatnya.
(sam/mf)