Filosofi Silaturahmi

Filosofi Silaturahmi

Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara etimologis, silaturahmi dan silaturahim adalah dua kata yang semakna. Kedunya berasal dari bahasa Arab yang berarti jalinan kasih sayang, hubungan kasih sayang, dan yang semakna dengan keduanya. Silaturahim lebih sering diucapkan dalam kegiatan keagamaan dan karena itu terasa lebih sakral. Sedangkan silaturahmi adalah kata serapan yang keluar dari lidah orang Indonesia yang bermakna persaudaraan dan persahabatan.

Secara ontologis, silaturahim adalah bahasa agama untuk menunjukkan jalinan kasih sayang di antara sanak saudara yang masih ada hubungan darah. Seperti anak kepada orangtua, adik kepada kakak, keponakan kepada paman, cucu kepada kakek-nenek. Sedangkan silaturahmi adalah bahasa pergaulan yang sudah menjadi bahasa Indonesia dan diserap dari bahasa Arab. Kata ini menujukkan makna persaudaraan dan persahabatan yang dibangun melintasi batas hubungan darah.

Bentuk-bentuk silaturahmi adalah halal bi halal warga pada suatu kampung. Reunian sekolah atau pesantren. Buka puasa barsama teman sekantor. Bahkan komunikasi melalui grup media sosial dapat dikatakan sebagai sebuah jalinan silaturahmi.

Sejatinya, makna tertinggi silaturahmi adalah untuk memenuhi kebutuhan batin manusia yang tidak ingin merasa sepi, terasing, dan jauh dari sanak keluarga. Jalinan kasih sayang merupakan nutrisi hati yang mampu memotivasi hidup dan bekerja secara lebih produktif. Mudik ke kampung halaman dimotivasi oleh semangat silaturahmi ini. Manusia yang resah dan kering-kerontang jiwanya dapat melakukan terapi silaturahmi.

Secara epistemologis, dalil tentang silaturahmi dapat ditemui dalam al-Qur’an dan hadits. Artinya, sumber pengetahuan yang dapat dirujuk untuk melaksanakan silaturahmi dapat menggunakan metode bayani. Metode bayani menjelaskan persoalan silaturahmi dari ayat-ayat al-Qur’an yang diperjelas oleh ayat lain, atau ayat al-Qur’an yang diperjelas oleh hadits Nabi SAW, atau hadits Nabi SAW yang diperjelas oleh hadits Nabi SAW yang lain.

Misalnya, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menjalin silaturahmi” (HR. Bukhari). Tentang makna silaturahmi dalam hadits ini, diperjelas oleh Nabi SAW dalam hadits yang lain. Umpamanya, “Orang yang menjalin silaturahmi bukanlah orang yang membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang sama, namun orang yang menjalin silaturahmi adalah orang yang menjalin kembali silaturahmi yang sempat terputus” (HR. Bukhari).

Dalam hadits Nabi SAW yang lain, diungkapkan juga mengenai balasan bagi pemutus silaturahmi, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari).

Secara aksiologis, terdapat banyak manfaat silaturahmi. Kalau diperhatikan dari hadits-hadits di atas, manfaat silaturahmi terbagi dua. Pertama, manfaat dalam kehidupan dunia seperti dilapangkan rezeki. Ini terjadi karena adanya komunikasi dan interaksi sehingga ada tukar-menukar pikiran (gagasan), barang, dan jasa. Begitu pula manfaat dipanjangkan umur, baik secara harfiah yang berarti umurnya memang benar-benar panjang, maupun secara maknawi yang berarti hidupnya berkah kendati umurnya tidak panjang.

Kedua, manfaat dalam kehidupan akhirat berupa dimasukkan ke dalam surga oleh Allah SWT. Pemahaman seperti ini didasarkan atas sabda Nabi SAW, “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, jalinlah silaturahmi, shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah). Jadi, tunggu apalagi mari kita silaturahmi.(sam)

Terbit juga di Jurnal Depok