Filantropi Islam dan Civil Society
Bulan Ramadhan, tidak ragu lagi, merupakan puncak dari realisasi filantropi, kedermawanan, dalam masyarakat Muslim. Tidak mengherankan, Ramadhan merupakan salah satu momen puncak yang berlangsung sebulan penuh untuk peningkatan amal ibadah. Bukan hanya ibadah puasa, tetapi juga untuk ibadah yang bersifat filantropis, yang diwujudkan dalam berbagai bentuknya, sejak dari memberi makanan berbuka bagi kalangan masyarakat Muslim yang membutuhkannya sampai kepada berbagai bentuk kedermawanan lainnya.
Filantropisme Islam juga jelas mencapai puncaknya dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Sesuai dengan ajaran tentang puasa sebagai salah satu bentuk solidaritas kepada kaum dhuafa, fakir miskin, dan orang-orang tidak beruntung lainnya, pada bulan Ramadhan terjadi peningkatan signifikan zakat, infak, sedekah, dan semacamnya. Bulan Ramadhan secara konvensional merupakan waktu bagi Muslimin yang sudah berlebih rezeki untuk menghitung dan mengeluarkan zakat maal, zakat hartanya. Bahkan, mereka yang hidup pas-pasan juga berusaha memberikan sedekah atau bahkan zakat maal. Tentu, di sini perlu disebut zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum Idul Fitri.
Tren filantropisme Islam di Indonesia jelas terus meningkat, seiring dengan peningkatan taraf peningkatan ekonomi kaum Muslim. Memang, jumlah pengumpulan ZIS per tahun masih jauh jari potensi sekitar Rp 20 triliun per tahun yang sering disebut lembaga-lembaga filantropi Islam Indonesia. Peningkatan realisasi filantropisme Islam itu mendorong kemunculan kian banyak lembaga pengumpul dan pendistribusi dana filantropisme Islam. Kredibilitas dan akuntabilitas tentu saja merupakan modal paling pokok bagi lembaga seperti itu. Sekali lembaga filantropi kehilangan trust dari masyarakat Muslim, ia segera kehilangan pamornya.
Peningkatan filantropisme Islam sangat terkait dengan bangkit dan bertambahnya kelas menengah Muslim. Janine A Clark dalam Islam, Charity, and Activism: Middle-Class Networks and Social Welfare in Egypt, Jordan, and Yemen (Bloomington: Indiana University Press, 2004) mencatat, meningkatnya filantropisme Islam pada ketiga negara Muslim tersebut berkaitan dengan menguatnya kelas menengah Muslim yang sering juga disebut sebagai petit bourgeoisie, borjuis kecil.
Mereka ini berbeda dengan kaum borjuis kecil di masa silam yang terutama adalah para pedagang, perajin, dan juga petani. Kini, kelas menengah itu juga para dosen, birokrat, dokter, wartawan, dan penulis, bahkan perwira menengah. Kelas menengah baru ini segera bergabung dengan kelas menengah lama, membentuk pool yang kian kuat bagi filantropisme Islam.
Gejala yang sama juga terdapat dalam lapisan kelas menengah di Indonesia; kaum borjuis kecil baru di kalangan Muslim Indonesia mulai terbentuk sejak 1980-an. Para sarjana Muslim dengan segera memasuki berbagai sektor kehidupan, baik birokrasi pemerintahan maupun sektor swasta. Mereka ini segera pula mendapatkan kemapanan. Seiring dengan peningkatan attachmen> mereka kepada Islam, mereka pun segera menjadi tulang punggung kebangkitan filantropisme Islam Indonesia.
Berbeda dengan Islam Indonesia yang sejak masa penjajahan Belanda bersifat independen vis-a-vis negara, di Timur Tengah kebangkitan kelas menengah Muslim menjadi tantangan yang riil bagi negara. Memang, sejak masa Turki Usmani sampai terbentuknya negara modern pasca-Perang Dunia II, negara begitu kuat di Timur Tengah; negara menguasai seluruh kehidupan Islam, termasuk filantropisme Islam. Negara sepenuhnya menguasai filantropisme Islam, khususnya wakaf. Setelah masuk kas negara, kemudian baru didistribusikan kembali untuk berbagai kepentingan masyarakat, yang pada gilirannya membuat masyarakat tergantung pada negara. Hal ini paling jelas terlihat dalam kelembagaan wakaf Al Azhar Kairo yang dinasionalisasi Presiden Gamal Abdel Naser pada awal 1960-an.
Karena itulah, kebangkitan kelas menengah baru di Timur Tengah dewasa ini tidak hanya berujung pada peningkatan jumlah dana filantropi yang dikelola lembaga-lembaga non-pemerintah, tetapi juga mendorong peningkatan aktivisme sosial politik melawan pemerintah. Kelambanan pemerintah merespons kebutuhan dasar masyarakat dhuafa membuat aktivisme semakin menemukan lahannya yang subur di dalam masyarakat bawah.
Gejala seperti ini tentu saja tidak terjadi di Indonesia. Islam Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam hal independensi vis-a-vis negara. Dan, negara juga tidak memiliki pretensi untuk menguasai dan mengontrol sumber-sumber filantropis untuk kepentingan politik para penguasa. Inilah juga yang perlu disyukuri umat Islam Indonesia ketika memandang negara-bangsa Indonesia.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 18 September 2008