Fenomena Baru Imigran Muslim di Negara Barat
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Murad W Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam bukunya “Religion on the Rise, Islam in the Third Millennium”, menggambarkan mobilitas migran muslim ke negara-negara Eropa dan Amerika memberikan dampak hegemoni sosial-politik, mengingat Islam adalah sistem ajaran komprehensif yang menuntut loyalitas penuh kepada penganutnya.
Negara-negara setempat tentu akan menerapkan sistem hukum ketatanegaraan yang ketat terhadap para migran muslim. Hoffman sendiri secara pribadi menjadi bagian dari fenomena ini, karena ia sebagai warga asal Belgia masuk Islam lalu mengawini seorang perempuan muslim berketurunan Turki. Bahkan ia kini lebih banyak tinggal di Turki.
Di tengah krisis ekonomi yang melanda negara-negara muslim Timur Tengah menimbulkan pro-kontra terhadap kehadiran imigran muslim. Satu sisi, kehadiran mereka sebagai tenaga kerja murah diperlukan oleh dunia usaha yang sedang lesu, tetapi pada sisi lain disadari akan membawa dampak sosial budaya yang bakal merepotkan masyarakat dan pemerintah setempat.
Para pemilik perusahaan mendapatkan poin keuntungan dengan kehadiran kelompok imigran muslim ini, karena mereka dapat memberi gaji hanya sekitar 60 persen dari seharusnya 100 persen kepada warga masyarakat setempat. Pada sisi lain masyarakat setempat, selain merasa terancam dengan kehadiran imigran muslim juga mendapatkan perlakuan tidak nyaman dengan kehadiran mereka.
Lihat saja di setiap bandara dan di tempat-tempat umum, di mana-mana ada X-ray untuk memeriksa ketat setiap orang, termasuk harus membuka sepatu, jas, dan rangsel mereka, saat memasuki bandara, suatu hal yang dulu tidak pernah dialami sebelum peristiwa pengeboman AS tahun 1993.
Di negara menjadi tujuan imigran muslim telah lahir generasi kedua mereka yang tetap beragama Islam (the western-born and the second-generation muslim).
Dari manapun dan di manapun komunitas Islam itu berada, selalu menciptakan lingkungan sosial unik, karena mereka memiliki simbol-simbol perekat (melting pot) berupa mesjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak mereka, dan majelis taklim untuk para orang tua.
Dari satu sisi, keterikatannya dengan negara asal sangat kuat karena tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dari negerinya tetap dijalin. Bahkan secara periodik tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan.
Pada sisi lain, generasi kedua muslim ini dituntut oleh negeri baru ini untuk memberikan loyalitas penuh sebagaimana halnya warga lainnya yang lahir di negeri tersebut.
Dilema muncul karena secara emosional dan spiritual warga muslim masih tetap terikat dengan negeri asal, tetapi secara hukum ketatanegaraan setempat mengharuskan mereka sepenuhnya loyal kepada negaranya.
Kenyataan umat Islam di “negara kedua” ini membayar pajaknya kepada negara di mana mereka berdomisili, tetapi zakat harta mereka umumnya dikembalikan ke negeri asalnya, bahkan di antara mereka masih menyerahkan binatang kurban dan kambing ‘aqikah ke negeri asalnya.
Sebagian juga masih membangun rumah di negeri asal, termasuk dana yang dikumpulkan diinvestasikan ke negeri asalnya. Imigram muslim dianggap menyedot kekayaan negeri keduanya ke negeri asal mereka.
Fenomena menarik ini juga dianalisis oleh Oliver Roy dalam karya the best seller-nya, “Globalised Islam”. Dia menganalis pola diversity dan uniformitas, juga kehidupan individu dan masyarakat warga imigran muslim di Barat.
Ia juga menyebut imigran muslim stateless, bagaikan tidak berkewarnegaraan khusus. Bagaimana mereka menyiasati kehidupan di barat yang tidak sekondusif menjalankan syari’ah Islam ketika di negeri asalnya.
Mereka harus menyesuaikan lingkungan kerja dan lingkungan ibadah, mencarikan jalan keluar terhadap pendidikan agama yang tidak boleh diajarkan anak-anak di sekolah, juga penguburan mayat di luar standar kebiasaan negeri barunya.
Roy menilai fenomena ini memberikan gambaran pluralisme masyarakat imigran muslim di negara-negara maju. Satu sisi mereka sebagai warga negara dunia Barat, tetapi genetik dan warisan karakter mereka masih tetap lengket dengan tradisi ketimuran dan keislamannya.
Kondisi seperti ini berpotensi menimbulkan masalah politik kenegaraan, karena pada satu sisi mereka harus loyal ke negeri kelahirannya (Eropa atau Amerika), tetapi saat bersamaan mereka juga dituntut harus loyal terhadap sistem nilai keagamaan yang melekat pada dirinya sebagai warisan luhur dari para orang tua mereka.
Sepanjang dalam mengimplementasikan kedua nilai tersebut tidak timbul masalah maka eksistensi imigran muslim itu tidak ada masalah. Situasi akan menjadi lain jika terjadi disharmoni antara keduanya, seperti yang sering terjadi di negara-negara Eropa. Imigran muslim ramai-ramai kembali ke negeri leluhurnya untuk menunaikan Lebaran Idul Ftri atau pada saat libur panjang anak-anak mereka.
Dampak dan fenomena imigran muslim di dunia Barat sudah banyak dikaji oleh para peneliti, termasuk penulisan buku “Religion and Immigration” yang disusun oleh YY Haddad dan Jane I Smith, John L Esposito.
Dalam buku ini diuraikan lebih mendalam oleh tim editornya, termasuk mengamati fenomena masalah individu muslim dalam kehidupan bermasyarakat. Secara individu ia seorang muslim yang taat, tetapi secara kebangsaan mereka akan bergaul dengan anggota masyarakat yang selama ini sistem politik, agama, dan kepercayaannya berbeda, bahkan cenderung dipertentangkan.
Pengalaman di Prancis, pemerintah merasa perlu menetapkan regulasi khusus kepada para imigran, terutama kepada imigran muslim. Seperti kita tahu, masyarakat Prancis cenderung menghindari mempunyai anak, karena sebagian warga menganggapnya memberikan banyak beban, terutama beban hukum.
Pemerintah terpaksa harus beriklan untuk memberikan bonus menarik kepada warganya yang mau melahirkan.
Sebaliknya, imigran muslim dari Afrika mantan negara jajahannya seperti Aljazair, Tunisia, Mesir, Maroko, Algeria, dan lain-lain, hampir-hampir tidak mengenal Keluarga Berencana, sehingga banyak di antara keluarga mereka di Prancis memiliki anak lebih dari 10 anak. Ini tentu bisa menjadi bumerang dalam jangka panjang bagi Prancis.
Sumber: rm.id, 23, 24, 25 Januari 2022. (sam/mf)