FDI Lebih Fokus pada Tafaqquh Fiddin
Anda baru saja dikukuhkan sebagai Dekan FDI. Apa saja yang akan Anda lakukan untuk mengembangkan FDI ke depan?
Pertama, kita akan lakukan analisis SWOT, yakni kekuatan, kekurangan, peluang dan tantangannya seperti apa. Selama sekitar tiga bulan saya menjabat sebagai pejabat sementara di FDI, saya sudah merekam semuanya. Dari sekian masalah itu saya melihat, pertama, promosi FDI perlu terus ditingkatkan. Kedua, mempertahankan mutu sesuai dengan awal kelahiran FDI, yakni untuk tafaqquh fiddin (pendalaman agama) dengan berbasis bahasa Arab yang kuat dengan mengacu kepada model Al-Azhar di Kairo. Ketiga, kita perkuat konsolidasi ke dalam, seperti memperkuat staf dan juga menata struktrur serta fungsi-fungsi ortala. Semua kita jalankan dengan sebaik-baiknya, infrastruktur yang ada kita mafaatkan penggunaannya. Kita ingin membangun image building, membangun citra FDI sebagai lembaga tafaqquh fiddin di Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di Indonesia.
Sementara itu, kita juga punya sumberdaya manusia memadai, seperti para tenaga dosen lulusan Timur Tengah. Kita juga memperkuat shalat berjamaah untuk menghidupkan atsmosfir relijius dan tahfizhul Qur’an. Setiap Jumat ada tahfizul qur’an dan praktik bahasa Arab sehari-hari. Selain itu, kita optimalkan fungsi Lab Bahasa yang kita miliki. Dari sisi fisik, gedung FDI mungkin lebih kecil dibandingkan dengan gedung-gedung fakultas yang ada di UIN Jakarta, tapi dari sudut infrastruktur seluruh ruangan ber-AC. Kita juga punya perpustakaan memadai dengan koleksi 5.000 eksemplar dan sekitar 1.500 judul.
Bagaimana dengan program kerja sama, khususnya dengan universitas di Timur Tengah?
Sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi kepada tafaqquh fiddin, FDI juga terus mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, khususnya Timur Tengah. Misalnya dengan Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Mesir. Nah, dengan semua itu arah kita membangun immage building untuk manjadikan FDI sebagai fakultas yang unggul dan terdepan dalam tafaqquh fiddin yang berbasis kepada penguatan bahasa Arab. Ini yang menjadi inti pengembangan FDI.
Konon, setelah IAIN berubah menjadi UIN, Menteri Agama Maftuh Basyuni sempat mengkhawatirkan terjadinya pengurangan peminat di bidang agama. Tanggapan Anda?
Menteri Agama memang sempat mengkhawatirkan dengan berubahnya IAIN menjadi UIN maka agama akan berkurang. Untuk menghilangkan kekhawatiran itu, beberapa waktu lalu saya bertemu dengan sejumlah pemimpin pondok pesantren dan saya katakan bahwa tafaqquh fiddin ada di FDI di mana semua mahasiswa dan dosennya berbahasa Arab. Kita juga mengemban misi bagaimana UIN Jakarta bisa memberi akses seluas-luasnya kepada kalangan dunia pesantren. Ini sudah dimulai oleh Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan lewat kebijakan program afirmatif dengan memberikan beasiswa kepada para calon mahasiswanya hingga tamat belajar. Kebijakan yang sama juga rencananya akan diberlakukan di FDI. Belum lama ini kami menerima surat dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama untuk segera mengajukan nama-nama mahasiswa FDI untuk mendapatkan beasiswa sampai tamat.
Nah, untuk menopang semua itu kita akan membangun sebuah Ma’had atau pesantren. Ini prioritas sehingga FDI punya kesempatan mengembangkan tahfizhul Qur’an dan tafaqquh fiddin tadi. Jadi, tafaqquh fiddin menjadi inti pengembangan FDI sehingga khawatiran masyarakat, termasuk Menteri Agama, tidak lagi terjadi. FDI inilah sebagai bemper terdepan UIN Jakarta di bidang tafaqquh fiddin.
Selama ini memang ada orang-orang yang secara tidak realistik melihat UIN Jakarta sebagai kampus sekuler dan cenderung liberal. Namun faktanya hal itu tidak ada, termasuk di FDI sendiri. Yang ada justru sebaliknya, minat masuk FDI semakin tinggi. Contohnya, pada penerimaan calon mahasiswa baru jalur PMDK kemarin (tahun akademik 2009/2010), peminat ke FDI termasuk yang paling banyak atau tiga kali lipat jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Guna mengembangkan FDI ke depan jelas dibutuhkan juga anggaran yang tidak sedikit. Bagaimana dengan soal itu?
Soal anggaran sudah disampaikan ke pihak rektorat. Pihak rektorat sudah memahami bahwa ke depan anggaran FDI tidak berbasis kepada kuota mahasiswa tetapi lebih kepada analisis kebutuhan. Sebagai contoh, kalau dulu, misalnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, punya mahasiswa 4.000 dikali sekian rupiah lalu jumlahnya sekian dan itu milik Tarbiyah, tapi sekarang tidak seperti itu. Duit itu bukan milik fakultas tapi milik universitas. Dengan pola seperti itulah maka fakultas-fakultas kecil akan mendapatkan manfaat. Karena itu kita di sini sedang mencoba mengeksplorasi program-program yang mengarah kepada visi-misi dan immage building tadi.
Pada awal kelahirannya, FDI didirikan dengan bekerja sama dengan Universitas Al-Azhar Kairo. Lantas bagaimana tindaklanjut kerja sama itu sekarang?
Saya sudah bertemu dengan Duta Besar Mesir di Jakarta untuk membicarakan soal kelanjutan kerja sama antara UIN Jakarta/FDI dengan Universitas Al-Azhar. Beliau sangat merespon dengan baik dan meminta agar agenda ke depan disampaikan. Setelah itu mereka akan pelajari dan akan membantu. Saya juga sudah bertemu Duta Besar Indonesia untuk Mesir sewaktu di Jakarta. Kita akan merumuskan konsep-konsep yang sesuai kebutuhan. Contoh kita akan mendatangkan dosen (native speaker) dari Mesir, tapi bukan kita yang bayar. Sebab, mana mungkin kita mampu membayar 2.500 dolar per bulan untuk satu native speaker. Selain itu, kita juga akan mengembangkan program magang di kedubes-kedubes negara-negara Timur Tengah di Jakarta.
Di samping itu, kita juga akan mengembangkan kerja sama dengan dunia pesantren, misalnya Pesantren Darul Qalam, Balaraja, Tangerang; Pesantren Darunnajah Ulujami, Jakarta Selatan; dan Pesantren Darul Muttaqin, Parung. Dengan kalangan pesantren kerja sama itu diharapkan, pertama, agar pesantren mensuplai calon mahasiswa untuk masuk FDI. Kedua, menjadikan pesantren sebagai tempat magang. Ketiga, bantuan dari kita sendiri, misalnya dalam bidang pengembangan pengajaran bahasa Arab di pesantren.
Apa ada kebijakan baru dari pihak Al-Azhar?
Ya saya dengar memang ada perubahan-perubahan kebijakan, karena di Al-Azhar ada dua pemegang kata putus, yakni mufti dan rektor. Mufti lebih konsentrasi ke bidang dakwah. Kalau dakwah biasanya tidak selalu keras (biasa-biasa) dalam bidang akademinya. Perubahannya akan kita lihat lalu kita bagaimana mengambil sikap yang pas. Karena nanti sebelum perpanjangan MoU ditandatangani kita akan pelajari dulu subtansinya agar benar-benar sesuai dengan visi kita, terutama dari segi penganggaran. Sebab, UIN Jakarta sebagai perguruan tingggi negeri terikat oleh standar-standar birokrasi. Kalau swasta mungkin yang penting ada uangnya. Kita akan kemukakan ini hal-hal yang sifatnya kondisisional objektif. Kalau tidak, tidak akan jalan.
Waktu MoU dulu kita nggak tahu, dan pada saat ditindaklanjuti kita kaget karena harus membayar 2.500 dolar untuk menggaji dosennya. Untung saja ada dana dari Qatar sebesar 100 ribu dolar. Meski demikian, demi menjaga hubungan baik dengan Al-Azhar, kita tidak mempermaslahkan hal itu, yang penting uangnya ada. Tapi terus terang cara seperti itu tidak bisa berlanjut. Artinya kita akan lihat kemampuan kita. Bisa jadi kita menggunakan skema lain, misalnya dosen-dosen Al-Azhar dibiayai oleh pemerintah di sana, sehingga di sini kita tinggal menggunakannya. Atau mungkin ada kerja sama departemen agama dengan Pemerintah Mesir dalam pengiriman dosen. Karena saya mendengar kabar bahwa program-program Depag mendapatkan dosen-dosen dari Timur Tengah. Tapi itu kabarnya hanya untuk program S1, seperti perguruan tinggi-perguruan tinggi di Jawa Timur.
Soal kurukulum FDI, apakah juga masih Al-Azhar oriented?
Oya, selama ini kurikulum yang ada seperti di al-Azhar, karena istilah Dirasat Islamiyah juga dari Al-Azhar. Di dalamnya ada fiqih, fislafat, ilmu kalam, dakwah, dan hukum. Mahasiswa FDI nanti ber-takhassus sesuai peminatannya. Itu pola Al-Azhar, yakni studi Islam atau dirasat islamiyah. Tapi tentu kita akan sesuaikan dengan kebutuhan kita, karena FDI sasarannya tafaqquh fiddin, ahli dalam ilmu agama.
Orientasi lulusannya ke mana saja?
Pertama, madrasah-madrasah yang punya pesantren. Kedua, sekolah-sekolah internasional atau unggulan. Ketiga, kalau dia mau jadi guru (PNS) juga bisa, misalnya melalui program pendidikan sertifikasi guru. PP Nomor 74 Tahun 2007 telah mengisyaratkan bahwa semua lulusan sekarang bisa jadi guru. Jadi walaupun tamatan fakultas tarbiyah atau kependidikan tidak lantas otomatis jadi guru. Hanya bedanya, kalau tamatan kependidikan dia harus mengikuti pendidikan profesi guru selama kurang lebih setengah tahun atau setara dengan 22 sks sampai 30 sks. Sementara untuk non-kependidikan selama satu tahun atau setara dengan 40 sks. Soalnya Akta IV sekarang sudah dihapus. Jadi, lulusan FDI itu bisa menjadi guru, pimpinan pesantren, atau melanjutkan studi di luar negeri.
Apa perbedaan mendasar antara FDI dengan fakultas agama-fakultas agama lain di UIN Jakarta?
Perbedaannya, jika misalnya di Fakultas Adab dan Humaniora, kata pengantarnya bukan bahasa Arab. Dari sisi keilmuan memang mendalami literatur-literatur Arab juga, tapi di FDI selain mendalami literatur juga komunikasi sehari-harinya berbahasa Arab, termasuk dalam perkuliahan di kelas.*