Enigma Pencapresan di 2024

Enigma Pencapresan di 2024

Gun Gun Heryanto

 

Proses pengusungan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu 2024 bukanlah perkara mudah, terutama bagi seluruh partai politik yang sedang menghitung peluang mereka di kekuasaan mendatang.

Pola acak kongsi politik membuat seluruh elite utama partai politik berhati-hati mengambil keputusan. Enigma adalah kata yang tepat menggambarkan situasi saat ini.

Semua kekuatan berhitung potensi figur yang akan dimajukan, skema komunikasi dan negosiasi yang sifatnya aksi-reaksi di antara partai-partai politik yang akan bertarung, serta dinamika penerimaan publik.

Komunikasi politik elite

Michael Gallagher dan Michael Marsh di buku yang mereka edit, Candidate Selection in Comparative Perspective: The Secret Garden of Politics (1988), memberikan ilustrasi yang gamblang tentang rumitnya proses seleksi kandidat, yang disebutnya sebagai kebun rahasia politik (the secret garden of politics). Bisa jadi ilustrasi ini mengacu pada prosesnya yang sering kali menghadirkan enigma, sulit tersentuh publik, meski dramaturgi panggung depan kerap dipertontonkan ke khalayak luas.

Menarik mengidentifikasi sejumlah faktor mengapa proses pengusungan kandidat capres/cawapres jadi sangat kompleks dan menghadirkan enigma.

Faktor menentukan dalam proses pengusungan kandidat adalah relasi personal yang mewarnai komunikasi politik elite dalam pengusungan. Faktanya, partai di Indonesia secara umum masih bergantung pada figur. Misalnya, relasi personal Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebabkan rumitnya menyatukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan Partai Demokrat dalam satu kongsi.

Relasi personal jelang Pemilu 2024 ini bisa kita lihat dalam konteks hubungan Megawati dengan Surya Paloh (Partai Nasdem) yang merenggang meski partai mereka sama-sama menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Maju.

Saling sindir antara Surya Paloh dan Megawati soal diksi partai sombong, meski tak eksplisit menyebut nama, melihat konteks panggung komunikasi di antara keduanya sulit untuk mengatakan tidak ada hubungan aksi-reaksi di antara pernyataan mereka.

Penyebutan tiga nama, termasuk nama Ganjar Pranowo (kader PDI-P) di panggung Rakernas Partai Nasdem (17/6/2022), bisa memperkuat ketidaknyamanan komunikasi. Ini yang disebut oleh James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, Theories of Human Communication (1998) sebagai fenomena communication apprehension, yakni keengganan berkomunikasi yang disebabkan keadaan tertentu.

Namun, jangan terlalu prematur membuat simpulan. Bisa saja komunikasi antarpribadi mereka berubah arah ke pemahaman dan keuntungan bersama (mutual benefit) seiring munculnya simpul nama capres atau cawapres yang bisa menyatukan kekuatan dua partai ini dan menghadirkan kejutan.

Belajar dari fenomena Pilpres 2019, faktor relasi antarpribadi ini pula yang disinyalir menggagalkan Mahfud MD menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi) jelang diumumkan ke publik. Kejutan mengemuka di pengujung waktu pengusungan karena disinyalir ada keberatan dari beberapa elite utama partai penyokong Jokowi sehingga akhirnya pilihan harus beralih ke KH Ma’ruf Amin. Singkatnya, faktor dialektika relasional ini masih akan mewarnai proses pengusungan yang penuh kejutan.

Leslie Baxter dalam A Dialectical Perspective of Communication Strategies in Relationship Development (1988) menjelaskan dialektika relasional sebagai simpul kontradiksi hubungan antarpribadi yang membuat proses interaksi cenderung saling menentang terus-menerus. Kondisi multipartai yang terfragmentasi dan cairnya pola hubungan kuasa politik di Indonesia menjadi pembeda. Komunikasi politik, terutama di antara elite utama, masih mungkin beru- bah dan menghadirkan banyak kejutan.

Keuntungan politik

Faktor lain yang menentukan adalah motif keuntungan dalam kekuasaan. Politik bukanlah matematika dan kerap tak berjalan linear. Di tahap pemunculan skema seperti sekarang, bisa saja banyak orang menghitung peluang besar terbentuknya empat poros pada Pilpres 2024.

Sebut saja poros pertama bisa dimotori PDI-P dengan memajukan nama Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Jika pun mengajukan keduanya menjadi paket pasangan, PDI-P tidak memiliki kendala di tahap pengusungan. PDI-P memiliki 128 kursi (22,26 persen) di DPR. Artinya, sudah melampaui syarat presidential treshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Poros kedua bisa dimotori Gerindra dengan 75 kursi (12,3 persen) dan PKB 58 kursi (9,6 persen). Jika kedua partai ini bergabung sudah 133 kursi atau 21,9 persen, bisa mengusung satu paket pasangan. Poros ketiga, dimotori Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), gabungan Partai Golkar (85 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19 kursi) dengan 148 kursi, sudah mengantongi satu tiket pencapresan.

Poros keempat, bisa dimotori oleh Partai Nasdem (59 kursi), Partai Demokrat (54 kursi), dan PKS (50 kursi). Jika mereka berkongsi dengan 163 kursi, bisa mengusung paket pasangan.

Akan tetapi, semua itu hitungan di atas kertas! Politik pengusungan paket capres dan cawapres justru lebih sering diwarnai oleh titik temu skema keuntungan dalam kekuasaan.

Idealnya Pilpres 2024 bisa menghadirkan lebih dari dua pasangan, tetapi pengonsolidasian kekuatan menjadi dua poros juga masih mungkin terjadi.

Misalnya, KIB meskipun sudah mendeklarasikan diri cukup lama, belum tentu benar-benar bisa mengusung pasangan calon. Mereka hingga saat ini belum memiliki nama dari internal partai masing-masing yang menjadi magnet elektoral. Jika tidak hati-hati mengelola komunikasi dengan timpangnya kepentingan dari ketiga partai yang berkongsi, sangat mungkin juga koalisi ini bisa bubar jalan atau mengayun (swing) ke pasangan yang diusung oleh poros lain.

Gerindra belum tentu mulus berkongsi dengan PKB, terutama jika di pengujung masa pengusungan akhirnya partai yang dipimpin Prabowo Subianto ini berkoalisi dengan PDI-P dan memajukan paket pasangan Prabowo-Puan. Koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS juga masih akan sangat ditentukan oleh nama capres dan cawapres yang bisa diterima semua. Nasdem sudah menyebut tiga nama, yakni Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Berkongsi dengan PKS dan Demokrat tentu harus menegosiasikan tiga nama tersebut yang paling bisa diterima mereka sekaligus membuka ruang kemungkinan siapa cawapresnya, mengingat Partai Demokrat juga sudah pasti berkehendak mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono.

Yang jelas, di Pemilu 2024, partai yang teramat sulit berkongsi itu hanyalah PDI-P dengan Demokrat dan PKS. Selain itu juga PKS akan sulit berkongsi dengan Gerindra karena hambatan psikopolitis pasca-Pilpres 2019 dan konstelasi pengisian jabatan wakil gubernur DKI yang ditinggalkan Sandiaga Uno.

Semua partai politik sangat memahami bahwa salah satu keuntungan jika memiliki wakil partai mereka di paket pasangan capres-cawapres biasanya akan turut mendongkrak perolehan suara partai di pemilu legislatif. Hal ini bisa kita lihat dari peningkatan suara Partai Gerindra dan PDI-P di dua pemilu terakhir, juga Partai Demokrat saat SBY menjadi capres pada Pemilu 2009.

Pengubah permainan (game changer) dalam proses pengusungan kandidat pada Pilpres 2024 masih akan diwarnai kiprah Megawati. Nama capres PDI-P yang akan ditentukan oleh Megawati sebagai pemilik hak prerogatif bisa mendinamisasi opsi-opsi yang akan diputuskan oleh poros-poros lain.

Nama Jokowi juga patut diperhitungkan sebagai bandul pengubah permainan. Meskipun dia tidak akan menyebutkan secara terbuka dukungannya pada satu nama, Jokowi sangat mungkin mengonsolidasikan kuasa politiknya untuk turut menaikkan daya tawar figur yang didukungnya.

Jokowi berkepentingan menjaga keberlanjutan ragam program yang sudah dilaksanakan dan dicanangkan di dua periode kekuasaannya.

Enigma pencapresan juga sangat mungkin diwarnai kelompok di balik layar yang memiliki kuasa ekonomi. Peran mereka kerap tak tampak di permukaan, tetapi terasa di gelanggang karena turut memiliki andil dalam skema pembiayaan dalam pemenangan.

Bonnie N Field dan Peter M Siavelis dalam tulisan mereka, Candidate Selection Procedures in Transitional Polities (2008), menegaskan seleksi kandidat sebagai salah satu fungsi penting partai. Tradisi dalam proses pemilihan kandidat jadi cerminan pelembagaan politik.

Proses ini sekaligus menjadi indikator di mana sesungguhnya lokus kekuasaan partai politik berada. Apakah masih bersifat oligarkis, feodal, dan transaksional, atau tidak. Partai politik harus berbenah dalam menyeleksi figur yang layak untuk meneruskan kepemimpinan nasional, bukan semata-mata ditentukan oleh selera pribadi elite utama. (zm)

Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute. Artikelnya dimuat dalam kolom opini KOMPAS, 12 Juli 2022.