Ekspresi Islam Indonesia
Ekspresi Islam Indonesia dalam dasawarsa terakhir menarik minat banyak peneliti, baik di dalam maupun luar negeri. Itu tidak lain karena munculnya berbagai gejala dan fenomena Islam Indonesia yang dalam hal-hal tertentu berbeda dengan perkembangan dan dinamika Islam pada masa-masa sebelumnya. Bahkan, di antara kecenderungan itu, bagi kalangan luar khususnya, sedikit mencemaskan.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam pembahasan buku Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008) yang diluncurkan bersama oleh CSIS dan Universitas Paramadina pada 26 Agustus 2008. Berasal dari Konferensi Tahunan ke-25 Indonesian Update yang diselenggarakan The Australia National University (ANU), Canberra, buku ini memuat 15 artikel panjang dari berbagai penulis--baik ahli Indonesia maupun asing--mencakup tiga tema besar: ''Ekspresi Kesalehan Personal'', ''Ekspresi Politik, Sosial, dan Hukum'', dan ''Ekonomi Islam''. Meski perspektif masing-masing boleh jadi berbeda satu sama lain dalam melihat kecenderungan perkembangan dan dinamika Islam Indonesia dalam masa 10 tahun terakhir, buku ini menampilkan pembahasan yang cukup komprehensif.
Tetapi, sekali lagi, dari perspektif luar, kecenderungan perkembangan Islam Indonesia dalam hal-hal tertentu mencemaskan. Greg Fealy dan Sally White, Indonesianis asal Australia, penyunting buku ini, dalam pengantarnya, misalnya, menulis, ''Persepsi-persepsi Barat tentang karakter dan peranan Islam di Indonesia telah bergeser secara dramatis dalam dasawarsa terakhir.'' Pergeseran itu adalah dari pandangan yang sebelumnya favorable sampai akhir 1990-an menjadi pandangan lebih skeptis dan pesimistis tentang masa depan Islam Indonesia. Banyak pengamat asing--dan juga ahli dalam negeri--yang mencemaskan apa yang mereka pandang sebagai bangkit dan meningkatnya tendensi radikalisme dalam Islam Indonesia.
Gejala meningkatnya radikalisme di kalangan Islam Indonesia itu, menurut Fealy dan White, terlihat dalam meletupnya kerusuhan-kerusuhan komunal di Ambon, Halmahera, dan Poso yang melibatkan Lasykar Jihad dan Lasykar Jundullah, misalnya. Dan juga, dengan meningkatnya postur Front Pembela Islam. Salah satu puncak dari peningkatan radikalisme itu adalah pengeboman di Bali pada Oktober 2003 yang diikuti tiga pengeboman lainnya di Indonesia. Karena itu, kalangan asing dan pengamat luar sering melihat Islam Indonesia juga dalam prisma radikalisme dan terorisme seperti juga mereka melihat dunia Islam secara keseluruhan.
Pandangan-pandangan seperti ini tidak mengejutkan. Saya juga sering menemukan persepsi dan pandangan serupa dari pengamat asing ketika mereka bertemu atau mewawancarai saya. Persepsi mereka secara tipikal dapat dikatakan cenderung memakai ''kacamata kuda'' dan sepihak. Persepsi dan pandangan semacam itu sering tidak disertai pertimbangan seimbang, baik dalam kasus-kasus tertentu maupun kaitan-kaitan di antara berbagai perkembangan dan dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan.
Misalnya, kekerasan komunal yang terjadi di Ambon, Halmahera, dan Poso--yang tentu saja telah berakhir beberapa tahun lalu. Konflik dan kekerasan komunal di tempat-tempat ini merupakan <I>interplay<I> di antara berbagai faktor yang berujung pada munculnya radikalisme, tidak hanya di kalangan Muslim Indonesia, tetapi juga di kalangan Kristen. Kemunculan kelompok-kelompok radikal kedua belah pihak--yang mengatasnamakan pembelaan terhadap agama masing-masing--mestilah juga dilihat dari kontes dan pertarungan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik, di mana agama datang kemudian sebagai legitimizing force belaka.
Lagi pula, radikalisasi yang berujung pada kekerasan komunal juga banyak terkait dengan kegagalan aparat keamanan, tidak hanya dalam melerai pihak-pihak yang bertikai, tetapi juga dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan tidak berpihak. Dalam situasi yang nyaris vakum, penegakan hukum menjadi gejala sosiologis yang tak bisa dielakkan jika kemudian muncul kelompok radikal yang menjalankan hukumnya sendiri. Dan, sekali gejala ini seolah dibiarkan, maka selanjutnya kian sulit dikontrol.
Karena itu, peran pemerintah dan penegak hukum menjadi sangat krusial sebagai pencegah terjadinya radikalisasi di kalangan umat beragama. Negara semestinya tidak tunduk kepada kekuatan-kekuatan radikal seperti itu sehingga ekspresi keagamaan tetap sesuai dengan ajaran agama yang menekankan toleransi, kerukunan, dan kedamaian.
Walhasil, jika negara bisa menegakkan otoritasnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan sebagian kecil ekspresi Islam Indonesia yang keras itu. Dalam pengamatan saya, Islam Indonesia tetaplah Islam ''jalan tengah'' (washatiyyah). Jika ada gejala radikalisme, itu bukanlah representasi Islam Indonesia secara keseluruhan. Karena itu, orang harus menghindari diri dari membangun persepsi--apalagi mengambil kesimpulan--yang tidak sesuai dengan karakter dan distingsi Islam Indonesia yang telah terbentuk selama berabad-abad dan tetap bertahan di tengah berbagai gejolak perubahan yang tidak selalu kondusif dan bisa mencemaskan.