Edukasi Mitigasi Bencana dan Muhasabah
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam beberapa bulan terakhir, bangsa kita dilanda musibah bertubi-tubi. Gempa bumi Cianjur, Garut, daerah lain, dan erupsi Semeru. Bencana alam ini tidak hanya berakibat jatuhnya rusaknya fasilitas umum, sarana pendidikan, rumah ibadah pemukiman, terhambatnya konektivitas akibat tanah longsor, jalan terbelah dan rusak, dan sebagainya, tetapi korban jiwa juga cukup banyak berjatuhan, termasuk korban bencana yang harus mengungsi dan tinggal sementara di barak-barak atau tenda-tenda dengan keterbatasan fasilitas dan kebutuhan pangan.
Fenomena bencana alam yang kerap melanda warga bangs aini tentu dapat dijelaskan dengan pendekatan saintifik. Misalnya, wilayah nusantara berada di wilayah cincin api (ring fire) yang potensial menyebabkan gempa, erupsi, tanah longsor, dan sebagainya. Akan tetapi, penjelasan ilmiah logis hanyalah memuaskan nalar intelektual, tidak memberikan ketenangan spiritual dan kemantapan sandaran vertikal kepada Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta. Karena itu, pemahaman fenomena bencana alam penting didekati dari perspektif spiritual dan moral (agama) melalui edukasi mitigasi bencana.
Edukasi mitigasi bencana menjadi sangat penting dilakukan oleh pihak terkait (pemerintah, Lembaga Pendidikan, organisasi sosial keagamaan, partai politik, LSM, dan sebagainya) untuk menumbuhkan kesadaran dan kesiapsiagaaan warga bangsa dalam menghadapi bencana. Edukasi mitigasi bencana diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban jiwa dan harta benda. Edukasi mitigasi bencana tidak hanya berupa penyampaian informasi dan penguatan kognisi warga masyarakat tentang pentingnya mengenali potensi ancaman terjadinya bencana alam, tetapi juga peneguhan sikap dan Langkah strategis yang harus dilakukan ketika terjadi bencana.
Edukasi Mitigasi Bencana
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ditegaskan bahwa penanggulangan bencana tidak hanya terpaku pada tahap darurat, tetapi juga mencakup tahap pra bencana dan pasca bencana. Undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana, maupun situasi terdapat potensi bencana.
Menurut UNICEF, dari hasil survei ditemukan sangat banyak satuan pendidikan atau peserta didik dan guru, yang terdampak akibat bencana alam. Merujuk kepada buku pendidikan tangguh bencana yang diterbitkan pada 2019, lebih dari 12 tahun terhitung dari tahun 2000-2018, terdapat 12 juta siswa atau peserta didik, dan lebih dari 60.000 satuan pendidik terdampak bencana. Oleh karena itu, menurut UNICEF, ada empat komponen utama dalam mitigasi bencana, yaitu: fasilitas sekolah yang aman, manajemen bencana sekolah dan pendidikan, pengurangan risiko bencana, dan inklusif dalam melakukan kesiapsiagaan bencana di satuan pendidikan di seluruh jenjang.
Esensi edukasi mitigasi bencana adalah gerakan penyadaran, pemahaman, dan peningkatan partisipasi publik (masyarakat) dalam memahami potensi rawan bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, rob, tsunami, erupsi gunung berapi, kekeringan, kebakaran hutan, dan sebagainya), sehingga diharapkan tumbuh kesadaran kolektif, deteksi dini, strategi dan aksi antisipatif bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana agar selamat, tidak menjadi korban. Menurut UU 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Ajaran Islam terkait dengan edukasi mitigasi bencana sangat jelas. Misalnya, ketika terjadi wabah seperti Covid-19. Nabi Muhammad SAW pernah mengedukasi umatnya untuk tidak mendekat daerah yang terkena wabah (tha’un). Akan tetapi, apabila berada di daerah yang terkena wabah dilarang untuk keluar. "Apabila kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR al-Bukhari). Hal ini merupakan bentuk edukasi mitigasi yang bertujuan sangat positif: mengurangi risiko jatuhnya banyak korban dan menghindari penularan wabah.
Edukasi mitigasi bencana dalam perspektif Islam tentuk bertujuan untuk: (1) mengurangi risiko dan dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi warga masyarakat; (2) menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya mengenali, memahami, menyikapi, dan mengambil Langkah strategis dalam mengantisipasi terjadinya bencana; (3) Meredisain landasan (pedoman) perencanaan pembangunan di kawasan rawan bencana (ada kemungkinan pentingnya kebijakan relokasi pemukiman warga atau pembangunan kembali pemukiman dengan desain konstruksi tahan gempa, bebas banjir dan longsor, dan sebagainya); dan (4) meningkatkan kognisi warga masyarakat dalam menghadapi dan meminimalisir risiko bencana, sehingga masyarakat dapat bertahan hidup dan beraktivitas secara aman dan nyaman.
Muhasabah Kolektif
Dengan edukasi mitigasi bencana tersebut, diharapkan warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dapat mengenai apa yang harus dilakukan pada saat sebelum, saat terjadi, dan setelah terjadinya bencana. Dengan demikian, minimalisasi jumlah korban dan kerugian saat terjadinya bencana dapat diwujudkan. Dapat ditegaskan, semakin tinggi kesadaran kolektif warga masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana melalui edukasi mitigasi bencana, maka semakin kuat dan solid dalam mewujudkan prinsip atau kaidah: “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak dan meminimalisasi kerusakan [risiko] itu harus diprioritaskan daripada meraih kemaslahatan). Dapat juga diimplementasikan prinsip: “ad-dhararu yuzalu” (bahaya, risiko dan dampak negatif itu harus dihilangkan) seoptimal mungkinkan.
Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, dalam menyikapi dan menghadapi bencana, pemimpin dan warga bangsa juga perlu memohon perlindungan (istighatsah) kepada Allah SWT, dengan memperbanyak istighfar (mohon ampunan), muhasabah (berintrospeksi diri) kolektif sekaligus bergandeng tangan, bersinergi, dan berempati dengan saling berdonasi untuk membantu meringankan penderitaan para korban bencana.
Muhasabah nasional (kolektif) sangat penting dilakukan sebagai salah satu langkah spiritual strategis untuk menghadapi musibah dan bencana dengan menyandarkan diri kepada Allah yang Maha Kuasa dan Bijaksana. Muhasabah kolektif idealnya meneguhkan kesadaran eksistensial kita sebagai hamba Allah, bahwa kita memang milik Allah dan akan kembali kepada-Nya (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Musibah dan bencana juga harus dimaknai dalam konteks akidah tauhid bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk menimbulkan bencana, sehingga terjadi bencana dapat meneguhkan akidah tauhid hamba-Nya.
Muhasabah kolektif menuntun kesadaran jiwa bahwa semua yang ada di dunia ini akan kita tinggalkan. Hakikat hidup ini adalah ujian dan cobaan untuk membuktikan siapa hamba yang terbaik amalnya (QS al-Mulk [67]:2). Muhasabah kolektif diharapkan menjadi titik balik persaudaraan kebangsaan dan kerinduan hamba untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan memohon pertolongan-Nya (Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in). Prasangka dan sikap positif harus ditumbuhkan bahwa terjadi bencana dan edukasi mitigasi bencana sarat hikmah dan pelajaran moral yang patut dipetik dan dijadikan sebagai media untuk taubatan nashuha dan dzikrullah secara lebih intens dan sungguh-sungguh.
Melalui muhasabah nasional, kesadaran moral warga bangsa dapat diteguhkan dengan mengenali jatidiri, menyadari kesalahan dan kekhilafan, berkomitmen untuk menatap masa depan dengan penuh optimistik. Karena itu, semua harus berkomitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan ketakwaan personal, kesalehan sosial, kesalehan digital, dan kesalehan ekologis. Tidak sedikit bencana yang terjadi itu akibat human errors (kelasahan dan keserakahan manusia), (QS ar-Rum/30: 41) seperti: penebangan hutan secara illegal, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, pembangunan villa di kawasan resapan air, membuang sampah sembarangan, pembuangan limbah industrsi (pabrik, medis, dsb).
Bencana, musibah, dan muhasabah nasional idealnya juga meneguhkan komitmen kebangsaan dan orientasi mental-spiritual untuk meningkatkan kedekatan diri kepada Allah SWT dan dengan sesama melalui gerakan filantropi dan kedermawanan sosial. Melalui muhasabah yang autentik, kita semua semakin menyadari bahwa hidup di dunia ini memang tidak lama, sehingga perjalanan hidup ini harus dimaknai dengan menebar kebajikan, manfaat, kontribusi positif, dan mewariskan legasi konstruktif bagi masa depan bangsa. Bencana mengedukasi kita semua untuk mengambil peran positif dan kontributif sesuai dengan pesan profetif: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat, berkontribusi positif bagi orang lain” (HR Ahmad, ath-Thabarani, dan Ad-Daruquthni).
Setiap saat umur manusia dan usia bumi semakin berkurang. Kita semua sedang menempuh perjalanan (journey, traveling) menuju kematian, lalu “transit” sementara di alam kubur, menuju alam akhirat. Muhasabah nasional dapat menumbuhkan kesadaran eskatologis bahwa di akhirat kelak, semua akan diaudit total (dihisab) oleh Allah, dimintai pertanggungjawaban, dan diberi balasan setimpal sesuai amal perbuatan selama hidup di dunia. Kesadaran eskatologis ini diharapkan menginsafkan semua untuk menjauhi perbuatan dosa, baik dosa personal, dosa sosial, maupun dosa politik dan dosa ekologis (perusakan ekosistem, lingkungan hidup).
Kontrak umur kita merupakan amanah sekaligus anugerah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak: “Untuk apa umur yang diberikan itu dipergunakan?” “Apakah usia yang dianugerahkan itu dimanfaatkan untuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah atau sebaliknya, untuk kejahatan dan kemaksiatan? Muhasabah eskatologis ini diharapkan semakin meneguhkan pentingnya edukasi mitigasi bencana, baik melalui jalur Pendidikan formal maupun melalaui Pendidikan informal (keluarga) dan non-formal (masyarakat, termasuk media massa dan media sosial).
Oleh karena itu, muhasabah harus dilakukan dengan optimalisasi modal spiritual (iman dan takwa) kepada Allah SWT. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS al-Hasyr [59]:18-19). Muhasabah nasional membuat semua terkoneksi, selalu mengingat Allah, dan tidak akan melupakan-Nya.
Dengan demikian, muhasabah merupakan jalan introspeksi dan refleksi mental spiritual dengan mengintensifkan istighfar dan tobat nasional. Sekadar refleksi dan kalkulasi usia perjalanan hidup ini, kita semua menginsafi dan mengarifi bahwa umur kita belum sepenuhnya produktif. Kita menghabiskan waktu untuk tidur dan istirahat rerata 8 jam/hari. Delapan jam itu sama dengan 1/3 dari 24 jam/hari. Jika dikaruniai usia 60 tahun, berarti kita tidur selama 20 tahun. Jika dianugerahi usia 75 tahun, berarti 25 tahun digunakan untuk tidur.
Introspeksi dan refleksi eksistensial selanjutnya adalah 2/3 usia bangun (terjaga) sudah digunakan untuk apa? Berapa jam kita beribadah, berdoa, belajar, bekerja, berkarya, berdedikasi, berbagi manfaat bagi orang lain, umat, dan bangsa? Umar bin al-Khattab RA mengingatkan: “Hitunglah (amalan) dirimu, sebelum engkau dihitung (oleh Allah); dan timbanglah amal perbuatan atau kinerjamu sebelum benar-benar ditimbang di akhirat kelak!”
Muhasabah mengetuk hati nurani kita semua untuk benar-benar bertaubat, berinabah (kembali), beristighfar, bermunajat, dan memohon perlindungan kepada Allah SWT. Muhasabah nasional akan berdampak positif bagi kehidupan kebangsaan apabila setiap warga memiliki manajemen waktu (usia) yang produktif dan progresif dengan merubah paradigma umur kuantitatif menjadi umur kualitatif.
Bagaimana usia kuantitatif 60 tahun misalnya setara dengan usia kualitatif 600 tahun atau bahkan lebih. Usia kuantitatif sebagian ulama, misalnya Imam Syafi’i berusia 54 tahun, relatif tidak panjang, tetapi umur kualitatifnya (legasi keteladanan dan kebaikannya) sangat panjang, sehingga namanya tetap harum dan karyanya terus “mengalirkan” pahala akhirat baginya.
Aktualisasi manajemen waktu (spirit wal ashri) sangat penting, karena perjalanan hidup ke depan harus lebih bermakna. Nabi SAW bersabda: “Jagalah dan manfaatkanlah (waktu antara) yang lima sebelum datang yang lima: waktu mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR al-Hakim)
Muhasabah nasional perlu dibarengi dengan agenda dan program keumatan dan kebangsaan yang jelas, visioner dan berusaha mewujudkannya dengan sepenuh hati. Jika muhasabah dilakukan dengan penuh keinsafan dan kesadaran semakin dekatnya menuju kematian, niscaya kita akan selalu istikamah di jalan kebenaran dan ketaatan dalam berpikir, beribadah, dan berkarya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
Sebagai introspeksi dan refleksi atas banyaknya musibah dan bencana, muhasabah diharapkan membuahkan nilai-nilai positif dan perilaku konstruktif. Pertama, pentingnya penyadaran diri untuk selalu mereformasi tauhid, melakukan taubatan nasuha (taubat serius) dan istighfar kepada Allah. Kedua, upaya terencana untuk meraih husn al-khatimah (akhir kehidupan yang baik), dan menjauhi su’u al-khatimah (keburukan saat wafat).
Ketiga, mengetahui dan menyadari kekurangan diri dengan penuh syukur, sehingga selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas dan gaya hidup taat kepada Allah, bukan maksiat. Keempat, menumbuhkan sikap positif dan optimistis dalam menatap hari esok yang lebih baik dengan meneguhkan kesabaran kolektif, terutama bagi terdampak bencana. Kelima, berusaha melejitkan potensi diri dan kompetensi untuk meraih prestasi sosial kemanusiaan yang lebih tinggi di masa depan dengan mewujudkan gerakan filantropi demi kemanusiaan. Keenam, menjauhi kemaksiatan dan meminimalisasai perbuatan dosa, termasuk dosa maksiat perusakan lingkungan alam dan sosial.
Akhirul Kalam
Dengan edukasi mitagasi bencana dan muhasabah kolektif, kita semua harus yakin sepenuh hati bahwa Allah SWT akan memberikan jalan keluar dan solusi terbaik dalam mitigasi bencana, rehabilitas, dan rekonstruksi pascabencana. Dengan terus mengetuk “pintu langit” melalui intensifikasi ibadah, zikir, doa, istighfar, taubatan nashuha, dan spirit mewariskan legasi kebaikan dan keteladanan, niscaya aneka ujian musibah menjadi pelajaran untuk meneguhkan relasi vertikal dengan Allah dan relasi horizontal dengan sesama. Muhasabah menyerukan kita semua untuk menjadi hamba yang mencintai Allah, Rasul-Nya dan sesamanya.
Bencana itu bukan musuh, tetapi merupakan takdir kehidupan yang harus disikapi secara positif, terutama dalam konteks pengembangan eduksi mitigasi bencana, sekaligus intensifikasi muhasabah jama’iyyah dalam rangka menjalin relasi “komunikasi teologis” dengan Sang Pemilik Kehidupan. Di balik bencana dan musibah, pasti ada hikmah yang sarat pelajaran moral sekaligus edukasi nilai bagi penyadaran dan peningkatan kualitas iman, ilmu, dan amal shalih demi kemanusiaan dan optimisme kebangsaan di masa depan.