Dr. Deden: Pesan untuk Para Jurnalis di Hari Pers Nasional

Dr. Deden: Pesan untuk Para Jurnalis di Hari Pers Nasional

UIN Jakarta, Berita UIN Online- Tepat 78 tahun sejak Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir pada tanggal 9 Februari 1946 sebagai wadah bagi seluruh wartawan dan pers di Indonesia dan menjadi pondasi kuat dalam menjalankan perannya sebagai jurnalis profesional. Menilik kehidupan pers di era menuju kemerdekaan, jurnalis memiliki peran ganda dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Selain berperan sebagai pihak yang menyebarkan informasi dan semangat juang melalui media-media, pers juga berperan sebagai aktivis politik yang bertujuan untuk melawan penjajah.

Tahun 1978, diadakan Kongres PWI ke-28 yang berlangsung di Padang, di sana muncullah ide dari tokoh-tokoh pers untuk menetapkan satu tanggal sebagai hari diperingatinya pers di Indonesia. Setelah melalui perdebatan dan diskusi panjang, akhirnya para tokoh pers sepakat untuk menetapkan tanggal 9 Februari sebagai peringatan Hari Pers Nasional bersamaan dengan hari lahirnya PWI.

Dilihat dari aspek perkembangan media massa, teknologi memegang peran penting dalam peradaban manusia dengan melihat pesatnya pertumbuhan industri selama beberapa dekade. Digitalisasi mempengaruhi sebagaian besar cara kerja di media termasuk pemberitaan.

Media sosial kini menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia karena di sana pengguna media dapat menyebarkan, menerima, mengakses, dan mencari informasi hanya dalam hitungan detik meskipun informasi tersebut bersumber dari luar negeri. Sekarang siapapun dapat menjadi jurnalis warga tanpa harus memiliki sertifikasi resmi dari pihak yang berwenang, seperti PWI atau Dewan Pers. Namun, hal itu justru juga menjadi ‘bumerang’ bagi masyarakat karena informasi yang beredar tidak bisa dipastikan akurat serta faktual.

Dosen UIN Jakarta Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) Program Studi (Prodi) Jurnalistik, Dr. Deden Mauli Darajat, S.Sos.I., M.Sc., mengawali karirnya di bidang jurnalistik sejak tahun 2004 ketika Ia berada di tahun pertama bangku perkuliahan sebagai jurnalis majalah kampus.

“Untuk pertama kali saya menggeluti bidang jurnalis bagaimana kita janjian dengan narasumber, itu kan yang sulit ya apalagi waktu itu saya baru menjadi mahasiwa dan pengalaman pertama. Narasumber mau diwawancarai itu sudah hebat banget luar biasa, dan saya dulu aktif juga di Lingkar Pena Jakarta jadi sering datang ke Taman Ismail Marzuki tiap hari Minggu sehingga sudah terbiasa. Kita juga di majalah kampus bekerja sama dengan beberapa media termasuk Kompas dan mengadakan pelatihan jurnalisme yang semua narasumbernya semua dari Kompas dan banyak lagi medianya, hingga lulus kuliah saya bekerja di Republika yang berpengalaman mengelola media online dan cetak di sana hingga tahun 2008-2009,” ungkap Dr. Deden ketika ditemui di Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta pada Selasa (6/2/2024).

Dr. Deden menyampaikan perbedaan kontras yang terlihat dari perkembangan pers dulu dan kini adalah medianya. Dibandingkan dengan 20 tahun lalu, eksistensi koran kini semakin pudar karena perusahaan media yang menerbitkan koran pun dapat dihitung jari. Tak hanya koran, TV, radio, dan bahkan media berita online pun sudah mulai tumbang karena masyarakat lebih memilih akses informasi melalui media sosial yang menyajikan videovberdurasi singkat (youtube, instagram, tiktok).

Menurutnya, ada pergeseran praktik dan pola kerja jurnalistik di masa kini, jika dulu berita yang diterbitkan oleh perusahaan media akan menjadi topik perbincangan masyarakat, kini justru sebaliknya, perbincangan masyarakat di media sosial-lah yang menjadi topik berita media. Sifat media yang sangat fleksibel mengharuskan semua orang yang bekerja di bidang jurnalistik harus cerdas menghadapinya, tak bisa hanya mengandalkan media, tapi harus meningkatkan kreativitas individu dalam memanfaatkan media yang terus berubah.

Tantangan besar bagi perusahaan media adalah menyiapkan content creator cerdas yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan perkembangan masyarakat di era digital. Karya yang cerdas dan kreatif akan mudah diterima di publik dibanding karya jurnalis yang kuno dan monoton.

“Di perkuliahan khususnya Prodi Jurnalistik seharusnya mahasiswa tidak lagi diberikan mata kuliah media cetak, tapi mempelajari konten-konten yang bisa dipertahankan meski zaman berubah karena konten yang bagus di media apapun pasti keren dan pasti ditayangkan. Tantangan yang paling berat adalah tetap memberikan berita yang menarik, bermanfaat, bertanggung jawab, dan dibutuhkan masyarakat walaupun membutuhkan proses, itu PR bagi pemilik media,” jelas Dr. Deden.

Dalam kehidupan bernegara, pers berperan menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat sehingga sudah sepatutnya pers menjadi media yang netral, transparan, dan dilindungi haknya dalam bersuara oleh pemerintah. Namun, kebebasan pers seringkali dimaknai dengan penafsiran yang berbeda-beda antara pemegang kekuasaan atau individu yang menyuarakannya.

Pandangan Dr. Deden terhadap ruang bicara di publik adalah tak sedikit individu masyarakat yang tidak memiliki keberanian menyuarakan opini di muka publik karena khawatir akan melanggar UU ITE. Padahal hak untuk bersuara dilindungi dalam UUD 1945 pasal 28, UU No. 40 tahun 1999, dan UU ITE. Ditambah dengan adanya pesta demokrasi di tahun 2024 yang meningkatkan intensitas pemberitaan politik di media sosial menambah kewaspadaan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam berkomentar.

Dr. Deden menyampaikan permasalahan terbesar sekarang adalah ketidakselarasan informasi yang beredar dengan fakta sebenarnya. Hal itu menjadi tugas utama bagi para jurnalis untuk menegakkan kebenaran dan berpihak kepada masyarakat. Ilmu kejurnalistikan penting dikuasai oleh mahasiswa jurnalistik tidak hanya mempelajari teori dalam forum kelas, tetapi juga mempraktikkan langsung ke lapangan karena hanya dengan itu para calon jurnalis dapat mengetahui kondisi sebenarnya tata kerja dan praktik jurnalistik.

“Tugas besar para jurnalis adalah membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Jurnalis harus berpihak pada kebenaran dan pada publik, bukan berpihak pada kekuasaan atau pengusaha. Maka pertanyaan apakah jurnalis harus netral jawabannya tidak, jurnalis harus berpihak, dan keberpihakan jurnalis adalah kepada masyarakat. Kepada calon jurnalis, kuasai mata kuliah tidak hanya menguasai materi di kelas, dipraktikkan juga karena itu menjadi ilmu dasar untuk terjun ke dunia profesional. Lalu yang paling penting adalah tegakkan kebenaran, jurnalis harus menyuarakan kebenaran dan jangan netral kepada hal yang salah dan berpihak kepada kebohongan,” pesannya.

(Nadia Nur Fadilah)

Tag :