Dosen yang Elitis
Dr Jejen Musfah MA, Dosen Magister UIN Jakarta, Wakil Sekjen PB PGRI
Seorang mahasiswa magister mengadu tentang dosen penguji tesisnya. Dosen itu dinilai susah ditemui dan saran perbaikan tesisnya cukup menyulitkan. Padahal pembimbing dan penguji lainnya sudah setuju. Jika tidak segera disetujui penguji, si mahasiswa bisa dikenakan biaya semester lagi—yang tidak murah.
Akibatnya si mahasiswa terlihat stres. Bingung bagaimana menghadapi dosen seperti di atas. Mahasiswa ini bukan yang pertama, saya sering menerima keluhan serupa dari mahasiswa magister tentang pembimbing atau penguji tesis. Sikap dosen seperti ini juga akan sama saat ia membimbing atau menguji tesis.
Saya yakin hal ini terjadi hampir di semua kampus. Ada dosen yang cenderung menyulitkan mahasiswa saat menulis tesis. Entah sulit ditemui, susah dihubungi, atau saran perbaikannya tidak jelas atau sulit.
Masalah ini tidak terjadi seandainya dosen memiliki sikap integritas, gotong-royong, dan etos kerja. Tiga sikap dasar yang wajib dimiliki oleh seorang dosen. Bukan saja karena ia menyandang gelar pendidik tetapi juga dibayar mahal oleh negara dari hasil pajak rakyat.
Integritas
Inti integritas adalah memenuhi komitmen. Dosen lupa bahwa tugasnya adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Dalam hal sebagai pembimbing atau penguji tesis, ia harus meluangkan waktu yang cukup untuk membimbing mahasiswa.
Ia harus segera menjawab pesan atau telepon dari mahasiswa. Mengabaikan atau menunda menjawab pesan dan telepon mahasiswa merupakan ciri dosen tidak berintegritas. Dosen susah dijangkau mahasiswa padahal tidak akan ada dosen jika tidak ada mahasiswa.
Komunikasi yang baik tidak terjadi karena dosen bersifat elitis. Padahal untuk menghubungi dosen saja sebagian mahasiswa memerlukan keberanian atau berpikir panjang. Mahasiswa menganggap dosen sebagai atasan atau orang penting yang tidak bisa dihubungi setiap saat.
Anggapan keliru ini muncul karena ada dosen yang menempatkan dirinya seperti itu. Padahal dosen profesi mulia yang tidak boleh merasa lebih tinggi, lebih hebat, lebih pintar, dari mahasiswa sekalipun. Dosen harus bisa dan siap dihubungi mahasiswa kapan pun—saat jam kerja.
Komunikasi dosen yang buruk akan berdampak terhadap kejiwaan mahasiswa dan percepatan penyelesaian tesis. Banyak mahasiswa lama dalam penyelesaian studi atau bahkan gagal karena masalah komunikasi dengan dosennya. Seorang dosen tidak boleh sombong dengan mengabaikan mahasiswa.
Henry Cloud dalam buku Integrity: The Courage to Meet The Demands of Reality (2008: 9) menjelaskan, jika orang punya karakter yang baik, etika dan integritas mereka akan melahirkan kepercayaan. Mereka tidak akan mencuri, berbohong, dan plagiasi.
Dosen yang mengabaikan dan mempersulit mahasiswa tanpa alasan yang rasional akan kehilangan kepercayaan. Kepercayaan mahasiswa kepada dosen adalah modalitas pembentukan karakter, yang menjadi tujuan utama pendidikan di semua level. Sepintar apa pun dosen tidak akan berarti jika sudah kehilangan kepercayaan dari mahasiswa.
Gotong Royong
Tesis adalah karya bersama, bukan hanya karya mahasiswa. Idealnya setelah tesis selesai maka diolah menjadi artikel ilmiah di mana penulisnya adalah mahasiswa dan dosen pembimbing dan/ atau pengujinya. Bimbingan dosen mulai dari penulisan tesis hingga ke penulisan artikel ilmiah.
Kadang dosen mudah menyalahkan tulisan mahasiswa tapi tidak memberikan solusi. Mahasiswa diminta mencari dan menafsirkan sendiri kehendak dan pikiran sang dosen. Dosen tidak menunjukkan pekerjaan membimbing tetapi suka menyalahkan orang lain atau sosiopat dan egois.
Bisa jadi sikap sosiopat dan egois ini terjadi karena dosen tidak membaca secara seksama dan utuh tulisan mahasiswa. Dan dosen tidak mau mendengarkan penjelasan mahasiswa. Dosen sudah memandang rendah mahasiswa, dan menganggap dirinya lebih pintar dan tahu segalanya.
Seorang pembimbing atau penguji tidak akan baik atau berhasil jika tidak mau membaca utuh tulisan mahasiswa dan mendengar penjelasannya sampai tuntas. Singkatnya, pembimbing dan penguji yang baik adalah pembaca dan pendengar yang baik.
Maka tesis adalah karya bersama mahasiswa dan dosen. Adagium tanggung jawab dan kualitas tesis ada pada mahasiswa tidak sepenuhnya bisa diterima. Masalahnya adalah jika dosen terlalu banyak membimbing dan menguji tesis dalam satu waktu karena minimnya dosen magister. Dibutuhkan etos kerja dan keikhlasan dosen.
Etos Kerja
Selain mengajar, ada dosen yang pejabat struktural kampus, mulai dari rektor, dekan, sampai ketua prodi. Ada juga yang menjadi konsultan atau staf ahli di kementerian atau lembaga, menjadi pembicara di aneka kegiatan pemerintah dan swasta, menjadi asesor akreditasi, dan menjadi pengurus organisasi masyarakat atau organisasi profesi.
Di samping mengajar dan membimbing tesis, sebagian dosen harus menyelesaikan seabrek pekerjaan terkait posisi tersebut—di dalam maupun di luar kampus. Terkesan dosen lebih memprioritaskan pekerjaan-pekerjaan tambahan itu dibanding tugas utama mengajar dan membimbing mahasiswa.
Dibutuhkan etos kerja dan komitmen dalam membimbing tesis di tengah kesibukan dosen di atas. Dosen tidak boleh asal membaca, asal membimbing, asal menguji, dan asal menilai tesis. Dosen harus menemukan kesalahan atau kelemahan tulisan mahasiswa sehingga bisa memberikan masukan yang konstruktif dan subtantif—tidak hanya teknis.
Kualitas tesis sangat bergantung kepada kualitas bimbingan dan pertanyaan saat ujian. Kesungguhan dosen diperlukan terutama dalam menghadapi mahasiswa dengan kapasitas yang pas-pasan. Mereka tidak cukup diberitahu sekali tetapi harus berulang.
Tidak selamanya dosen mendapatkan mahasiswa bimbingan dengan kategori pintar: cepat paham dan cepat belajar. Kadang dosen harus sabar dan kerja keras menghadapi mahasiswa bimbingan yang lamban paham dan lamban belajar. Ada mahasiswa yang pintar dan ada yang setengah pintar.
Masalah sering terjadi karena dosen menganggap semua mahasiswa pintar atau cepat belajar. Dosen menganggap sikap cueknya atas pesan dan telepon mahasiswa bisa diterima oleh semua mahasiswa. Padahal ada mahasiswa yang menganggapnya serius sehingga takut menghubungi dosen tersebut. Tidak semua mahasiswa bermental baja.
Kecuali itu, dosen harus objektif dalam memberikan penilaian. Jika tesisnya bagus diberi nilai bagus, tetapi jika kurang bagus maka dinilai kurang bagus. Dosen kita kadang terlalu mudah memberikan nilai sangat istimewa atau istimewa (A/ A-), padahal tesisnya tidak layak diberi nilai tersebut. Tentu tidak boleh juga menjadi dosen yang “pelit” nilai.
Dean A. Bredeson dan Keith Goree dalam buku Ethics in The Workplace (2012: 3) menulis beberapa prinsip etika: menghormati hak orang lain, memenuhi janji, jujur, bertindak untuk kepentingan terbaik orang lain, membantu orang lain yang membutuhkan jika memungkinkan, dan adil.
Hubungan dosen dengan mahasiswa bukan atasan dengan bawahan seperti raja dengan rakyat yang bisa bertindak semaunya, tetapi kolegial. Mahasiswa magister dengan aneka posisinya di kantor dan di masyarakat membayar kuliah untuk belajar dan mendapatkan bimbingan dari dosen yang berpendidikan, berilmu luas, dan beretika.
Maka stop menjadi dosen yang elitis, sosiopat, egois, dan sombong. Keliru besar jika dosen beranggapan: mahasiswa harus memahami dan mengerti dosen, bukan sebaliknya dosen yang harus memahami mahasiswa. Sadarlah bahwa tugas utama dosen adalah mengajar dan membimbing mahasiswa.
Di luar itu adalah bonus yang harus disyukuri dengan cara tetap memberikan yang terbaik dari waktu, tenaga, dan pikiran untuk membersamai mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Tanda tangan dosen sangat berarti bagi mahasiswa. Gunakanlah sebaik-baiknya, bukan untuk menekan dan menghambat masa depan mahasiswa.
Sumber: Koran Media Indonesia, 27 Desember 2021. (sam/mf/MusAm)