"Dosen Tak Mau Mengajar Berarti Pengingkaran"
Ada fenonema yang bersifat kasuistik bahwa dosen bergelar doktor dan guru besar berkualitas saat ini mulai enggan mengajar di program S-1. Kalau pun mengajar, dosen tersebut menggunakan asistensi. Bagaimana tanggapan Anda?
Sesuai UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen itu sudah diatur secara jelas bahwa dosen memiliki kewajiban mengajar minimal 12 sks sampai 16 sks. Sementara itu, dosen yang bergelar doktor atau guru besar (profesor) dibolehkan memiliki seorang asisten. Namun, dengan catatan bahwa dosen (khususnya yang bergelar doktor) tersebut telah memiliki jabatan minimal lektor kepala.
Jadi dibolehkan?
Ya. Dosen melakukan bimbingan itu tak hanya di dalam kelas tapi juga di luar kelas. Bimbingan di dalam kelas dilakukan oleh asisten untuk menyampaikan materi, sementara di luar kelas dosen melakukan bimbingan terlebih dahulu kepada asistennya dalam rangka pembelajaran. Akan tetapi seorang dosen pembimbing atau dosen senior itu berkewajiban juga memonitor perkembangan mahasiswa dan perkuliahan yang diasuhnya. Jadi, asistensi itu tetap tidak bisa dilepas secara penuh. Paling tidak, dua atau tiga kali tatap muka dosen seniornya harus hadir. Jadi nggak dilepas sama sekali.
Apakah selama ini bagian kepegawaian memperoleh laporan bahwa ada dosen bergelar doktor dan profesor itu enggan mengajar lagi di S-1?
Selama ini belum. Bahkan ketika Pak Azyumardi Azra menjabat rektor, beliau masih aktif mengajar di program S-1, yakni di Fakultas Adab dan Humaniora. Ia seorang guru besar yang juga menjabat rektor. Begitu juga Pak Komar (Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta sekarang, Red), ia masih aktif mengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Homebased mereka kan di S-1. Tapi faktanya banyak juga dosen, terutama guru besar, yang "betah" si pascasarjana atau bahkan di luar kampus?
Ya. Homebased mereka di S-1, fakultas. Karena homebased-nya di S-1 itu kewajiban itu sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005. Karena itu pihak kepegawaian berharap dari semua satuan kerja atau satker seperti fakultas harus mengoptimalkan doktor atau guru besar yang memiliki keahlian khusus agar dioptimalkan. Soalnya, banyaknya doktor dan guru besar itu merupakan satu prestasi tersendiri bagi fakultas dan universitas. Kalau prestasi itu sudah diraih tapi kemudian tidak dimanfaatkan secara maksimal ya tidak berarti apa-apa.
Seandainya ada keengganan mengajar di S-1 itu indispliner?
Ya indisipliner.
Terus bagaimana sikap bagian kepegawaian sendiri?
Bagian kepegawaian hanya sebagai pelaksana pengemban peraturan. Orang itu disiplin atau tidak disiplin tergantung dari laporan setiap satkernya. Selama satker tidak melaporkan kepada bagian kepegawaian ya kita tidak akan memproses karena tidak ada dasarnya. Jadi tergantung ada atau tidak laporan dari satkernya atau fakultasnya masing-masing. Karena itu bagian kepegawaian sangat berharap partisipasi dari satker masing-masing untuk mengoptimalkan doktor atau guru besar yang mempunyai keahlian itu agar mematuhi segala peraturan dan perundangan yang berlaku tentang kepegawian. Paling tidak, kewajiban-kewajiban dia sebagai seorang dosen itu terpenuhi. Karena seorang dosen itu kan tidak lepas dari masalah pendidikan, pengabdian kepada masyarakat dan juga penelitian. Tiga unsur itu harus terpenuhi bagi seorang dosen, baik untuk proses penaikan jabatan maupun penaikan kepangkatannya. Salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka penaikan pangkat dan jabatannya tidak bisa dilakukan.
Bagian kepegawaian juga "memberikan fasilitas" bagi dosen yang ingin belajar ke luar negeri. Harapannya tentu agar dosen bersangkutan lebih berkualitas sehingga berdampak bagi fakultas atau universitasnya. Adakah harapan itu terwujud, dalam arti tidak ada yang kemudian enggan mengajar lagi?
Bagian kepegawaian tidak menyediakan fasilitas, kecuali universitas. Universitas menyediakan anggaran untuk para karyawan (tenaga administrasi) dan dosen yang ingin studi lanjut, baik jenjang S-1, S-2 maupun S-3. Proses itu dilakukan di bagian kepegawaian. Berdasarkan pengalaman seperti yang Anda tadi katakan, bisa saja terjadi ada dosen yang enggan mengajar. Akan tetapi kita bisa yakinkan bahwa teman-teman yang sekolah ke luar negeri dengan biayai dari univeritas, kita harapkan kembali lagi dan mengembangkan universitas ini. Beberapa tahun ini kita telah melakukan antisipasi hal tersebut. Jadi, ketika seseorang itu ditugasbelajarkan ke luar negeri, dia diberikan surat perjanjian antara yang bersangkutan, dekan, dan rektor. Jadi, ada kontrak kerja yang menyatakan bahwa rektor akan memberikan surat izin belajar kepada yang bersangkutan namun dengan catatan jika nanti sudah selesai wajib kembali ke fakultasnya masing-masing.
Berapa jumlah dosen yang sedang ditugasbelajarkan sekarang?
Bagian Kepegawaian mencatat ada 117 orang dan 51 orang di antaranya ditugasbelajarkan di luar negeri. Mereka sedang melanjutkan studi baik untuk jenjang S-2 maupun S-3, bahkan beberapa orang di antaranya kini sudah selesai.
Dari angka itu, berapa persen yang benar-benar kembali dan memenuhi kewajibannya?
Rata-rata kembali lagi dan mengajar di fakultasnya masing-masing. Kalau pun belum mungkin mereka masih menyelesaikan studi. Tapi kita sudah memberikan surat kepada fakultas agar dosen yang belum selesai belajar tapi waktunya sudah melebihi dari batas yang ditetapkan agar dipanggil kembali. Atau kita minta data progress report-nya sampai mana yang bersangkutan benar-benar menyelesaikan studinya. Paling tidak, ada jawaban kepastian kapan yang bersangkutan selesai belajar dan kembali. Kemudian kalau waktunya tidak terlalu lama untuk menyelesaiakan kita akan berikan perpanjangan tugas belajar lagi. Pemberian izin perpanjangan belajar itu hanya diberikan satu kali lagi dan kalau tidak terpenuhi kita akan panggil kembali. Kalau kidak kembali kita akan kenakan sanksi berupa tindakan indispiliner.
Di samping menyekolahkan, guna memenuhi kebutuhan dosen berkualitas itu apakah selama ini ada bagian kepegawaian "membajak"?
Kalau ada mutasi dosen dari luar (universitas) itu karena ketertarikan sendiri. Jadi, kita tidak mencari mereka. Karena mereka juga tahu bahwa UIN Jakarta sekarang ini sudah berkembang, dan sampai saat ini ketertarikan dosen luar untuk pindah ke sini (UIN Jakarta) itu sangat banyak. Kemduian untuk pengangkatan formasi baru kita juga sudah membuat analisis kebutuhan dosen, baik di fakultas agama maupun di fakultas umum, selama lima tahun ke depan. Datanya dari mana, ya dari fakultas masing-masing dengan dibuat rasionya, perbandingan antara jumlah dosen dan mahasiswa. Kalau untuk jurusan ilmu-ilmu sosial perbandingannya antara 1:20-25. Sementara untuk jurusan eksakta antara 1:15. Kebtuhan itu kemudian kita bicarakan dan lantas dikirimkan ke Menteri Agama c.q Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Berdasarkan analisis itu, formasi umum memang banyak sekali. Buktinya, pada tahun 2007 kemarin saja, dosen yang banyak dinyatakan lulus berasal dari umum, yang memiliki kualitas baik dan lulusan dari berbagai perguruan tinggi terkemuka seperti UI, UGM, dan ITB.
Menurut Anda, dosen bergelar doktor dan guru besar yang enggan mengajar lagi di S-1 itu apakah tidak menjadi preseden buruk bagi peningkatan kualitas akademik ke depan?
Kita akan tetap melakukan monitoring dan koordinasi. Bahkan, kami juga meminta ke fakultas mohon agar melaporkan ke bagian kepegawiaan seandainya ada dosen yang memang nggak mau melaksakan tugas dan kewajibannya mengajar. Kita akan melayangkan surat teguran. Suat teguran pertama, kedua, dan ketiga tidak mempan, kita kemudian akan memproses usulan pemberhentiannya. Karena buat apa kita punya doktor dan guru besar banyak tetapi tidak mau melaksanaksakan kewajibannya. Kita membantu proses guru besar termasuk teman-teman untuk memproleh gelar doktor dengan beasiswa, baik dari UIN Jakarta maupun dari hasil kerja sama, yang bertujuan untuk pengembangan universitas. Kalau sudah diperokeh tapi nggak mau melaksanakan kewajibannya itu berati suatu pengingkaran dan harus ditindak.*