DOA ORANG-ORANG TERTINDAS

DOA ORANG-ORANG TERTINDAS

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Pascasarjana KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah Kami penolong dari sisi Engkau” (QS. al-Nisaa/4: 75)

Bersumber dari Ubaidillah, ia meriwayatkan bahwasanya ia mendengar Ibnu Abbas berkata, “Dahulu aku dan ibuku termasuk orang-orang tertindas” (HR. Bukhari). Ayat ini, menurut pengarang Tafsir Ibnu Katsir, adalah anjuran bagi hamba-hamba Allah yang mukmin untuk berjihad di jalan-Nya dan sekuat tenaga menyelamatkan orang-orang lemah yang tinggal di Mekah baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang karena kelemahan itu, mereka tidak punya pilihan kecuali tetap berada di Mekah dalam keadaan tertindas. Keadaan kaum muslimin yang tertindas ini mendapat legitimasi Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka” (QS. Muhammad/47: 13). Ibnu Abbas yang dimaksud di atas adalah Abdullah Ibnu Abbas, sepupu Nabi SAW, anak dari paman beliau yang saat itu, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, masih anak-anak. Setidaknya dalam doa kaum tertindas di atas ada tiga yang diharapkan dapat dikabulkan Allah SWT. Pertama, penggalan doa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim”. Kezaliman terhadap penduduk Mekah itu terjadi, menurut pengarang Tafsir Jalalain, karena kakafiran mereka. Itulah mengapa di dalam al-Qur’an, Allah perlu mengulang kata-kata “kafir” hingga 525 kali, tak lain agar mendapat perhatian dari kaum muslimin. Selain itu, agar kaum muslimin bisa mengatur strategi agar tidak tertindas dari mereka. Sedangkan kata zalim yang telah bermetamorfosis dalam bahasa kita menjadi lalim dapat diperhalus dengan istilah tidak adil atau mengurangi hak orang lain. Kata zalim dan turunannya di dalam al-Qur’an terulang hingga 315 kali. Sehingga masuk akal jika orang-orang tertindas di Mekah memohon kepada Allah SWT agar terlepas dari entitas ini, yakni zalim yang ditimbulkan karena kekafiran yang menambah ketertindasan mereka. Karena itu Allah SWT tegaskan, “Telah diizinkan (untuk berperang) bagi orang-orang yang diperangi. Karena sesungguhnya mereka telah dianiaya” (QS. al-Hajj/22: 39). Menurut Syaikh Nawawi Banten, sikap zalim itu selain timbul karena kekafiran juga diakibatkan karena kemusyrikan. Di dalam al-Qur’an kedua entitas ini disebutkan oleh Allah SWT dalam satu ayat, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. al-Bayyinah/98: 1). Dalam Tafsir Jalalain diungkap bahwa orang-orang musyrik adalah orang-orang yang menyembah berhala. Sedang orang kafir adalah mereka yang tetap memegang teguh agama mereka. Sedangkan perbedaan antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir Allah SWT sendiri yang menjelaskannya, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah” (QS. al-Nisa/4: 76). Makna “lemah” dalam ayat ini, seperti dijelaskan dalam Tafsir Jalalain adalah orang-orang kafir itu tidak akan dapat mengalahkan siasat Allah. Tampaknya ini bocoran Allah SWT kepada kaum muslimin bahwa mereka akan keluar dari ketertindasan. Syaikh Nawawi menulis bahwa jalan thaghut adalah jalan yang tidak diridhai Allah SWT. Lantas imbalan yang Allah SWT berikan bagi orang-orang yang maju ke medan laga lalu gugur sebagai syuhada akan memperoleh pahala yang besar. Inilah pernyataan Allah SWT itu, “Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar” (QS. al-Nisa/4: 74). Pahala yang besar itu, kata Syaikh Nawawi adalah manfaat yang kekal yang disertai dengan penghormatan. Pahala jihad akan didapat dari dua kondisi ini, gugur atau menang. Kedua, penggalan doa, ”Berilah kami pelindung dari sisi Engkau”. Maksudnya adalah perlindungan Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS.al-Baqarah/2: 257). Itulah mengapa kaum tertindas meminta perlindungan dari Allah SWT saja. Inilah kesudahan dan perumpamaan meminta pelindung selain kepada Allah SWT, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. al-Jinn/72: 6). “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut/29 :41). Dalam konteks praksis-implementatif, makna ”Berilah Kami pelindung dari sisi Engkau”, seperti kata Syaikh Nawawi, adalah “Jadikanlah bagi kami seorang pelindung dari kalangan kaum muslimin yang akan mengurus kepentingan kami dan memelihara agama kami. Dalam konteks kelembagaan saat ini hal itu bisa seorang pemimpin yang adil. Sebab kepemimpinannya adalah, seperti kata Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, untuk menggantikan fungsi kenabian Rasulullah SAW dan bertujuan untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Kata Imam al-Ghazali dalam Al-I’tiqad fi Al-Iqtishad, keteraturan agama sangat bergantung dengan keteraturan negara, sedangkan keteraturan negara itu sendiri sangat bergantung dengan pemimpin yang ditaati. Agar pemimpin ditaati maka pemimpin tidak boleh zalim kepada rakyat yang dipimpinnya. Apalagi rakyatnya sampai memohon dengan doa seperti di atas, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. Karena sejatinya, kata al-Ghazali, “agama dan negara bagai saudara kembar”.

Ketiga, penggalan doa mereka yang tertindas yang diharapkan direspons oleh Allah SAW adalah “Dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. Dalam Tafsir Munir karya Syaikh Nawawi Banten, diungkapkan bahwa penggalan doa ini bermakna, “Tolonglah kami dalam menghadapi musuh-musuh kami melalui seorang laki-laki yang dapat menghindarkan kami dari kejahatan orang-orang yang zalim”. Dalam setting sosio-hsitoris masa lalu, terbukti Allah mengabulkan doa mereka dengan menjadikan Attab Ibnu Usaid sebagai seorang Amir di Mekah yang diangkat oleh Nabi SAW seusai beliau menaklukkan kota Mekah. Dalam konteks ini pelindung orang-orang tertindas adalah Rasulullah SAW. Diceritakan oleh Syaikh Nawawi, sejak itulah Attab Ibnu Usaid menolong orang-orang yang dianiaya dari orang-orang yang menganiaya mereka. Attab Ibnu Usaid juga membela orang-orang lemah yang pernah dialami dari kalangan wanita seperti ibundanya Ibnu Abbas dan dari kalangan anak-anak seperti Ibnu Abbas sendiri yang pernah terjadi di Mekah sebelumnya. Oleh karena itu, Maha Suci Allah dalam firman-Nya, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat-ingat(-Nya)” (QS. al-Naml/27: 62). Secara teologis, umat Nabi SAW juga harus menyakini ayat ini, “Dan janganlah sekali-kali kamu Wahai (Muhammad) mengira bahwa Allah lengah, lalai, terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepeda mereka sampai pada hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim/14: 42). Begitu juga ayat, “Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang telah berbuat zalim kepada manusia dan telah melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka akan mendapat azab yang pedih”(QS. al-Syura/26: 42). Terakhir, doa ini sebaiknya diaminkan bersama-sama, “Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku berada di antara orang-orang yang zalim” (QS. al-Mukminun/23 :94). Amin! (sam/mf)