Diplomasi RI dan Taliban

Diplomasi RI dan Taliban

Oleh Azyumardi Azra

Posisi Indonesia vis-a-vis dengan Taliban cukup unik. Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang bisa diterima kedua belah pihak yang terlibat konflik dan kekerasan sengit: pemerintahan Afghanistan di bawah pimpinan Presiden Ashraf Ghani pada satu pihak dan kekuatan perlawanan Taliban pada pihak lain.

Posisi Indonesia yang khas itu terkait dengan Presiden Ashraf Ghani, petinggi Taliban, Presiden Joko Widodo, dan Wakil Presiden (saat itu) M Jusuf Kalla, yang mengadakan sejumlah pertemuan dengan kedua belah pihak yang bermusuhan, tak hanya di Kabul atau Doha, tetapi juga di Jakarta.

Kontak, pertemuan, dan pembicaraan cukup intensif yang berlangsung dengan petinggi Taliban, khususnya sejak 2018, merupakan aset historis dan akses penting bagi Indonesia untuk ”membantu” pemerintahan Taliban.

Diplomasi Kekuatan Tengah

Afghanistan memiliki posisi unik juga dalam diplomasi RI. Afghanistan satu-satunya negara yang pernah dikunjungi Presiden (Jokowi, 29 Januari 2018) dan sekaligus Wakil Presiden (Jusuf Kalla, 28 Februari-1 Maret 2018), di tengah konflik dan kekerasan yang terus berkecamuk.

Presiden Jokowi dan Wapres Kalla saat itu beserta seluruh delegasi memakai rompi antipeluru dan kendaraan yang juga antipeluru, sejak turun dari pesawat kepresidenan RI menuju ke lingkungan istana kepresidenan Afghanistan ARG di Kabul.

Ini ada presedennya dalam kunjungan Presiden Soeharto ke Bosnia-Herzegovina, persisnya ke ibu kota Sarajevo, pada 11 Maret 1995. Meski pada hari sebelumnya pesawat utusan PBB ditembak jatuh di wilayah Bosnia, Presiden Soeharto keukeuh tetap terbang; menandatangani pernyataan buat PBB—siap memikul risiko sendiri.

Menaiki pesawat buatan Rusia, Pak Harto sampai di Sarajevo, disambut Presiden Aliya Izetbegovic. Presiden RI menghadiahkan pembangunan Masjid Muhammad Soeharto yang kelak diubah namanya menjadi Istiklal Dzamija (Masjid Jami’ Istiqlal) ketika diresmikan pada Maret 2001.

Menjalankan diplomasi tingkat tinggi adalah aktualisasi posisi dan peran Indonesia sebagai ”kekuatan tengah” (middle power). Indonesia belum termasuk ”kekuatan adikuasa” (superpower) seperti Amerika Serikat atau China sekarang.

Jika peran ”kekuatan tengah” kembali bisa diwujudkan, Pemerintah Indonesia sekaligus menjawab kritik kalangan pengamat politik internasional bahwa Indonesia belum menggunakan ukuran, bobot, dan pengaruh besar yang dimilikinya (does not punch its weight). Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia; demokrasi terbesar ketiga; dan berpopulasi keempat terbesar di jagat raya.

Sebagai ”kekuatan tengah”, Indonesia punya potensi memberikan kontribusi pada rekonstruksi Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban. Indonesia punya akses besar pada petinggi Taliban. Pihak Taliban terlihat tetap terbuka kepada Indonesia, misalnya menerima Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Kantor Perwakilan Taliban di Qatar, 26 Agustus 2021.

Tiga pesan yang disampaikan Menlu Retno kepada petinggi Taliban niscaya penting: membentuk pemerintahan inklusif, tidak menjadikan Afghanistan tempat perkecambahan radikalisme dan terorisme, dan menghormati hak perempuan.

Indonesia dalam diplomasi selanjutnya bisa menawarkan bantuan pengembangan birokrasi pemerintahan, peningkatan sumber daya manusia dan pemberdayaan perempuan dan anak, pengembangan kesehatan, kerja sama pertanian dan pertambangan, pemberian beasiswa bagi generasi muda untuk belajar di berbagai tingkatan atau strata pendidikan di Indonesia.

Untuk bisa berhasil dalam diplomasi kekuatan tengah, Pemerintah Indonesia mesti menghindari pendekatan hit and run. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia mesti terus-menerus dan konsisten dengan pendekatan soft diplomacy dan diplomasi total. Pemerintah mesti melibatkan berbagai pihak yang peduli di Indonesia, seperti ormas Islam, LSM advokasi, lembaga filantropi, kelompok ahli, dan juga institusi pendidikan dalam berbagai tingkatan.

Diplomasi Islam Wasatiah

Islam wasatiah atau Islam jalan tengah (middle path atau justly-balanced Islam) telah menjadi bagian penting terintegrasi dalam diplomasi publik Indonesia di kancah internasional sejak masa reformasi. Perubahan politik Indonesia dengan transisi dan konsolidasi demokrasi sejak 1999 mengukuhkan kompatibilitas demokrasi dengan Islam Indonesia; dan mengangkat Islam wasatiah sebagai arus utama kaum Muslimin menjadi bagian pokok diplomasi publik Indonesia.

Islam wasatiah juga menjadi bagian penting diplomasi Indonesia terkait Afghanistan di bawah Presiden Ashraf Ghani dan Taliban. Bisa dipastikan, Presiden Ghani dan pendukungnya adalah pengikut Islam Jalan Tengah. Dengan Taliban, ada beberapa momen—sebagiannya penulis ikut terlibat—yang memperlihatkan ketertarikan Taliban pada Islam wasatiah Indonesia.

Pertama, pertemuan pejabat tinggi RI, khususnya Jusuf Kalla ketika masih menjabat wapres dan saat tidak lagi menjabat. Dia pernah dua kali melangsungkan pertemuan dengan Presiden Ghani di Kabul, terakhir 23-25 Desember 2020 sebagai Ketua Umum DMI dan Ketua PMI.

Lalu, empat pertemuan dengan delegasi dan petinggi Taliban, termasuk Mullah Abdul Ghani Baradar, yang disebut-sebut menjadi pemimpin puncak pemerintahan Taliban, dua kali di Jakarta dan dua kali di Doha (terakhir Januari 2021). Menlu RI Retno LP Marsudi juga bertemu petinggi Taliban di Doha. Ini menunjukkan Taliban terbuka pada Indonesia.

Kedua, atas undangan Majelis Ulama Indonesia, ulama Taliban, ulama Pakistan bersama MUI mengadakan konferensi trilateral di Bogor. Konferensi yang dibuka Presiden Jokowi dan ditutup Wapres Kalla menyatakan ”Deklarasi Bogor untuk Perdamaian”, 11 Mei 2018, agar konflik di Afghanistan diselesaikan secara damai.

Selain itu, antara 2018 dan 2019, MUI secara terpisah juga mengadakan dialog dengan delegasi Taliban dan Mullah Abdul Ghani Baradar. Dalam pertemuan itu, selain menyarankan penyelesaian konflik secara damai, MUI menawarkan agar Taliban mengirim pelajar untuk menuntut ilmu di Indonesia.

Ketiga, akhir Agustus 2018 sekitar 80 pelajar Afghanistan (siswa dan siswi) datang ke Indonesia untuk mengikuti ”program pencelupan” Islam wasatiah. Selama empat bulan mereka mukim di pesantren; menerima pelajaran Islam dari kiai dan guru, dan bergaul dengan para santri di Pondok Moderen Tazakka, Batang, Jawa Tengah, dan Pesantren Modern Darul Ulum Lido, Jawa Barat.

Keempat, Nahdlatul Ulama mendirikan organisasi NU Afghanistan yang terpisah secara struktural dari PB NU (Indonesia). Mulai didirikan 2016, menurut NU Online, 20 Juni 2019, sudah ada pengurus cabang NU di 22 provinsi Afghanistan dengan melibatkan sekitar 6.000 ulama Afghan sendiri.

Selain itu, Pemerintah RI mendirikan Masjid As-Salam Indonesia Islamic Center (IIC) di Kabul, yang diresmikan oleh Menlu Retno LP Marsudi pada 9 Agustus 2016. Selain tempat ibadah, IIC juga menjadi madrasah PAUD/ibtidaiyah bagi anak Afghanistan. Klinik juga dibangun dengan batu pertamanya diletakkan oleh Wapres Kalla pada 28 Februari 2018. Selanjutnya IIC juga dilengkapi perpustakaan dan wisma tamu.

Rehabilitasi Afghanistan

Dengan hubungan timbal balik cukup intens, Pemerintah Indonesia beserta pemangku kepentingan lain dapat meningkatkan peran merehabilitasi Afghanistan. Membantu Taliban membangun pemerintahan efektif; menghormati HAM dan perempuan, dan mengembangkan Islam Jalan Tengah menjadi bagian dari tanggung jawab Indonesia untuk terus ikut membangun perdamaian abadi di Afghanistan and beyond. (zm)

Penulis adalah Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar. Artikel dimuat dalam kolom opini Koran Kompas, Selasa 7 September 2021.