Diplomasi Islam dan Perdamaian Dunia
Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 menjadi momentum penting dalam diplomasi Indonesia.
Bukan hanya karena ini adalah kali pertama dalam satu dekade seorang presiden Indonesia kembali berpidato di forum dunia tersebut, tetapi juga karena pesan yang dibawanya: perdamaian, solidaritas, dan komitmen konkret melalui kontribusi pasukan dan bantuan kemanusiaan. Pidato itu ditutup dengan salam lintas agama (“Assalamu’alaikum, Shalom, Om Shanti, Namo Budaya”) yang secara simbolis menegaskan wajah plural dan damai Indonesia. Di balik simbolisme itu, terdapat ranah diplomasi yang lebih luas, yakni bagaimana Indonesia mengartikulasikan posisinya di dunia Islam.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai jembatan diplomasi Islam global. Seperti diungkapkan James Hoesterey (2013), para diplomat Indonesia telah mampu memanfaatkan reputasi demokratis dan Islam moderat untuk meningkatkan profil Indonesia sebagai mitra bagi dunia Islam maupun Barat.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, demokrasi relatif stabil, dan tradisi Islam moderat yang terawat melalui organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, Indonesia memiliki legitimasi moral yang jarang dimiliki negara lain. Pidato Prabowo yang menegaskan dukungan pada solusi dua negara (Palestina dan Israel) di Palestina sekaligus pengakuan atas hak Israel untuk hidup berdampingan dan damai. Indonesia tetap berpihak pada keadilan bagi Palestina, namun tidak menutup pintu dialog dengan pihak lain. Pendekatan seperti ini dapat menjadi ciri khas diplomasi non-blok Indonesia baik bagi dunia Muslim maupun Barat.
Dunia saat ini semakin terpecah oleh persaingan antarnegara yang lebih mengutamakan kepentingan dan penyelamatan masing-masing. Lembaga internasional seperti PBB kian kehilangan wibawanya, sementara kekuatan teknologi dan persenjataan dimanfaatkan bukan untuk menjaga stabilitas, melainkan sebagai alat penindasan dan tekanan. Kondisi ini mendorong lahirnya blok-blok baru yang berfokus pada penguatan militer, sedangkan kekuatan ekonomi dipergunakan sebagai senjata lain untuk melemahkan negara lain melalui berbagai instrumen, termasuk penerapan tarif, demi memaksakan kepentingan pihak yang lebih dominan.
Laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2024 mencatat sejumlah kasus penggunaan instrumen perdagangan, mulai dari larangan impor, pencabutan preferensi tarif, hingga tarif antidumping, secara koersif oleh negara kuat terhadap mitranya, sebagaimana terlihat pada ketegangan dagang yang berujung pada kerugian ekonomi signifikan bagi negara sasaran.
Sepanjang sejarah, persaingan antarnegara kerap dipicu oleh perebutan akses terhadap sumber daya alam, sebagaimana terlihat pada era kolonialisme ketika penjajahan dilakukan untuk memperkaya negara penguasa hingga memuncak pada Perang Dunia II. Persaingan itu membentuk blok negara penjajah dan terjajah, yang meninggalkan warisan ketimpangan global.
Kini, bentuk “penjajahan” tersebut tidak lagi berbasis teritorial semata, melainkan beralih pada penguasaan ekonomi dan teknologi yang menjadi instrumen baru dominasi antarnegara. Dalam konteks kontemporer, seperti dicontohkan peneliti Nick Couldry dan Ulises Mejias, kolonialisme modern bisa mengambil bentuk baru melalui ‘data colonialism’, di mana penguasaan dan ekstraksi data pribadi menjadi instrumen dominasi ekonomi dan teknologi yang melintasi batas-batas negara.
Kehadiran negara-negara Dunia Ketiga sebagai kekuatan non-blok pasca Perang Dunia II tetap relevan hingga kini, terutama dalam merespons hegemoni negara maju yang kerap menggunakan dominasi ekonomi, teknologi, dan persenjataan untuk menekan negara-negara berkembang. Gerakan Non-Blok harus terus dipererat melalui penguatan pendidikan, solidaritas antarnegara, serta konsistensi dalam menyuarakan keadilan di tataran global.
Selain itu, peluang besar juga hadir melalui kerja sama kawasan. ASEAN selama ini relatif absen dalam isu-isu besar dunia Muslim. Menurut Hiro Katsumata, hal ini tidak terlepas dari karakteristik ASEAN Way yang menekankan prinsip non-interference, quiet diplomacy, serta konsensus yang membuat ASEAN enggan terlibat dalam isu-isu sensitif di luar kawasan.
Indonesia bisa mengawali transformasi kawasan dengan membangun koalisi negara-negara Asia Tenggara, Indonesia bisa menampilkan diri bukan sekadar sebagai suara satu negara, melainkan bagian dari blok regional yang mendukung perdamaian di Timur Tengah. Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam dinamika diplomasi dunia Islam yang selama ini banyak dipengaruhi oleh kekuatan tradisional seperti Arab Saudi, Iran, Turki, dan Mesir.
Namun peluang itu tidak datang tanpa tantangan. Dunia Islam sendiri sangat terfragmentasi. Banyak negara masih terikat rivalitas lama, baik yang berbasis politik, sektarian, maupun kepentingan ekonomi. Dalam lanskap seperti itu, posisi Indonesia tidak dengan sendirinya diterima. Meski berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia tidak memiliki kedekatan budaya dan sejarah dengan dunia Arab. Bahkan terkadang suara Indonesia dianggap terlalu jauh dari dinamika lokal kawasan.
Tantangan berikutnya datang dari persepsi publik internal. Pernyataan Prabowo tentang pentingnya menjamin keamanan Israel, meski diiringi penegasan dukungan penuh pada Palestina, bisa memicu kecurigaan sebagian kalangan Muslim. Isu Israel-Palestina sangat sensitif, dan salah langkah komunikasi dapat menggerus kepercayaan domestik. Diplomasi Islam Indonesia dijalankan dalam konteks demokrasi. Artinya, setiap langkah di panggung global tidak bisa dilepaskan dari dukungan publik di dalam negeri.
Kita juga harus mengakui bahwa diplomasi di dunia Arab kerap bersifat tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh antropolog Lawrence Rosen, politik Arab pada dasarnya dibangun di atas hubungan dan sistem politik yang sangat personal. Di sinilah Indonesia menghadapi tantangan budaya diplomasi. Selama ini kita lebih terbiasa dengan pendekatan institusional, multilateral, dan formal.
Untuk menembus lingkaran diplomasi Arab, diperlukan kemampuan menjalin kedekatan personal, menghadirkan tokoh-tokoh Islam Indonesia yang memiliki wibawa di masyarakat, serta menggunakan bahasa simbol yang diterima di kawasan tersebut.
Selain tantangan internal dan kultural, ada pula tantangan geopolitik. Isu-isu besar dunia Islam tidak pernah terlepas dari bayang-bayang kekuatan global, mulai dari Amerika Serikat, Rusia, hingga Tiongkok. Indonesia bisa saja menawarkan 20 ribu pasukan perdamaian, tetapi realisasi pengiriman itu tetap tergantung keputusan Dewan Keamanan PBB yang dipengaruhi sikap politik negara-negara besar. Jika tidak cermat, diplomasi Indonesia bisa terjebak dalam janji tanpa tindak lanjut yang justru menurunkan kredibilitas.
Meski demikian, tantangan-tantangan itu bukan alasan untuk mundur. Justru di sinilah arah diplomasi Islam Indonesia perlu ditegaskan. Pertama, konsistensi pada prinsip: perdamaian, keadilan, dan inklusivitas. Indonesia tidak boleh terjebak pada kubu tertentu, melainkan tampil sebagai penengah. Kedua, melibatkan organisasi masyarakat Islam secara lebih aktif dengan membina jejaring global yang bisa menjadi modal diplomasi rakyat (people-to-people diplomacy), sehingga memperkuat legitimasi pemerintah. Ketiga, memperluas basis dukungan dengan menggandeng ASEAN dan negara-negara Global South sehingga suara Indonesia tidak terisolasi.
Yang tak kalah penting, diplomasi harus ditopang kontribusi nyata. Pidato di PBB memang penting, tetapi legitimasi sejati datang dari aksi di lapangan: pasukan perdamaian, bantuan pangan, hingga fasilitasi perdamaian.
Pidato Prabowo di PBB adalah permulaan. Dunia Islam saat ini memang membutuhkan suara yang tidak hanya lantang, tetapi juga menenangkan dan sanggup merajut perbedaan. Indonesia punya modal untuk itu: reputasi sebagai negara demokrasi Muslim terbesar, pengalaman menjaga keragaman, dan kedekatan historis dengan banyak pihak.
Dengan langkah yang berkesinambungan, bukan sekadar insidental atau fluktuatif, diplomasi Islam Indonesia berpotensi menjadi penopang perdamaian global.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini republika.co.id pada Selasa (30 September, 2025).