Dimensi Politik Zakat

Dimensi Politik Zakat

oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”

Politik dalam tulisan ini sama seperti yang dipahami oleh Aristoteles dalam The Ethics, yakni sesuatu yang mempunyai kebaikan tertinggi. Seperti halnya politik, zakat juga memiliki kebaikan dalam suatu negara. Jadi politik dan zakat memiliki tujuan yang beririsan, baik secara konsepsional-teoritis maupun praksis-implementatif. Politik dalam tulisan ini juga sama seperti apa yang dituturkan Imam al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad bahwa agama (Islam) dan negara (politik-kekuasaan) seperti “saudara kembar”. Artinya, keteraturan agama sangat tergantung pada keteraturan negara. Sementara keteraturan negara tergantung pada pemimpin yang ditaati. Dimensi politik zakat artinya segi, regulasi, dan praksis zakat yang dapat digunakan untuk membangun kesejahteraan negara-bangsa, dalam konteks ini adalah Indonesia. Jika pajak secara politis menjadi instrumen pembangunan baik mental maupun spiritual, maka zakat juga adalah instrumen ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena zakat mengandung dimensi politik, peran pemerintah diharapkan lebih maksimal, sebagaimana pemerintah membuat regulasi mengenai pajak. Hal ini penting agar zakat tidak dipandang sebagai perintah suka rela. Padahal zakat dititahkan Allah. Namun mengapa wajib pajak berbeda perlakuaannya ketika menjadi wajib zakat? Pemerintah bisa saja membuat regulasi zakat dengan menggunakan ayat-ayat zakat sebagai legitimasi. Misalnya, “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka” (QS. al-Taubah/9: 103). Dalam Tafsir Jalalain diungkap Nabi SAW mengambil sepertiga harta orang kaya lalu membagi-bagikannya. Artinya, Nabi SAW sebagai pemimpin agama dan negara memberlakukan kewajiban membayar zakat seperti membayar pajak di negeri kita. Bukankah di Indonesia, selain ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ada juga Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat? Apalagi kalau dipahami zakat memiliki tujuan yang sama dengan pajak yakni untuk pemerataan kesejahteraan dan menghapus ketimpangan sosial dengan cara membangun secara fisik, mental, dan spiritual. Jadi tujuan zakat bukan hanya untuk menyucikan dan membersihkan orang kaya, tapi juga membuat sejahtera orang yang tidak berpunya. Oleh karena itu makna zakat secara leksikal tidak melulu berarti “suci”, namun lebih dinamis dimaknai “tumbuh”. Apalagi memang fungsi manajerial zakat adalah mendorong kaum lemah jadi berdaya. Lebih jauh, memberi peluang usaha bagi seseorang yang semula adalah mustahik dalam waktu tertentu berkembang menjadi muzaki. Dari sudut pandang ini, zakat mengalami transformasi dari yang awalnya sebagai “titah langit” menjadi “titah bumi”. Sebab inti perintah syariah adalah maslahah (kebaikan), tak terkecuali zakat. Zakat tidak boleh dibiarkan menggantung di langit sehingga tidak tersentuh bumi. Padahal zakat itu dititahkan untuk kesejahteraan manusia. Untuk mengoptimalkan zakat sebagai instrumen pembangunan, maka amil zakat yang tertuang dalam surah al-Taubah/9 ayat 60 harus dibaca secara kontekstual mengingat dimensi politik zakat yang begitu kental. Artinya amil zakat bisa saja diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti “amil pajak” di Direktorat Jenderal Pajak. Semua ini tergantung pada political will pemerintah, seperti halnya ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Tentu munculnya regulasi ini karena pemerintah memandang bahwa zakat sudah menjadi instrumen politik keuangan yang potensial dan terbukti mampu mengentaskan kemiskinan. Lebih jauh potensi zakat yang berjumlah triliunan rupiah dan beredar di tengah-tengah masyarakat memungkinkan pemerintah membuat kementerian khusus untuk zakat. Penghimpunan dan penyaluran zakat adalah tugas kementerian ini. Mereka yang saat ini berada pada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bisa mengisi posisi di sini. Inilah dimensi politik zakat, satu-satunya Rukun Islam yang terus-menerus menuntut pembaharuan pemikiran dan praksisnya. Zakat tidak seperti shalat, puasa, dan haji yang sudah final. Zakat terus-menerus menuntut para ulama dari berbagai mazhab dan cendekiawan di berbagai negara untuk berijtihad sesuai dengan tuntutan zaman dan kemanusiaan.(sam/mf)