Dilema Pembukaan Sekolah

Dilema Pembukaan Sekolah

Dr Jejen Musfah MA, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Sekjen Pengurus Besar PGRI

Pada Juni 2021 angka positif covid-19 di beberapa daerah naik. Padahal beberapa daerah dan sekolah siap membuka sekolah pada Juli 2021. Kecenderungannya, pembukaan sekolah akan dibatalkan oleh beberapa daerah dan sekolah. Pertimbangannya, kesehatan anak tidak bisa djadikan kelinci percobaan.

Misal, sebuah sekolah swasta di Depok membatalkan acara pelepasan alumni. Padahal panitia (guru dan staf) sudah menyiapkan tempat acara sedemikian rupa. “Demi menjaga kesehatan siswa dan warga sekolah,” kata Direktur Sekolah tersebut. Pasti keputusan yang sulit di tengah kerinduan siswa di satu sisi, dan kerja keras panitia di sisi yang lain.

Tiga Alasan

Apakah mayoritas sekolah harus tetap ditutup? Sampai kapan? Sekolah yang berada di zona hijau dan orange seharusnya sudah bisa melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). sesuai SKB. Hal ini sesuai dengan arahan Surat Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 2020.

Selain itu, beberapa alasan berikut bisa dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan kepala sekolah atau yayasan. Pertama, pembelajaran daring mematikan ekonomi sebagian sekolah swasta. Kantin dan Pedagang Kaki Lima (PKL) terpaksa tutup. Sebagian orang tua memindahkan anaknya ke sekolah yang iurannya lebih murah. Ada juga yang memilih home schooling. Orang tua menjadi gurunya.

Masalahnya, tidak semua sekolah swasta menurunkan biaya iuran bulanan atau uang pangkal. Sekolah Menengah Atas (SMA) berasrama di Depok dan sekolah full day di Cibinong menurunkan iuran bulanan sebagai bentuk empati kepada orang tua. Pendapatan sekolah swasta dari iuran bulanan siswa menurun—angkanya bervariasi, tetapi ada yang sampai 15 persen saja yang membayar. Di antaranya karena orang tuanya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Penurunan pendapatan sekolah ini memengaruhi gaji guru dan staf. Jika dibiarkan sekolah terus ditutup, maka kesejahteraan guru dan staf akan terpengaruh. Bukan hanya dikurangi tetapi bisa saja tidak dibayar gajinya. Keuangan yayasan akan habis dalam jangka waktu tertentu.

Berbeda dengan sekolah negeri, sumber dana sekolah swasta berasal dari orang tua. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak bisa menutupi biaya operasional dan gaji guru dan staf.

Kedua, pembelajaran daring tidak efektif. Menurut laporan World Bank (2020), di Indonesia, hasil capaian belajar siswa dari rumah rata-rata hanya sebesar 33 persen dibandingkan dengan capaian belajar normal di dalam kelas.

Efektivitas pembelajaran daring dipengaruhi oleh ketersediaan internet dan literasi digital guru dan siswa. Padahal banyak wilayah dan sekolah yang tidak ada fasilitas internet. Data Pokok Pendidikan per 2 Juni 2020 menunjukkan 19 persen sekolah atau 42.159 sekolah di semua jenjang belum tersambung internet (Kemendikbud, 2020).

Jaringan internet pun sering mengalami kendala. Pembelajaran daring menjadi mahal karena guru dan siswa harus membeli kuota internet. Diakui, kuota gratis dari pemerintah tidak mencukupi.

Sebagian guru kita juga tidak siap dengan literasi digital. Guru senior mungkin mahir dalam kompetensi pedagogik dan profesional, tetapi harus beradaptasi dengan teknologi informasi. Sebagian tidak terampil menggunakan komputer, bahkan tidak memiliki perangkatnya.

Hasil Survei BDR menunjukkan 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru belum memiliki perangkat TIK seperti komputer, laptop atau smartphone yang dapat digunakan untuk belajar daring (Kemendikbud, 2021).

Ketiga, sekolah dibuka secara terbatas. Terbatas wilayah, waktu, jumlah, dan materi. Hanya wilayah dengan status zona hijau dan orange yang boleh membuka sekolah. Transportasi siswa dan guru dari dan ke sekolah harus dipantau karena mungkin melintasi wilayah merah atau kuning.

Waktu belajar di sekolah hanya tiga jam saja dan dua hari selama seminggu. Dua atau tiga hari siswa belajar daring atau dari rumah. Pembelajaran buaran (blended learning) ini dilakukan agar siswa tetap belajar di rumah. Jika tidak, siswa bisa bermain di luar rumah atau bermain hp atau game.

Jumlah siswa yang datang ke sekolah dibatasi 50 atau 25 persen saja. Hal ini tentatif sesuai kondisi ruang kelas dan jumlah siswa sekolah masing-masing. Hal ini untuk menghindari kerumunan atau tetap bisa menjaga jarak warga sekolah.

Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diperlukan untuk mengatasi kebosanan siswa dan kesulitan orang tua mendampingi anak belajar dari rumah. Pendidikan karakter juga lebih efektif dilakukan secara tatap muka. Guru lebih siap dibanding orang tua dalam hal pembelajaran dan pendidikan karakter.

Kehabisan Dana

Sekolah swasta sudah hampir tiga semester atau satu setengah tahun ditutup. Jika tidak ditutup mereka akan atau sudah kehabisan dana untuk membayar operasional, guru, dan staff.

Sama dengan pemerintah dan Pemda yang (terpaksa) tidak bisa melakukan kebijakan lock down.

Hal inilah yang harus dipertimbangkan oleh Pemda dan aparat sebelum menolak izin pembukaan sekolah atau menindak sekolah-sekolah yang melakukan tatap muka.

Kepala sekolah saat ini sama dilematisnya dengan Presiden dan para kepala daerah. Apakah harus mendahulukan ekonomi, kesehatan, atau pendidikan warga? Pilihan alternatif kebijakan yang sangat tidak mudah bagi siapa pun. Akan tetapi, dengan taat protokol kesehatan atau 5 M, semoga PTM dan pembelajaran bauran merupakan pilihan yang optimis rasional. Artinya, yakin akan aman seraya tetap berhati-hati dan waspada.

Pembelajaran bauran menjadi pilihan rasional untuk mengatasi turunnya hasil belajar di atas. Menurut Dziuban, dkk. (2020), “pembelajaran bauran telah menjadi aktivitas rutin yang dilakukan di banyak sekolah di seluruh dunia”. Tingginya kasus positif korona di satu atau lebih wilayah tidak seharusnya menurunkan niat membuka sekolah di wilayah hijau dan orange. Tentu dengan disiplin ketat atas protokol kesehatan selama di sekolah, termasuk saat di perjalanan.

Sumber: KORAN SINDO, Selasa, 29 Juni 2021. (mf)