Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ilmu Fikih, Profesor Asrorun Ni’am Tekankan Living Fatwa
Gedung Rektorat, BERITA UIN Online— Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, Prof. Dr. H. Asrorun Niam Sholeh, dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Fikih dalam sidang senat terbuka UIN Jakarta, Rabu (22/2/2023). Dalam pengukuhannya, ia menyampaikan pidato ilmiah berjudul 'Living Fatwa: Transformasi Fatwa dalam Perilaku dan Kebijakan Publik di Era Milenial'.
Sidang senat pengukuhan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini dipimpin langsung Ketua Senat Prof. Dr. Dede Rosyada MA bersama Rektor Prof. Dr. Hj. Amany Lubis MA. Sejumlah tokoh nasional turut menghadiri pengukuhannya seperti Wakil Presiden RI Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin, Menteri Pemuda dan Olahraga Prof. Dr. Zainudin Amali M.Si. , Menteri PAN-RB Abdullah Azwar Anas M.Si, dan Wakil Menteri Agama Dr. H. Zainut Tauhid Sa'adi, dan lainnya.
Dalam pidatonya, Profesor Ni'am menyinggung peranan penting fatwa dalam menuntun kehidupan masyarakat Muslim di tanah air, baik sebagai pribadi, keluarga, maupun sosial. Menurutnya, produk hukum fatwa yang hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat ini bisa diidentifikasi sebagai living law.
"Living law tidak harus diformulasikan oleh negara, namun berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Bahkan tidak jarang daya pengaruhnya melebihi hukum positif yang diformulasikan oleh negara," ungkapnya menyinggung peran fatwa.
Dalam konteks masyarakat yang terus berubah, jelasnya, maka akan ada dinamika fatwa sebagai respons atas dinamika dan perubahan masyarakat kontemporer. Karena itu, the living law, atau hukum yang hidup itu bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat, dengan fatwa menjadi salah satu instrumen pentingnya.
"Dan untuk menjadikan fatwa itu “hidup”, maka butuh upaya dan ikhtiar dalam siyasatul ifta’," tegasnya.
Dilihat dari perspektif hubungan agama-negara, jelasnya, keberadaan fatwa sendiri dinilai penting karena konsensus publik Indonesia memilih paradigma simbiotik dimana agama dan negara berhubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Hal ini terlihat dari dasar negara dan konstitusi nasional bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dan nampak dalam praktek penyusunan peraturan perundang-undangan yang menyerap aspirasi agama, pun sebaliknya penetapan fatwa keagamaan yang memberi panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," paparnya.
Selama ini, dalam membangun hubungan simbiotik antara hukum Islam dan negara dalam konteks negara modern Indonesia, Profesor Ni'am mencatat setidaknya fatwa-fatwa MUI mengambil empat pola relasi, yaitu menguatkan (ta’yidy), memperbaiki (ishlahy), membenarkan (tashhihy), dan menginisiasi (inysa’y).
Pada pola pertama, Ta'diy, fatwa hadir menguatkan kebijakan negara dengan mengonfirmasi, menguatkan, dan memberikan alasan keagamaan agar diterima seperti fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Pola kedua, Ishlahy, fatwa memainkan peran menguatkan substansi kebijakan publik dengan memberi koreksi agar sejalan dengan hukum Islam seperti Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 tentang Imunisasi.
Adapun, pola ketiga, Tashhihy, mengoreksi, membenarkan dan/atau memberikan sandingan norma atas kebijakan publik yang tidak sejalan dengan hukum Islam. Ini seperti fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan bagi Perempuan sebagai koreksi atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 tahun 2010 tentang Sunat Perempuan. Sementara Insya'y berupa fatwa atas masalah baru yang penting untuk dijadikan pedoman masyarakat dan sandaran pada penyusunan serta pengambilan kebijakan publik.
Mengingat pentingnya peranan fatwa dalam mewujudkan kemaslahatan publik, menjadikannya sebagai kesadaran kolektif, dan mentransformasikannya dalam perilaku dan kebijakan publik, Profesor Ni'am menilai perlunya langkah-langkah sistematis bagi penguatan fatwa. Ini menyangkut metodologi, substansi, maupun administrasi dan advokasi fatwanya.
Terkait itu, Profesor Ni’am mengajukan rumusan konseptual 'Living' dalam penetapan fatwa. "Living Fatwa dapat dimaknai sebagai upaya menghidupkan dan menghadirkan fatwa sebagai panduan bagi masyarakat serta menjadikannya hidup dalam perilaku yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan masyarakat," paparnya.
Profesor Ni'am sendiri menawarkan sejumlah prinsip penetapan fatwa dalam pendekatan Living. "Secara detil; prinsip penetapan fatwa agar hidup perlu mengadopsi pendekatan Living, yaitu Luwes, Implementatif, Visioner, Ilmiah, Nalar-Kritis, dan Gerak Dinamis," sebutnya.
Fatwa keagamaan, sebutnya, harus memiliki karakteristik Murunah, yaitu luwes, lentur dan fleksibel sebagai manifestasi prinsip “al-yusr” atau kemudahan yang menjadi karakter dasar dalam pensyariatan hukum. "Kelenturan dalam penetapan fatwa tidak berarti tasahuli (menggampangkan dalam berfatwa), terlebih tahakkum (menetapkan hukum tanpa dasar ilmu). Kelenturan fatwa tetap dalam koridor kaedah hukum syar’i, mendasarkan diri pada metode ijtihad dan pedoman dalam penetapan fatwa," paparnya.
Fatwa yang ditetapkan harus dipastikan dapat terimplementasi atau implementatif ('amaly atau tathbiqi). Karena itu sebelum fatwa ditetapkan, mufti harus mengenal bagaimana kondisi mustafti dan dampak yang ditimbulkan dalam hal implementasi fatwa.
"Fatwa harus melihat realitas sosial di mana dan bagaimana fatwa diminta, dan apa dampak yang ditimbulkan jika fatwa dilaksanakan. Siapa yang akan melaksanakan dan dalam konteks apa," tambahnya.
Agar fatwa dapat diterima dalam kesadaran hukum masyarakat, penetapan fatwa harus visioner dan menjangkau ke depan. Karenanya dalam penetapan fatwa perlu melakukan nazhar fii maalat al-af’al (melihat pada akibat hukum).
"Penetapan Fatwa harus mempertimbangkan sisi keberlakuan dan dampak yang ditimbulkan pasca keberlakuannya," tandasnya.
Agar fatwa bisa menjadi bagian kesadaran masyarakat yang terus berubah, sambungnya, penetapan fatwa juga harus dipastikan berdasarkan pada argumen berbasis akademik, ilmiah, metodologis, serta terjaga integritas keilmuannya. "Fatwa yang ilmiah adalah fatwa yang terikat pada metode ijtihad yang shahih," sebutnya.
Fatwa juga harus ditetapkan dengan memperhatikan nalar-kritis (tafkir-naqdy) atas setiap persoalan yang diajukan. Seorang mufti dituntut memiliki nalar-kritis dalam membahas dan menetapkan fatwa.
Penetapan fatwa juga harus memperhitungkan prinsip gerak dinamis (tathawwuriyyah) dengan mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Dengan demikian, fatwa tetap dapat menjawab persoalan-persoalan baru atau terbarukan (masail jadidah au mustajaddah) yang muncul.
Karakteristik fikih yang dinamis menuntut adanya penetapan fatwa yang responsif terhadap dinamika sosial kemasyarakatan, yang mampu merespons dinamika dan perkembangan zaman," tambahnya.
Diketahui, Profesor Ni’am merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang ditetapkan Menteri Agama RI menjadi Guru Besar bidang Ilmu Fikih melalui Surat Keputusan Menag Nomor 039304 tentang Kenaikan Jabatan Akademik/Fungsional Dosen tanggal 31 Oktober 2022. Ia diangkat dengan angka kredit 1123,030 dari sebelumnya Lektor Kepala 700.
Mengajar di Prodi Perbandingan Mazhab FSH UIN Jakarta, ia mengampu sejumlah mata kuliah bidang Fikih. Diantaranya Penerapan Ushulu Fiqh Fi al-Muamalah al-Maliyah, Issues in Contemporary Usul al-Fiqh, HAM dan Perlindungan Anak, Metode Analisis Fatwa, Masail Fiqhiyyah, dan Filsafat Hukum Islam.
Lulusan Program MAPK Jember ini menempuh pendidikan sarjana hingga doktornya di UIN Jakarta. Selain menjadi dosen, ia juga aktif sebagai pejabat publik seperti Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2014-2017, Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga RI.
Dalam organisasi keagamaan, ia dipercaya menjadi Katib Suriyah PB Nahdlatul Ulama dua periode, yaitu masa khidmat 2015-2021 dan masa khidmat 2021-2026. Ia juga dipercaya menjadi salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat periode 2020-2025.
Di sela kesibukannya, Asrorun produktif menulis artikel jurnal, buku, dan kolom di berbagai media. Beberapa bukunya yaitu Fikih Anak, Sadd al-Dzari’ah, Fikih Haji, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Fatwa dalam Sistem hukum Islam. (hm/zm)